“Kepercayaan diri dan semangat kemandirian kita sebagai bangsa telah merosot sangat rendah”. Ungkapan tersebut rasanya tidak berlebihan jika mengingat manifestasi yang tampak pada orientasi solusi yang kita ambil jika menghadapi masalah cenderung bersandar pada pihak asing. Indonesia terbukti tidak mandiri dari segi ketahanan pangan. Indonesia terhitung hanya menjadi pengimpor kebutuhan pangan dalam skala besar.
Jika merasa kekurangan beras, maka solusinya impor beras, hingga kita pernah menjadi negara importir beras terbesar di dunia pada 1998-2001. Kondisi seperti ini berbanding terbalik mengingat sebagai negara agraris, Indonesia masih berstatus sebagai pengimpor beras. Begitu juga kekurangan gula, solusinya juga impor, hingga sekarang kita mengimpor gula 30% dari kebutuhan nasional.
Kebiasaan impor juga terjadi saat kita kekurangan daging sapi, garam, gula, kedelai, jagung, kacang tanah, dan susu hingga sempat mengimpor sekitar 600.000 ekor sapi, yang merupakan 25% dari konsumsi daging sapi nasional, mengimpor rata-rata 1 juta ton garam/tahun, mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai, 10% kebutuhan jagung, 15% kebutuhan kacang tanah dan 70% kebutuhan susu.
Kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang bias industri adalah pangkal dari persoalan tadi. Tim Ekuin kabinet dan Tim Kesra kabinet yang terbukti lamban dan gagal mengantisipasi lonjakan impor pangan. Secara keseluruhan, pemerintahan SBY terlihat mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan pangan warga. Akibatnya, Indonesia kian terjebak dalam arus impor pangan. Lebih dari US$5 miliar atau setara Rp50 triliun lebih devisa tiap tahun terkuras untuk mengimpor pangan.
Ketergantungan terhadap pangan impor menempatkan Indonesia pada kondisi dilematis. Fluktuasi harga pangan dunia siap menguras devisa lebih besar lagi. Sendi ekonomi bangsa bisa ambruk kapan saja apabila pasokan dari luar terhenti total karena berbagai alasan. Krisis kedelai pada 2007 menjadi pelajaran berharga betapa ketergantungan terhadap pangan impor memicu gejolak sosial masyarakat karena harga tempe dan tahu melonjak tajam. Pasokan impor pun minim. Padahal, kedua produk makanan itu menjadi makanan favorit sebagian besar rakyat Indonesia.
Dalam waktu yang dekat, pemerintah harus mengambil kebijakan nyata yang berpihak kepada kepentingan nasional, agar terjamin kecukupan pangan tanpa perlu mengimpor.. Pemerintahan SBY harus menyadari bahwa kebutuhan nasional akan pangan terus meningkat, mengingat angka pertumbuhan penduduk Indonesia lebih dari 1 % per tahun, serta meningkatnya konsumsi per kapita oleh peningkatan kesejahteraan dan pendidikan.
Di era globalisasi ini, pasar pangan Indonesia yang sangat besar itu menjadi incaran berbagai produsen pangan dari luar negeri. Australia berkepentingan dengan pasar Indonesia untuk gula dan sapinya. Amerika berkepentingan untuk gandum, kedelai dan jagung. Thailand berkepentingan untuk beras, gula dan seterusnya.
Maka, kita harus meninjau kembali kebijakan ekonomi selama ini, di mana tumpuan industri tanpa berbasis kultur pertanian dan kelautan (kemaritiman) niscaya tak akan bisa berhasil. Indonesia adalah negara agraris sekaligus maritim sehingga basis kultur (cultural base) bagi pembangunan dan modernisasi kita haruslah bertumpu pada pengembangan pertanian dan kelautan untuk menopang pengembangan industri.
03 September 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)