Oleh Adhi Darmawan
Dewan Ketua Lembaga Sosial Ekonomi Amanah Ummat(LeSMA)
Permasalahan moral bangsa akhir-akhir ini ditengarai telah mengindikasikan terciptanya krisis bangsa. Banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat dari semua lapisan sosial memperlihatkan bahwa bangsa ini tengah dihinggapi dekadensi moral yang sangat serius. Beberapa fenomena seperti kasus korupsi yang sering dilakukan para pejabat atau oknum-oknum pemerintah serta tindakan kekerasan yang kerap kali terjadi di berbagai tempat, mulai dari pencurian, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan dan masih banyak lagi bentuk tindak kekerasan lainnya, dimana perilaku itu tidak lagi mempedulikan ruang dan waktu, telah menguatkan bahwa dekandensi moral telah benar-benar menjangkit bangsa kita.
Dari perspektif sosiologis, dalam institusi pendidikan yang merupakan perangkat vital pada pembinaan moral bangsa, ternyata juga tidak bersih dari praktik perilaku menyimpang tersebut. Dalam internal institusi pendidikan, praktik kekerasan yang membudaya dalam setiap penerimaan murid baru pada sebagian institusi pendidikan yang terbingkai dalam OSPEK, Masa Taaruf, dsb, dimana kekerasan yang dilakukan oleh siswa senior pada yuniornya sepertinya berkembang begitu saja dari tahun ketahun. Selain itu, keberadaan perilaku menyimpang terdapat pula pada kelompok-kelompok bermain siswa seperti ‘genk motor’, ‘genk basket’, ‘genk musik’, dsb.
Perilaku menyimpang yang terjadi dalam institusi pendidikan ini turut mempertegas keberadaan degradasi moral yang terus bergulir. Keberadaan institusi agama yang ada-pun seolah dibuat tidak berdaya untuk membendung berputarnya laju roda degradasi moral tersebut. Nilai-nilai moral Pancasila yang menjadi dasar dari ideologi Indonesia sebagai sebuah bangsa, tidak lagi diindahkan. Tidak hanya itu, dalam perkembangan budaya bangsa yang kian pesat, Pancasila seringkali dipertentangan dengan paham ideologi dan agama tertentu, seolah-olah Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam agama tertentu. Al hasil, tidak sedikit muncul gerakan “silent” dan terbuka anti Pancasila. Konflik antar umat beragama, intra umat beragama dan diantara kelompok agama dan kelompok sekuler mulai berkembang ke arah pada tingkat yang mengkhawatirkan dan mengancam kesatuan dan persatuan bangsa serta NKRI. Kalimatin sawa telah terlupakan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah dimanakah letak strategis Pancasila dalam mendukung out come pendidikan nasional yang berbasis akhlak mulia, sehingga masalah-masalah laju penyimpangan sosial bisa diatasi?
Pancasila dan Pendidikan Nasional
Jika kita melihat Pancasila dari sisi historisitas dan nilai-nilai filosofinya yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri republik ini, sejatinya Pancasila tidak perlu dipertentantangkan dengan agama manapun, sebab Pancasila dapat dipakai sebagai modus vivendi (pedoman hidup) bagi bangsa Indonesia yang pluralistik. Sebagai pedoman hidup, sejatinya dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur yang kaya akan tuntunan akhlak mulia.
Setiap nilai-nilai sila dalam Pancasila merupakan objektifikasi nilai-nilai universal dalam setiap agama dan kepercayaan. Walaupun berbeda-beda dari segi syariat dan aqidah ada nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai nilai-nilai luhur. Nilai-nilai bersama ini dalam Al-Qur'an disebut dengan kalimatin sawa. Pancasila adalah kalimatin sawa, common ground. Dalam perjalanan sejarah, Pancasila telah menjadi pemersatu bangsa dalam perjuangannya untuk menentang penjajahan dan memakmurkan rakyat.
Dari UUD 1945 dan Pancasila, disimpulkan bahwa akhlak mulia adalah nilai kehidupan bangsa yang diamanahkan untuk diwujudkan sebagai bagian integral dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, akhlak mulia ditegaskan sebagai sebuah nilai utama bangsa. Karena itu, pendidikan akhlak mulia harus menjadi bagian yang sentral, dari usaha pendidikan bangsa.
Implikasinya ialah bahwa pendidikan akhlak mulia patut menjadi program prioritas dan bukan alternatif, serta menjadi program inti dan bukan suplemen pendidikan lainnya, dan menjadi program menyeluruh, bukan program parsial dan terisolasi. Karena itu, tidak sepatutnya kita sekadar mencari “peluang” ruang pendidikan yang masih tersisa, mencari celah apakah sistem pendidikan nasional sebagai yang dikembangkan sekarang ini masih memungkinkan adanya format alternatif untuk mengadakan pendidikan yang berbasis akhlak mulia.
Esensi pendidikan nasional, sesuai perintah konstitusi, antara lain adalah memuliakan akhlak bangsa; ini meletakkan pendidikan berbasis akhlak mulia sebagai sesuatu yang fundamental dan menyeluruh, bukan sekadar sebagai mata pelajaran pelengkap dan elektif! Persoalannya bukan sekadar membedakan antara pendidikan yang berbasis akhlak mulia dengan yang tidak. Memisahkannya menjadi pendidikan di satu pihak dan akhlak mulia di lain pihak bukan hanya menghasilkan sebuah tautologi; tetapi sebuah kesalahan fundamental karena tidak ada pendidikan tanpa akhlak mulia. Jadi yang benar ialah bahwa esensi pendidikan adalah esensi akhlak mulia, dan isu pendidikan adalah isu akhlak mulia, kapanpun. Pengejawantahan nilai yang berakhlak mulia, -seiring dengan nilai beriman, bertakwa, dan berbudaya -, adalah ukuran utama keberhasilan bangsa yang terdidik dengan benar, bukan dengan ukuran lain yang manapun.
Secara kodrati dan alamiah, lingkungan pendidikan adalah lingkungan seluas kehidupan itu sendiri. Ia bermula dan berpangkal dari kehidupan keluarga dan berkembang ke luar sesuai dinamika dan kebutuhan masyarakat. Sekolah adalah lembaga yang datang baru kemudian sebagai pelengkap dan berperan sebagai perpanjangan peran keluarga, bukan pengganti atau bukan alternatif terhadap peran keluarga. Secara sporadis, ketika berbagai “kasus” bermunculan di dalam kehidupan, orang kembali mempertanyakan di manakah sekarang “pendidikan budi pekerti” yang “dulu, di masa lalu” diajarkan (= diutamakan) di sekolah.
Sekarang, dengan kehidupan nilai moral bangsa yang semakin mencemaskan, sebagian orang lalu mencari jawaban di mana letak awal kesalahan. Sebagian mengatakan karena keluarga sudah semakin tidak mampu menghadapi tugas yang musykil itu; sebagian mempersalahkan sekolah yang sudah lama menganak-tirikan keberadaan akhlak mulia. Apalagi ketika standar kehidupan masyarakat awam yang justru telah turut menghancurleburkan citra bangsa berbudaya, bermoral, dan beragama.
Demoralisasi dan sejumlah besar -di luar imaginasi akal sehat - penjungkirbalikan nilai akhlak mulia memang bukan fenomen yang terjadi secara tanpa disengaja, dan tidak sesederhana yang diperkirakan. Akarnya jauh lebih dalam, dan dampaknya jauh lebih luas dari yang dapat ditelusuri. Karena itu, masalahnya bukan hanya masalah mencari peluang dan format yang layak untuk dapat mengajarkan akhlak mulia; masalahnya adalah merekonstruksi, merevitalisasi, dan menyehatkan kembali seluruh aspek kehidupan bangsa yang sudah mulai berpenyakit kronis.
Secara kultural, lingkungan pendidikan baru kemudian lebih mengerucut sebagai tripusat yang konsentris: keluarga sebagai pusat pertama (dan utama), disusul dan dilengkapi oleh sekolah dan masyarakat luas di luarnya. Namun, di dalam pengelolaannya secara birokratis, peran keluarga sebagai pusat pendidikan nilai menjadi semakin kerdil, tetapi sekolahpun yang tampil sebagai pusat pendidikan skolastik tidak pernah seberapa mengutamakan pendidikan akhlak mulia.
Dalam sejarah, tripusat tidak selalu berkembang secara harmonis sebagai sebuah kesatuan yang saling melengkapi. Sekolah cenderung “mengambil alih”, kalau tidak merampas atau mematikan kedaulatan keluarga. Bagaimanapun, sekolah tidak pernah dapat diharapkan menangani akhlak mulia khususnya, amanah konstitusi umumnya. Sungguhpun pada aras filosofis keutamaan akhlak mulia tidak pernah dinafikan, pada aras praksis, seperti tercermin dari kebijakan pemerintah, desain kurikulum, dan program pencerdasan kehidupan bangsa, isu akhlak mulia senantiasa menjadi pilihan terakhir.
Karena bias yang terlalu tinggi pada sejumlah kemampuan kognitif tertentu, dan terlalu rendah pada nilai-nilai kehidupan yang diamanahkan, sekolah sebenarnya telah menjadi usang (outmoded) dan salah fungsi (dysfunctional). Peran sekolah direduksi menjadi lembaga pelatihan otak dan persiapan memperoleh nilai tertinggi, bukan pengembangan watak. Sekolah menjadi taruhan kemampuan kognitif yang diujikan, tidak sebagai lembaga pembudayaan, lembaga pengindonesiaan, apalagi sebagai lembaga pemanusiawian sebagai yang terkandung dalam konsep akhlak mulia. Kurikulum yang seharusnya berbasis pada kehidupan akhlak mulia dalam arti yang luas, dipersempit menjadi program arbitrer yang akhirnya berbasis apa saja (yang jelas bukan akhlak mulia), yang berakibat bahwa kurikulum kehilangan makna yang mulia.
Hampir sejak dari awal kemerdekaan, para pengelola negara, pemimpin bangsa, dan terutama para birokrat pendidikan, pada umumnya terjebak di dalam pola pandang yang menghambat, kalau tidak dapat disebut merugikan atau bahkan merusak, perkembangan pendidikan nasional ditinjau dari amanah konstitusi.
Keterjebakan itu terletak dalam kenyataan bahwa filosofi pencerdasan kehidupan bangsa, tidak dipahami secara tuntas tetapi segera saja ditafsirkan secara sangat praktis sebagai menyekolahkan anak bangsa. Sekolah menjadi jawaban terhadap tuntutan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan lebih dari itu, sekolah menjadi taruhan. Sekolah, dan hanya sekolah yang menentukan.
Tidak ada yang secara fundamental salah di dalam menyekolahkan anak bangsa sebagai sebuah realisasi amanah konstitusi. Tetapi yang jelas salah ialah apabila sekolah ternyata mengutamakan mengajarkan penguasaan bahasa Ingeris, misalnya, yang tidak esensiil dan tidak eksplisit diamanahkan, tapi pada saat yang sama, tidak sedikitpun menyinggung pendidikan berbasis akhlak mulia, yang justru secara eksplisit ditegaskan dalam konstitusi. Dalam waktu yang relatif singkat, pendidikan telah ditafsirkan sebagai apa yang dapat disaksikan di sekolah, dan apa yang berdampak di masyarakat luas, pendangkalan. Tafsir tersebut pada hakekatnya bermula tidak lain dari kecencerungan penyederhanaan konsep asal menjadi konsep pragmatis yang jauh lebih mudah dipahami, diatur, dan diformalkan. Apakah ini inti pendidikan berbangsa? Jelas bukan, Jauh dari itu.
Di sekolah, mengatasi buta aksara menjadi lebih penting dari mengatasi buta kehidupan. Di sekolah, kemampuan mengingat menjadi lebih utama dari kemampuan memahami. Murid dilatih untuk mengenali masalah (agar mudah menjawabnya), bukan mencari, menemukan, dan memahaminya. Otak hanya diisi, tidak dikembangkan. Yang menjadi indikator utama adalah sebuah angka, dan bukan sebuah daya. Di sekolah, memang banyak hal yang diajarkan, kecuali akhlak mulia.
Pemikiran untuk merintis pendidikan berbasis akhlak mulia adalah sesuatu yang patut di dukung secepatnya, secara nasional. Bukan saja oleh karena kita telah terlambat usai bertahun-tahun memasuki masa kemerdekaan, tetapi juga karena dampak negatif dari tiadanya pendidikan yang demikian telah membuahkan masyarakat yang bermasalah, bahkan yang patologis, di dalam aspek etika dan estetika kehidupan. Gambaran kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia tidak pernah sesuram dan setidak-cerdas seperti sekarang.
Kini, tidak mungkin menemukan dalil dan data yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa masyarakat kita sekarang, dari sudut pandang akhlak mulia, sudah jauh lebih baik dari situasi ketika kita baru mulai merdeka. Juga tidak ada argumen yang dapat membenarkan bahwa praksis pendidikan hari ini adalah tafsir yang paling benar sesuai dengan amanah konstitusi dan filosofi pendidikan nasional. Dari sudut pandang akhlak mulia, kita tidak beranjak maju; juga tidak berjalan di tempat; kita bergerak mundur! Sebagian kecil dari kita memang sempat bergelimang di dalam lautan kemewahan material, tetapi sebagai bangsa secara keseluruhan, kita menjadi bangsa yang semakin miskin di dalam akhlak dan perilaku: semakin nekat, semakin kasar, semakin beringas, semakin mengerikan.
Ambillah kepatuhan masyarakat terhadap berbagai peratuan dan ketentuan hukum yang didesain untuk kemaslahatan bersama. Di depan mata dunia sehari-hari, terutama di mata para perintis dan pejuang kemerdekaan yang masih hidup dan oleh anak-anak bangsa yang mempersiapkan diri belajar hidup, dengan jelas nampak setiap saat, di mana-mana, semakin hilangnya kepedulian akhlak mulia. Masyarakat makin menjadi apatis. Lalu apa respons kebijakan pendidikan? Lihat kebohongan publik, pemalsuan berskala superlatif, dan berbagai kejahatan tingkat tinggi yang mencengangkan dunia dan senantiasa dipertontonkan oleh mereka yang mengaku memimpin dan mewakili rakyat. Lihat pejabat yang melakukan korupsi, lihat para politisi muda yang menggadaikan idealismenya untuk kedudukan, lihat guru yang tidak beretika tapi membenarkan perilaku mereka sebagai pendidik, lihat para mustadafin yang bunuh diri karena perutnya lapar. Lihat, lihat.. lihat apa saja, di lapisan masyarakat mana saja.
Dari sudut manapun kita melihat masyarakat dewasa ini, bentuk, jenis, dan intensitas demoralisasi dan dekadensi yang mencuat di dalam kehidupan sehari-hari semakin beragam dan bahkan seringkali muncul di luar imaginasi masyarakat yang waras. Lalu apakah sikap kita yang masih peduli akan masyarakat yang waras, dan yang masih tetap setia di dalam mempertahankan amanah konstitusi? Apakah ini semua bukan masalah yang sepatutnya mendapat perhatian utama bidang pendidikan?
Namun, kalau kebijakan pendidikan lebih tertarik pada persoalan-persoalan lain yang mendukung kepentingan politik praktis, siapa lagi yang diharapkan menanganinya? Tentu tidak ada orang yang rela membiarkan gejala keruntuhan adab dan budaya bangsa berlangsung tanpa henti, dan tanpa titik nadir. Tentu tidak ada seorangpun yang membenarkannya. Tetapi mengapa apatisme, demoralisasi dan dekadensi ini berjalan semakin dahsyat? Ketidakmampuan bangsa ini berbahasa inggris tidak bersangkut-paut dengan rendahnya akhlak mulia bangsa, ini tidak akan meruntuhkan moralitas bangsa. Tetapi tanpa akhlak mulia, bangsa ini berada di ambang keruntuhan.Implikasi semua ini sudah seharusnya jelas, harus ada perombakan yang menyeluruh mengenai kebijakan dan pengelolaan pendidikan nasional.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment