Oleh Adhi Darmawan
Tindakan kolektif akhirnya berhasil dilakukan sejumlah tokoh dan partai politik penantang Presiden “incumbent“ SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Dimotori empat tokoh yang diposisikan partainya masing-masing sebagai calon presiden (capres): Jusuf Kalla (JK), Megawati Sukarnoputri, Wiranto, dan Prabowo Subiyanto, mereka berhasil membangun kesepakatan bersama dalam kerangka kontrak “Koalisi Besar“ yang juga diistilahkan “Koalisi Parlemen”.
Dalam format ini, secara terpisah, namun tidak terlepas dari skenario koalisi tersebut, deklarasi JK-Wiranto sebagai capres-cawapres dilakukan oleh Partai Golkar dan Hanura. Dan mungkin berikutnya, disusul deklarasi serupa oleh tandem koalisi besar itu.
Suatu kesepakatan yang tidak mudah, karena sebelumnya diwarnai negosiasi politis yang rumit. Tetapi, ternyata rencana itu mampu menerobos egoisme politik demi membentuk poros kekuatan besar. Suatu kutub koalisi yang melibatkan 5 (lima) partai besar (Golkar, PDI-P, PPP, Gerindra, dan Hanura). Plus sejumlah partai gurem yang tidak memenuhi parlementary threshold yang ikut sebagai penandatangan kontrak koalisi politik itu seperti PBR, PDS, PPNUI, PKNU, PPRN, dan Partai Buruh.
Itulah episode anti-klimaks dari respons terhadap peta hasil pemilu legislatif dan situasi pencapresan. Terutama, reaksi terhadap poros koalisi yang dikonsolidasikan kubu SBY yang digerbongi Partai Demokrat yang terkesan merasa full confidence sebagai pememang pemilu legislatif.
Dengan adanya kesepakatan koalisi besar tersebut, secara strategis sudah terbangun arah bersama. Tujuan jangka pendek, reaksi soliditas berhadapan adanya semacam musuh bersama. Yaitu, reaksi terhadap kubu kekuatan pencalonan SBY.
Meski dalam menghadapi musuh bersama itu, mereka menghadapi kegagalan dalam bersepakat memajukan satu paket capres-cawapres untuk diusung oleh peserta koalisi besar secara bersama. Karena itu, ruang terbuka yang mungkin dibuat oleh koalisi besar tersebut, adalah “kesepakatan untuk tidak bersepakat” mengusung satu paket capres-cawapres, melainkan kemungkinan dua atau lebih paket capres-cawapres.
Namun yang jelas, kalaupun ada dua atau lebih paket capres yang mereka ajukan, tidak menjadi masalah dalam mencapai tujuan, karena pondasi konsensus sudah dibangun. Yaitu, penyatuan suara yang sama jika dibutuhkan dalam proses pilpres dan antisipasi kerja sama di parlemen nanti.
Dalam format inilah, langkah yang sudah pas jika kesepakatan koalisi besar tersebut disusul deklarasi pencalonan JK-Wiranto. Padahal pencalonan JK-Wiranto itu secara ironis justru mendahului deklrasi yang seharusnya lebih dahulu dilakukan oleh SBY dan Partai Demokrat bersama koalisinya.
Dengan membaca kemungkinan adanya lebih dari dua paket capres-cawapres, maka dapat diprediksi terbuka peluang proses pilpres akan berlangsung dalam dua putaran. Sebab, dengan terjadinya persaingan ketat, di antara para calon sulit mencapai 50 persen plus untuk menjadi pemenang. Jika kondisi seperti itu terjadi, maka dalam putaran kedua akan berlangsung persaingan head to head antara peraih suara terbanyak pertama dan kedua. Dan jika itu terjadi, kontestan yang gagal di putaran pertama akan mencari cantolan koalisi dengan salah satu kontestan. Dengan telah adanya koalisi besar, maka pasangan Capres dan Cawapres yang muncul diantara mereka akan menyatu untuk mengalahkan popularitas SBY yang merasa full confidence. Ini akan terjadi jika didalam koalisi besar tidak ada yang banting setir beralih kearah tujuan lain.
11 July 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment