Oleh Adhi Darmawan
Seonggok daging atau potongan tubuh manusia seakan tak pernah surut menghiasi media massa. Belum hilang dari ingatan kita akan kekejaman Ryan sang penjanggal dari Jombang, berikutnya Babe, kini muncul lagi kasus pembunuhan disertai mutilasi yang dilakukan Muryani terhadap suaminya, Karyadi. Deretan peristiwa berdarah ini lambat laun mendepak karakter bangsa Indonesia yang bersendikan Pancasila, dimana seharusnya makna religiusitas, gotong royong, “sumeh”, serta nilai-nilai kemanusiaan sangat dijunjung tinggi.
Terus beranjak menyamai negara-negara barat, kasus pembunuhan disertai mutilasi ini kian marak terjadi di Indonesia. Karena bermotif dendam, konflik tertutup yang lama, hingga motif penguasaan harta, seorang manusia dapat dengan mudah kehilangan akal sehatnya hingga membunuh disertai memutilasi. Hingga masalah yang terlihat sepele seperti urusan ranjang pun bisa menjadi motif tindakan kejam ini. Seperti yang menimpa Atikah (18) dijagal suaminya, Entong (60) warga Cibinong-Bogor pada Oktober 2008, jauh sebelum mutilasi terhadap Karyadi terjadi.
Pelaku mutilasi adalah orang waras, tidak hilang ingatan. Dengan bertujuan menghilangkan barang bukti ataupun melampiaskan dendam, pelaku mutilasi masih bisa berfikir bagaimana cara yang hendak dipakai untuk dapat mencapai tujuannya. Orang tak waras hanya akan membunuh, setelah itu ditinggalkan, tidak terfikir melakukan rekayasa.
Setiap kasus pembunuhan terhadap mutilasi terjadi, aparat dibuat lebih kesulitan untuk mengungkapnya. Semakin sulit sebuah kasus terselesaikan, tentu kian besar pula anggaran negara yang harus dikeluarkan, demikian pula dalam kasus mutilasi yang cenderung rumit, butuh kejelian. Untuk menekan banyaknya kasus mutilasi ini, hukuman mati tak surut mengancam tiap pelakunya. Tapi apa hasil? Perilaku sadis ini tetap saja terjadi.
Kebanyakan pelaku pembunuhan dengan memutilasi adalah orang dekat atau setidaknya orang yang kenal korban. Tentu dengan motivasi dan modus operandi yang sangat beragam. Motivasi dendam mendalam karena diperlakukan Karyadi tidak adil inilah yang menghantarkan Muryani mendekam dipenjara. Muryani merasa telah lama dikelilingi ketidakharmonisan sosial yang diciptakan Karyadi hingga kemudian nekat membunuhnya. Selain sebagai pelaku, dalam konteks ini Muryani merangkap pula sebagai korban dari perlakuan ketidakharmonisan yang diciptakan Karyadi, sang korban itu sendiri.
Selain motif dendam, motif penghilangan barang bukti juga sempat marak terjadi seperti yang menimpa Lily Kartika Dewi dan anaknya. Keduanya di mutilasi oleh Bob Liem di Hongkong yang ingin menguasai harta miliknya. Modus lain dalam usaha penghilangan barang bukti menimpa Atikah Styani yang tengah hamil. Atikah dibunuh dan dimutilasi oleh pria yang menghamilinya pada 17 Januari 2008.
Rusaknya Tatanan Sosial dan Efek Media
Menjadi pertanyaan kemudian, dapatkah perilaku mutilasi ini dicegah, atau minimal ditekan perkembangannya? Bagaimana caranya? Karena pelaku tindakan sadis ini kebanyakan adalah orang dekat, sulit memang dapat memastikan seseorang terjamin aman dari korban tindakan ini. Bagai musuh dalam selimut, bersama orang dekat yang seharusnya kita menjadi aman, justru dalam hal ini bisa menjadi sebuah ancaman.
Ada asap pastilah ada api. Dengan melihat berbagai kasus pembunuhan yang disertai mutilasi, ada faktor yang menjadi penyebab kenapa tindakan sadis dengan memutilasi korban yang dibunuhnya banyak dilakukan. Dari sudut pandang sosiologis, faktor disharmoni sosial (ketidakharmonisan sosial) dan efek media berperan besar kenapa pembunuhan disertai mutilasi ini tetap saja terjadi.
Faktor disharmoni sosial berangkat dari tatanan sosial masyarakat kita yang tidak lagi sehat. Kesenjangan sosial antara yang kaya dan si miskin kian menganga. Gaya hidup individualis telah merambah hingga kepelosok desa. Si kaya berlimpah dengan kekayaannya, membangun tembok dan pagar tinggi-tinggi. Semakin banyaknya pagar tembok yang tinggi, memperlihatkan keberadaan “trust’ dalam masyarakat kian rendah. Secara umum, kesenjangan sosial yang meningkat berdampak pada kecemburuan sosial yang melesat, disharmoni sosial pun turut meningkat.
Dalam rentang yang lama, cara hidup individualis ditengah tatanan sosial yang tidak sehat melemahkan rasa kemanusiaan kita sebagai anak bangsa. Orang menjadi gampang marah. Jangankan berfikir sesama anak bangsa, antara suami dan istri atau anak dan orang tua yang hidup dalam satu institusi, keluarga, saja sudah banyak yang enggan untuk berbagi. Disharmoni sosial yang hilang turut melenyapkan rasa kemanusiaan, mudah menumbuhkan sifat berontak nan kejam. Pembunuhan dengan mutilasi inilah yang sering dijadikan saluran sifat “pemberontakan”.
Penyebab tiada hentinya pembunuhan disertai dengan mutilasi ini juga dipengaruhi media. Ditengah kesadaran berbangsa dan berke-Tuhan-an yang melemah -dimana tatanan sosial yang rusak menjadikan manusia menganggap kekekerasan dan kesadisan adalah hal biasa- maka, dengan mudahnya rasa kemanusian hilang terdepak kebutuhan ekonomi, kekuasaan, serta kepuasan nafsu duniawi lainnya. Dampaknya, manusia tidak lagi trauma dan berbelas kasihan melihat orang-orang yang yang menjadi korban pembunuhan hingga kemudian dimutilasi.
Ditambah lagi dengan banyaknya tayangan-tayangan kekerasan menghiasi layar kaca serta media cetak, menjadikan pembunuhan dengan mutilasi ini kian mudah terduplikasi kemasyarakat luas. Dengan menjadikan kasus pembunuhan disertai mutilasi ini berita besar, maka secara tidak langsung media telah berkontribusi dalam proses duplikasi perilaku ini kemasyarakat luas.
Kasus penemuan mayat di bus Mayasari Bhakti P 64 rute Kalideres-Pulogadung pada tanggal 29 September 2008 menjadi salah satu contoh dalam hal ini. Korban yang dimasukan plastik warna merah dan selanjutnya diketahui terpotong menjadi 13 bagian. Ternyata pelakunya adalah Sri Rumiyati, istri korban sendiri. Pelaku mengaku mendapat inspirasi dari media massa dalam membunuh disertai memutilasi setelah dendam karena sering dianiaya suaminya.
Karena berasal dari orang dekat, maka para “calon” pelaku pembunuhan disertai mutilasi ini susah diwaspadai. Untuk dapat mencegah diri kita menjadi korban, maka kita harus bisa cermat membaca tatanan sosial dan situasi sosial, serta tanggap terhadap perubahan perilaku orang-orang disekeliling kita. Mewujudkan tatanan sosial yang sehat adalah salah satu cara kita sebagai makhluk Homo Homini Socius untuk menghentikan perilaku tidak manusiawi ini.
25 May 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment