SBY dan Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih memiliki legitimasi kuat karena merupakan hasil pilihan langsung rakyat. Tapi di sisi lain, sebagai konsekuensi empat kali amandemen UUD 1945, lembaga legislatif menjadi mitra sekaligus pengawas eksekutif yang penuh kuasa.
Maka, pemimpin pemerintahan akan selalu tergoda untuk memperkuat kakinya dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Caranya, dengan menarik sebanyak mungkin partai yang akan mendukung pemerintahannya. Konsekuesinya, akan tercipta kabinet yang gemuk. Sebab jika tidak, efektivitas kerja, kebijakan, dan kelangsungan pemerintahan potensial terganggu. Ini adalah pekerjaan riil sebelum mendiskusikan personalia dan anatomi kabinet yang potensial yang ditawarkan SBY-Berboedi.
Yudhoyono-Boediono hanya bisa terhindar dari jerat itu manakala merasa cukup dengan besaran dukungan politik yang mereka miliki sekarang, 314 kursi (56,07%) dari lima partai di DPR. Kabinet cukup disokong oleh ''mayoritas yang cukup'', dengan koalisi berdisiplin dari seterbatas mungkin partai.
Sebaliknya, Yudhoyono-Boediono akan terjerumus ke lubang jerat yang sama jika mereka ditakdirkan menjadi pemenang. Tergoda untuk memperbesar sokongan politik dengan mengajak Partai Golkar bergabung dalam pemerintahan. Yudhoyono dapat diduga akan mengambil langkah ini sebagai konsekuensi dari tabiatnya sebagai penghindar risiko.
SBY bisa tergoda mengajak serta tokoh Golkar yang meloncat dari gerbong kepemimpinan Kalla ke dalam kabinetnya dan/atau bermain mata dengan salah seorang tokoh Golkar --Aburizal Bakrie, misalnya-- untuk menggeser kepemimpinan Kalla. Dengan demikian, pemerintahannya berpotensi tersokong oleh 78,39% kursi DPR.
Jika skenario terakhir itu yang terjadi, yang akan kita temukan adalah kabinet presidensial berbasis koalisi gemuk.
Keluar dari jerat-jerat presidensialisme itu barulah separuh agenda kerja. Separuh agenda sisanya adalah menyusun anatomi kabinet berbasis personalia yang terlayak. Di satu sisi, keterwakilan partai mesti diimbangi oleh kompetensi dan integritas setiap tokoh yang direkrut menjadi anggota kabinet. Di sisi lain, pelibatan tokoh-tokoh non-partai tak terhindarkan, dengan tentu saja tetap menimbang kompetensi dan integritas mereka.
Ada tiga tiga cara menimbang kabinet, masing-masing dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Pertama, menimbang kabinet setelah mereka bekerja. Penilaian post-factum ini, tentu saja, paling mudah dilakukan karena semua data tentang kerja dan kinerja kabinet sudah tersedia. Di sini, kredibilitas penilaian akan banyak ditentukan oleh kepiawaian memilih angle atau fokus, membuat ukuran yang layak, serta ikhtiar kategorisasi dan penyimpulan yang saksama.
Kedua, menimbang segera setelah sebuah kabinet terbentuk. Dalam konteks presidensialisme, berarti penilaian dilakukan serta merta setelah presiden mengumumkan secara resmi susunan menteri yang akan membantunya bekerja mengelola pemerintahan. Kesulitan pun lebih berlipat-lipat lantaran data tentang kerja dan kinerja belum sama sekali tersedia. Penilaian pun akan banyak bertumpu pada anatomi kabinet, kredibilitas figur yang masuk di dalamnya, ketepatan pos departemen atau kementerian negara dengan kompetensi sang menteri yang mendudukinya, serta latar belakang sosial-politik para anggota kabinet.
Ketiga, menimbang kabinet ketika ia sama sekali belum terbentuk di tengah ketidakleluasaan informasi dan data. Pada titik inilah kita berdiri sekarang: menimbang dengan tingkat kesulitan yang bukan alang kepalang. Kesulitan semakin berlipat ganda karena tak adanya diferensiasi yang tegas di antara partai-partai. Kandidat mana pun yang memang akan merekrut para menteri dari sumber yang kurang lebih sama dan melalui mekanisme pragmatis yang serupa.
Alhasil, yang bisa diikhtiarkan adalah menjaga agar perekrutan kabinet yang dilakukan oleh SBY-Boediono bertumpu pada ''pertukaran politik'' saling menukar kepentingan berjangka panjang yang melibatkan kehendak publik dan bukan sekadar ''transaksi politik'' yang saling melayani pragmatisme segelintir pihak untuk kepentingan sempit berjangka pendek.
31 July 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment