Untung Rugi Proporsional Terbuka
Para fungsionaris partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 telah menyerahkan daftar calon legislatif (caleg) di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Dari sekian banyaknya parpol peserta pemilu, ada beberapa parpol yang menerapkan sistem perolehan suara terbanyak —atau dengan sistem proporsional terbuka— untuk menentukan caleg yang berhak duduk sebagai wakil rakyat dari partainya.
Partai-partai tersebut lebih mematok suara terbanyak yang diperoleh seorang caleg dan mengesampingkan nomor urut seperti yang biasa digunakan pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Beberapa parpol tersebut di antaranya Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Partai-partai besar itu telah menegaskan dirinya akan menggunakan sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut.
Bursah Zarnubi, sang Ketua Umum PBR, serta Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga menjadi Ketua Umum Partai Golkar menyatakan partainya akan menggunakan suara terbanyak. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rupanya juga telah tertarik dan mendukung penggunaan sistem tersebut.
Langkah parpol-parpol tersebut berbeda dengan ketentuan Undang-Undang yang dipegang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hanya mengacu kepada ketentuan UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu calleg ditentukan berdasarkan perolehan suara minimal 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP).Jika dalam satu dapil bakal caleg yang memperoleh suara minimal 30 persen BPP lebih dari satu, maka penentuan caleg terpilih baru ditentukan berdasarkan nomor urutnya. Jika tidak ada satu bakal caleg dalam satu parpol yang memperoleh 30 persen BPP atau jumlah caleg yang memperoleh 30 persen BPP kurang dari perolehan kursi yang diperoleh parpol, maka penentuan caleg dilakukan dengan menggunakan nomor urut.Adanya perbedaan beberapa parpol yang menjadikan caleg jadi sesuai mekanisme internalnya dengan suara terbanyak, menjadikan partai yang sudah memutuskan menggunakan nomor urut harus konsisten. Jika sudah disepakati sejak awal, maka partai tersebut tidak boleh mengubah keputusannya; karena jika keputusan partai itu diubah di tengah jalan, maka bisa menimbulkan gejolak sosial.
Jika dijalankan dengan benar, sistem proporsional terbuka dinilai lebih adil, karena memberikan kesamaan kesempatan kepada para caleg. Selain itu, sistem tersebut juga untuk meminimalisasi oligarki partai; karena jika penentuan caleg-jadi berdasarkan nomor urut, maka partailah yang akan menentukan. Disisi lain, yang pasti campur tangan internal pengurus partai dalam usaha menjadikan seorang menjadi anggota legislatif jelas berkurang. Dampaknya, banyak caleg yang lebih peduli dan fokus pada usaha bagaimana mendapat simpati rakyat di dapilnya sebanyak-banyaknya, kurang peduli pada bagaimana dinamika kepengurusan partai itu berjalan. ( )
Para fungsionaris partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 telah menyerahkan daftar calon legislatif (caleg) di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Dari sekian banyaknya parpol peserta pemilu, ada beberapa parpol yang menerapkan sistem perolehan suara terbanyak —atau dengan sistem proporsional terbuka— untuk menentukan caleg yang berhak duduk sebagai wakil rakyat dari partainya.
Partai-partai tersebut lebih mematok suara terbanyak yang diperoleh seorang caleg dan mengesampingkan nomor urut seperti yang biasa digunakan pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Beberapa parpol tersebut di antaranya Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Partai-partai besar itu telah menegaskan dirinya akan menggunakan sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut.
Bursah Zarnubi, sang Ketua Umum PBR, serta Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga menjadi Ketua Umum Partai Golkar menyatakan partainya akan menggunakan suara terbanyak. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rupanya juga telah tertarik dan mendukung penggunaan sistem tersebut.
Langkah parpol-parpol tersebut berbeda dengan ketentuan Undang-Undang yang dipegang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hanya mengacu kepada ketentuan UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu calleg ditentukan berdasarkan perolehan suara minimal 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP).Jika dalam satu dapil bakal caleg yang memperoleh suara minimal 30 persen BPP lebih dari satu, maka penentuan caleg terpilih baru ditentukan berdasarkan nomor urutnya. Jika tidak ada satu bakal caleg dalam satu parpol yang memperoleh 30 persen BPP atau jumlah caleg yang memperoleh 30 persen BPP kurang dari perolehan kursi yang diperoleh parpol, maka penentuan caleg dilakukan dengan menggunakan nomor urut.Adanya perbedaan beberapa parpol yang menjadikan caleg jadi sesuai mekanisme internalnya dengan suara terbanyak, menjadikan partai yang sudah memutuskan menggunakan nomor urut harus konsisten. Jika sudah disepakati sejak awal, maka partai tersebut tidak boleh mengubah keputusannya; karena jika keputusan partai itu diubah di tengah jalan, maka bisa menimbulkan gejolak sosial.
Jika dijalankan dengan benar, sistem proporsional terbuka dinilai lebih adil, karena memberikan kesamaan kesempatan kepada para caleg. Selain itu, sistem tersebut juga untuk meminimalisasi oligarki partai; karena jika penentuan caleg-jadi berdasarkan nomor urut, maka partailah yang akan menentukan. Disisi lain, yang pasti campur tangan internal pengurus partai dalam usaha menjadikan seorang menjadi anggota legislatif jelas berkurang. Dampaknya, banyak caleg yang lebih peduli dan fokus pada usaha bagaimana mendapat simpati rakyat di dapilnya sebanyak-banyaknya, kurang peduli pada bagaimana dinamika kepengurusan partai itu berjalan. ( )
No comments:
Post a Comment