19 December 2008
Imbas Salah Atur
Oleh Adhi Darmawan
“Bukan lautan tapi kolam susu, kail dan jala yang menghidupimu. Tiada ombak tiada badai kau temui, ikan dan hujan menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah syurga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…”
Ya, setidaknya begitulah syair lagu Koes Plus yang masih santer terdengar hingga tahun 80-an. Sekalipun hanya sebuah lagu, tapi syair tersebut benar-benar dapat membantu memberi gambaran suasana Indonesia pada waktu itu yang konon gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Sayangnya, lagu koes Plus tersebut sekarang jarang terdengar, mungkin juga karena isi dari syair tersebut tidak lagi sesuai dengan realitas Indonesia saat ini.
Akhir-akhir ini, banyak petani dan nelayan sendiri yang seharusnya dapat menghasilkan pangan dan lauk pauk malah susah makan (kalau tidak mau disebut kelaparan), seperti kasus di Yahukimo (Papua), Brebes (Jateng), dll. Laut tidak lagi menjadi sahabat masyarakat Indonesia, tetapi menjadi ancaman yang setiap saat dapat merenggut kehidupan manusia, sehingga masyarakat beramai-ramai menjauhi laut. Hutan bukan lagi menjadi tempat tersimpannya keanekaragaman hayati, tetapi berubah menjadi tempat yang rawan menyebabkan banjir, longsor dan sumber kebakaran. Alat transportasi bukan lagi menjadi alat yang membantu memberi kemudahan dan kenyamanan dalam bepergian, tetapi alat yang digunakan karena terpaksa untuk menghemat waktu tempuh dengan penuh kekhawatiran. Petani bukan lagi menjadi profesi pilihan masyarakat, tetapi profesi yang digeluti orang dengan keterpaksaan dan imej bagi profesi orang ayng berpendidikan rendah dan terbelakang, sehingga para petani berbondong-bondong memasuki kota dan menjauhi sawah. Semua ini sungguh merupakan ironi dan tak berbanding lurus dengan hakekat demokrasi.
Pemerintahan saat ini, terlihat masih lebih banyak gerak dalam tataran wacana dan kurang tindakan konkret. Mungkin ini karena bias dari efek transisi demokrasi yang belum menemukan face sejatinya secara utuh, masih bermetamorfosis. Dipenghujung tahun 2006 yang telah kita lewati, banyak hal yang belum selesai dikerjakan dan masih sebatas wacana. Tahun 2006 ditutup dengan perdebatan wacana yang hangat tentang poligami. Apapun motif pemerintah dalam menggelindingkan wacana poligami, yang pasti, bangsa yang lapar memerlukan makan, bangsa yang menganggur memerlukan pekerjaan, bangsa yang bodoh memerlukan pendidikan dan bangsa yang sakit memerlukan obat, tidak mementingkan masalah poligami.
Anehnya reformasi birokrasi yang diyakini dapat membawa perbaikan sampai sekarang belum menjadi kebijakan yang kongret, hilang tertutup wacana poligami. Sekitar 8 (delapan) trilyun APBN setiap bulan habis dikeluarkan pemerintah untuk membayar pensiunan PNS. Anggaran birokrasi dan militer dinaikan, padahal pos lain yang lebih urgent juga banyak kekurangan anggaran. Penggunaan APBN secara efektif dan efisien tidak sampai secara massif menjadi kebijakan. Korupsi masih marak terjadi. Kebijakan yang diambil pemerintah untuk menutup kekurangan Pendapatan Negara menjadi budaya setiap Presiden berkuasa sampai sekarang dengan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Kesejahteraan yang diperoleh birokrasi dan militer tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani, nelayan, pengusaha dan profesi diluar pemerintahan lainnya. Dampaknya, lagi-lagi laut, sawah, hutan dsb ditinggalkan karena masyarakat berduyun-duyun ingin menjadi pegawai negeri. Yang sudah jadi pengusaha dengan penghasilan besar-pun akhirnya beramai-ramai beralih profesi menjadi politisi dengan iseng hitung-hitung bermain catur dan berinvestasi. Dari rentetan masalah bangsa kita yang sangat banyak sekali, andaikata pemerintah adalah dokter, saya berpikir bisa jadi pemerintah salah mendiagnosa penyakit, salah memberikan resep, sehingga salah pula memberikan obat dan salah langkah dalam menangani pasien (mall praktek). Memang pemerintah bukan dokter tapi pemerintah mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan dan membawa kemana tatanan Negara ini akan dikelola dan diatur. Sehingga masalah yang ada saat ini bisa jadi imbas dari salah atur. Wallahualam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment