Oleh Adhi Darmawan
(Alumnus Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhannas RI, 2010)
Cannabis sativa atau yang selama ini dikenal dengan nama ganja, dalam bulan Mei ini menjadi pembicaraan hangat. Pemicunya, sekelompok orang yang tergabung dalam Lingkar Ganja Nusantara (LGN) dalam memperingati Global Marijuana March (GMM) 2011 melakukan aksi long march menuntut ganja dilegalkan. Aksi ini dilakukan setiap tahun pada hari sabtu pertama di bulan Mei. Aksi GMM pertama kali digelar di Canada dan Selandia Baru pada tahun 1999.
Pasca munculnya tuntutan ini, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Patrialis Akbar mengatakan akan memberikan pengecualian jika jenis narkoba yang dikonsumsi untuk kebutuhan pengobatan. Dalam PP No 25/2011 tentang Wajib Lapor Bagi Pengguna Napza, para pecandu narkotika juga bisa terlepas dari jerat hukum pidana dengan beberapa persyaratan seperti bagi mereka yang tertangkap pertama kali, serta terkait kasus pelaku pengguna narkotika jenis sabu-sabu di bawah satu gram. Sehingga bagi yang memenuhi persyaratan ini, pemakai narkoba tidak perlu takut langsung meringkuk didalam terali besi, tetapi cukup wajib lapor pada lembaga atau tempat yang sudah ditentukan pemerintah. Sikap pemerintah ini cenderung terasa melunak dalam menangani pemakai narkoba.
Untung Rugi
Ganja merupakan tanaman kaya serat. Selain memiliki banyak manfaat untuk keperluan medis, ganja juga memiliki beragam manfaat untuk keperluan industri, baik industri kosmetik, maupun lainnya. Sekalipun demikian, ganja memiliki kandungan zat narkotika tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol) yang terletak pada bijinya. Zat ini dapat membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab).
Ganja telah dikonsumsi manusia sejak lama hingga menjadi bentuk idenstitas dari perilaku komunitas. Pada umumnya, ganja identik dengan warna music regee yang sempat dipopulerkan Bob Marley, musisi Jamaica. Di beberapa Negara maju, termasuk Amerika, ganja menjadi simbol budaya hippies. Di India, sebagian Sadhu yang menyembah dewa Shiva menggunakan produk derivatif ganja untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap hashish melalui pipa chilam/chillum, dan dengan meminum bhang.
Di beberapa Negara berkembang, ganja sempat menjadi symbol perlawanan terhadap arus globalisme yang didorong negara kapitalis. Di Indonesia sendiri ganja menjadi symbol perekat anak muda yang bersatu dalam komunitas pecinta “Bob Marley” dengan favorit warna dasar merah, kuning, hijau. Perilaku komunitas muda ini cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan rambut gimbal ala Bob Marley. Sekalipun tidak pernah tercatat secara resmi dari komunitas ini yang melakukan tindak kejahatan, akan tetapi perilaku anggotanya yang kerap mengkonsumsi ganja tentu sangat meresahkan. Mereka kerap kehilangan kesadaran dalam menikmati alunan musik regee yang diidolakan dan terkadang dilakukan dipinggir jalanan.
Ganja memang tidak terlihat memberikan efek seburuk buah candu, jenis herbal dimana getahnya (opium) merupakan bahan baku produksi beberapa jenis narkotika seperti morfin, heroin, dan sabu-sabu. Sekalipun demikian, secara umum pengguna ganja juga akan lebih besar berpotensi menjadi pemalas dan otak akan lamban dalam berpikir, disamping tubuh kian kurus kering.
Walaupun berasal dari herbal dan tidak terbukti menyebabkan kecanduan, ganja berpeluang mengancam kesehatan fisik dan mental. Jauh lebih buruk dari efek kerusakan kesehatan fisik dan mental yang ditimbulkan tembakau. Jika ganja dilegalkan, kondisi generasi muda sebagai kelompok rentan pengguna, tentu sangat dikhawatirkan mengingat pemuda merupakan masa depan penerus bangsa. Keberadaan ganja berpotensi memunculkan bentuk disharmoni sosial.
Ganja masuk kategori narkotika yang keberadaannya di Indonesia diatur dengan UU 35/2009 Tentang Narkotika. Dikeluarkannya ganja dari jenis narkotika dapat merubah tatanan sosial masyarakat kita yang selama ini telah memberi stempel barang haram. Akan terjadi resistensi dan penolakan besar dari berbagai komponen bangsa jika ganja menjadi dilegalkan.
Persepsi pengguna ganja sebagai korban dan bukan pelaku kejahatan sehingga perlu diberi “belas kasihan” dengan wajib lapor hanya menjadikan hukum yang ada terlihat tidak bertaring lagi. Keadaan ini hanya akan menjadi celah dalam kasus-kasus yang lebih besar. Ketegasan pada peredaran narkoba bukanlah ajang uji coba dan taruhan keberhasilan. Menjadi langkah mundur tentu jika kita memberi celah dengan melegalkan keberadaan ganja.
Lagi pula, gerakan legalisasi ganja berasal dari barat yang tatanan sosial dan budaya bangsanya bertolak belakang dengan nilai-nilai kebangsaan kita yang bersumberkan pada Pancasila. Dengan demikian tidak ada alasan lagi ganja untuk dikeluarkan dari narkotika untuk kemudian dilegalkan. Dus, belum hilang dari ingatan kita bagaimana kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Meksiko dalam usaha membasmi peredaran Narkoba yang memakan banyak jiwa.
25 May 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment