Oleh Adhi Darmawan
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia tengah disibukkan dengan kegiatan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2009 yang akan menentukan siapakah yang akan memimpin Indonesia 2009-2014.
Berkaitan dengan hal ini, masyarakat disuguhi dengan sekian banyak berita dan iklan politik tentang sepak terjang para calon yang saat ini mulai masa kampanye. Semua pasangan Capres dan Cawapres mempublikasikan dirinya secara bebas bahwa dirinya, visi misinya, dan semua programnya bagus dan perlu untuk mendapatkan dukungan rakyat.
Selama masa kampanye ini, baik Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla maupun Megawati ramai-ramai menyampaikan visi-misi. Visi-misi ketiganya yang mendapat perhatian publik dan diekspose besar-besaran oleh media adalah bidang ekonomi.
Tampaknya masalah ekonomi menjadi prioritas ketiga capres Pemilu 2009 ini. Prioritas ini bukanlah hal yang salah. Sebab, masalah ekonomi bukan sekadar mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang dialami jutaan warga negara, tetapi juga peningkatan pendapatan dan pelestarian sumber daya alam. Tanpa pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun, berarti siapa pun yang memimpin negeri ini akan dinilai gagal.
Namun, ada benang merah yang dilupakan para capres bahwa untuk membangun sistem perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tidak berangkat dari akar permasalahan hakiki yang menyebabkan bangsa Indonesia jatuh miskin dan mengalami krisis yang berkepanjangan. Akar dari semua masalah ekonomi semestinya bersumber dari mengguritanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negeri ini. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan akan sekadar menjadi jargon politik kalau tidak dimulai dari pemberantasan korupsi secara baik.
Mungkin oleh sebagian pihak capres bervisi antikorupsi dianggap hal yang biasa dan sepele. Namun, bila kita mau belajar dari negara-negara yang sukses pertumbuhan ekonominya, hal itu selalu dimulai dari keberhasilan di bidang pemberantasan korupsi. Ambil contoh China yang saat ini pertumbuhan ekonominya menakjubkan masyarakat dunia. China bisa memiliki pertumbuhan ekonomi seperti sekarang karena negeri ini cukup berhasil mengatasi masalah korupsi.
Di China tokoh terdepan pemberantasan korupsi adalah perdana menteri, bukan komisi antikorupsi atau kalau di Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena itu, seorang perdana menteri bersumpah untuk disediakan peti mati bila dirinya terlibat korupsi. Ini bukan sekadar komitmen, tetapi benar-benar bervisi antikorupsi.
Apa yang disampaikan sang perdana menteri itu bukan sekadar kampanye politik, tetapi benar-benar menjadi garis perjuangannya. Karena itu, tidak heran kalau di China para koruptor bisa dihukum mati.
Ini sangat berbeda dengan di negeri ini. Pemberantasan korupsi belum benar-benar menjadi visi yang akan menjadi garis perjuangan para capres bila terpilih.
Capres Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebagai incumbent juga belum berani secara terang-terangan seperti kampanyenya Partai Demokrat menjelang pemilihan legislatif lalu yang dengan tegas mengangkat pemberantasan korupsi sebagai salah satu program utama. Mengapa hal yang sama menjadi melemah di saat menjelang pilpres?
Di saat RUU Tipikor tidak mungkin diselesaikan DPR masa bakti 2004-2009, sesungguhnya menjadi peluang bagi SBY untuk segera memunculkan perpu. Pemunculan perpu akan menjadi kredit poin bagi SBY untuk bisa memenangkan pertarungan Pilpres 2009. Sebab, menyegerakan mengeluarkan perpu akan memberi harapan bagi publik bahwa pemberantasan korupsi masih terus dilanjutkan. ( )
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment