Oleh Adhi Darmawan
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia rutin memperingati hari raya Sumpah Pemuda. Pada setiap tanggal itu pulalah lantunan bait Soempah Pemuda ramai didentumkan. Sumpah Pemuda merupakan sumpah setia hasil rumusan rapatPemuda Pemudi Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Kongres Pemuda II. Sumpah tersebut dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai "Hari Sumpah Pemuda".
Tepat tanggal 28 Oktober 2008 kemarin, genap delapan puluh tahun sudah peristiwa Kongres Pemuda II itu berlalu. Hampir bertepatan dengan peringatan itu pula, dua peristiwa lain terjadi.
Pertama, melalui menteri Pemuda dan Olahraga, Adyaksa Dault, pemerintah menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepemudaan. Dalam RUU tertulis bahwa batas orang disebut sebagai pemuda jika masih berusia dibawah 35 tahun. Ketentuan ini memunculkan pro dan kontra, karena sebagian kelompok pemuda yang telah berusia lebih dari 35 tahun tetapi masih punya syahwat berkuasa diberbagai organisasi kepemudaan terancam eksistensinya.
Apa yang disampaikan oleh Menpora bukan tanpa alasan, menurutnya ini terkait dengan regenerasi kapan seseorang harus berkiprah di organisasi kepemudaan, dan kapan harus keluar dari organisasi itu. Bagi para aktivis kepemudaan yang telah berusia diatas 35 tahun disebut bukan pemuda karena menyangkut eksistensi dirinya sebagai manusia biasa. Jika dibuat batasan 35 tahun maka diatas usia ini seseorang harus menerima dirinya bukan lagi muda sehingga harus berkiprah didunia lain, sehingga kala memasuki usia 60 tahun masih punya waktu untuk istirahat, serta lebih mendekatkan diri pada aktifitas-aktifitas religius.
Alasan Menpora cukup masuk akal memang. Logikanya, jika ada seorang pemuda yang beraktifitas didunia organisasi kepemudaan, maka jika sudah melewati batas usia 35 tahun mengharuskannya berkiprah di wadah lain seperti partai politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, dsb
Kedua, sebanyak 11.301 orang calon anggota legislatif (caleg) DPR RI, dan 1.116 orang calon anggota DPD RI, telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai daftar caleg tetap (DCT) yang akan bersaing memperebutkan kursi pada pemilu 2009 nanti.
DCT DPR dan DPD tersebut ditetapkan KPU dalam rapat pleno terbuka yang dihadiri segenap perwakilan yang berasal dari 48 partai politik (parpol). Dari angka DCT DPR RI sebanyak 11.301 orang itu, jumlah caleg laki-laki sebanyak 7.391 dan caleg perempuan sebanyak 3.910. Jika dihitung maka persentase caleg perempuan sama dengan 34,6% dari angka total DCT.
Pada pemilu 2009 nanti, partai politik seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Golkar, dan Partai Demokrat menggunakan mekanisme perolehan suara terbanyak untuk menentukan calegnya yang terpilih dari setiap daerah pemilihan yang ada. Azas keadilan dan pemerataan kesempatan bagi semua calegnya untuk bisa terpilih disetiap daerah pemilihannya rupanya ingin dikedepankan oleh partai ini.
Sekalipun demikian, bagi sebagian orang penempatan nomor urut yang diberikan oleh partai politik terhadap calegnya tetap menjadi ukuran sejauh mana orang tersebut dihargai dan diprioritaskan terpilih oleh partainya. Inilah mungkin yang menyebabkan salah satu caleg dari partai Golongan Karya, Yuddy Crisnandi, mengundurkan diri dari pencalonannya lewat partai berlambang pohon beringin ini karena ditempatkan di nomor urut agak buncit.
Jika diprosentasekan, tak hanya Yuddy, hampir banyak pemuda (yang berusia dibawah 35 tahun menurut Menpora) memperoleh nomor urut agak buncit, setengah buncit, atau maha buncit. Nomor urut langsing (pertama) diberikan pada caleg yang usianya diatas 35 tahun.
Penghargaan yang diberikan para tokoh tua kepada tokoh muda dipartai politik masih sangat rendah. Rupanya, peringatan sumpah pemuda hanya menjadi kebiasan tak bermakna (ritual formalistic). Sekalipun menggunakan mekanisme suara terbanyak dan memasukan mayoritas pemuda sebagai calegnya, akan tetapi keberadaan pemuda dipartai politik masih terlihat diposisikan sebagai penarik massa dan pekerja politik untuk mendulang suara, belum diposisikan sebagai pengambil kebijakan. Faktor kekayaaan materi terasa masih mendominasi dalam pemilu 2009 nanti. Dalam posisi ini, pemuda butuh kerja keras yang luar biasa agar bisa terpilih dalam pemilu 2009 nanti, kerja-kerja politik dan strategi kampanye tidak berbasiskan dana besar rupanya sebuah alternatif yang harus dicari kaum muda agar dapat memenangkan kampanye.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment