16 December 2008
KRISIS ENERGI YANG MELELAHKAN
Oleh Adhi Darmawan
Negeri Indonesia yang kaya akan kekayaan alam, baik yang bisa diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui selalu mengalami krisis energi yang tak berkesudahan.
Memasuki era reformasi pada tahun 1998, para elit bangsa kita disibukkan dengan euforia kebebasan dan segudang praktik demokratisasi. Alhasil, beberapa kebutuhan mendasar bangsa boleh dibilang terabaikan atau tidak dijadikan prioritas utama. Salah satu kebutuhan mendasar yang terabaikan itu adalah energi. Padahal energi adalah kebutuhan vital sekaligus kebutuhan strategis bangsa.
Ketahanan energi menentukan ketahanan bangsa. Energi dan ekonomi ibarat dua sisi pada satu mata uang. Ada energi, maka ekonomi tumbuh. Sebaliknya, ekonomi yang tumbuh akan membutuhkan ketersediaan energi yang lebih banyak.
Tidak dijadikannya energi sebagai prioritas utama saat itu juga maklum adanya, mengingat pada tahun 1998 Indonesia masih sebagai net eksportir minyak bumi, dengan produksi rata-rata harian saat itu 1,52 juta barel per hari (bph) dan konsumsi dalam negeri baru mencapai 914 bph. Tahun 2007, produksi minyak kita merosot sampai ke titik 970 ribu barel per hari. Sementara konsumsi naik mencapai 1,2 juta bph. Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak tahun 2004. Dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu 1998-2007 terjadi penurunan produksi rata-rata 61 ribu bph setiap tahunnya. Makanya tidak heran jika krisis BBM sudah berkali-kali melanda negeri ini, terutama saat dipicu oleh pesatnya peningkatan konsumsi dalam negeri, serta kenaikan harga minyak dunia yang sempat menyentuh angka USD 149 per barel.
Diawali dengan kelangkaan minyak tanah dimana mana, rakyat berdesak-desakan rela antre untuk mendapatkan setetes minyak tanah untuk mengepulkan asap dapurnya. Dengan alasan konversi minyak tanah ke gas, peredaran minyak tanah sengaja dikurangi. Akibatnya minyak tanah menjadi barang langka. Pemerintah menyalahkan rakyatnya yang tidak mau mengganti konsumsi minyak tanah dengan menggunakan kompor gas.
Masyarakat kembali banyak yang turun kejalan, mengantri untuk bisa mendapatkan gas elpiji sehingga dirinya dapat tetap memasak. Setelah kompor minyak tanah sudah keburu dijual ke tukang loak karena tidak bisa mendapatkan bahan bakarnya berupa minyak tanah, rakyat yang mencoba menuruti saran pemerintah untuk beralih menggunakan gas kembali gigit jari. Pasalnya, beberapa hari belakangan ini giliran elpiji yang langka di pasaran terutama tabung kemasan 12 Kg. Pemerintah dan Pertamina kembali menuding rakyatnya yang mengganti pemakaian tabung 50 Kg mereka ke tabung 12 Kg sehingga menyebabkan tabung 12 Kg langka dipasaran.
Krisis energi terjadi diseluruh wilayah di Indonesia, tak terkecuali di Bali yang merupakan tempat pariwisata dunia bertaraf internasional. Bensin premium sempat menjadi barang yang sangat langka. Hampir seluruh SPBU di Bali terjadi antrean kendaraan yang akan membeli premium. Karena tidak ada pilihan lain, pertamax pun menjadi barang yang laris manis. Lebih dari 2 (dua) hari ini, nilai penjualan pertamax di Bali jauh diatas penjualan rata rata nasional.
Tak hanya minyak, listrik juga mengalami krisis. Akhir-akhir ini pemadaman hampir terjadi setiap hari diberbagai daerah. Terkait dengan pemadaman itu, pemerintah sempat mengeluarkan keputusan bersama 5 menteri untuk mengatur pengalihan jam kerja industri manufaktur ke hari Sabtu dan Minggu, sehingga pemakaian listrik dapat digilir. Kebijakan pengalihan jam kerja tersebut menuai banyak penentangan dari berbagai pihak karena dianggap tidak efektif dan efisien.
Menurut, Prof Dr Widjajono Partowidagdo, seorang Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas, Institute Teknologi Bandung, penyebab utama terjadinya krisis listrik adalah penambahan kapasitas terpasang pembangkit yang tidak sepadan dengan laju pertumbuhan industri dan populasi. Total kapasitas terpasang saat ini sebesar 29.7 GW (PLN 24.9 GW, IPP 4 GW, PPU 0.8 GW). Proyek 10 GW pertama yang semestinya sudah on-line paling lambat awal tahun 2008, ternyata molor sampai tahun 2009 atau bahkan ke tahun 2010.
Hal-hal lain yang dapat menyebabkan kurangnya pasokan listrik walaupun bersifat sementara adalah gangguan yang kerap terjadi di mesin-mesin pembangkit dan gangguan yang sering terjadi di mata rantai pasokan bahan bakar (energi primer) untuk pembangkit itu sendiri. Beberapa mesin pembangkit sudah tua atau kurang perawatan sehingga seringkali mengalami overhaul karena menunggu datangnya suku cadang.
Pasokan energi primer biasanya terganggu saat cuaca buruk – musim penghujan dan ombak tinggi. Ini biasanya terjadi pada pembangkit yang berenergi primer BBM dan batu bara. Sebaliknya di musim kemarau, terjadi kekurangan debit air untuk pembangkit bertenaga penggerak air.
Pasokan listrik baru dikatakan ‘aman’ di akhir kwartal ketiga tahun 2009. Artinya, pemadaman bergilir masih tetap akan dilakukan hingga tahun depan. Masyarakat masih akan sering mengalami ”byar pet” lampu sampai paling tidak setahun lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment