Oleh Adhi Darmawan
Beberapa pekan yang lalu, Korea Utara telah mengeluarkan statement yang mengklaim keberhasilannya dalam melakukan uji coba nuklir. Uji coba nuklir Korea Utara dilakukan dibawah tekanan dari dunia international yang tidak merestui tindakan Korea Utara tersebut.
Ledakan kuat atas uji coba nuklir tersebut disinyalir terjadi di sebuah fasilitas bawah tanah di Provinsi Hamgyong Utara, Korea Utara. Berbagai ahli analisis pertahanan mempercayai bahwa Korea Utara tidak mungkin mempunyai kemampuan untuk dapat melakukan hal tersebut, tetapi sepertinya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Korea Utara hanya sekedar melakukan gertakan politik. Para pemimpin dunia mengutuk keras tindakan Korea Utara, karena apa yang dilakukannya dianggap telah mengancam ketentraman dan stabilitas keamanan.
Setahun yang lalu, Korea Utara juga telah melakukan uji coba tujuh buah misilnya, termasuk satu kali kegagalan terhadap misil jarak jauh Taepodong-2 yang dapat menjangkau wilayah Amerika Serikat. Itulah sebabnya, di samping telah membuka episode baru yang berbahaya dalam pengembangan senjata nuklir, uji coba yang dilakukan oleh Korea Utara dianggap telah mewujudkan ancaman yang serius bagi Amerika Serikat dan sekutunya. Al hasil, petinggi garis keras di Washington telah merencanakan untuk menggunakan “pre-emptive attack” terhadap tempat-tempat pembuatan nuklir di Korea Utara dalam jangka waktu dekat ini andai saja uji coba itu dianggap telah dan akan menimbulkan ancaman.
Sekalipun motif dalam menggunakan “pre-emptive attack” memiliki tujuan yang baik, tetapi bagaimanapun juga, memberikan legitimasi dengan menyebutnya sebagai hak bagi setiap negara untuk menggunakan “pre-emptive attack” sebagai tindakan membela diri, maka hal tersebut sama saja degan memberikan perizinan pada Negara lainnya yang nantinya tidak mungkin lagi dapat dikendalikan.
“Pre-emptive attack” akan memberikan kesempatan luas untuk melegitimasi penyerangan yang membabi-buta secara bersama-bersama oleh negara adikuasa guna menghancurkan negara-negara yang lebih lemah di dunia ini, salah satunya Korea Utara. Secara tidak langsung, tindakan ini akan melanggar ketentuan Piagam PBB, dimana sejatinya setiap tindakan haruslah terlebih dahulu diputuskan melalui instrumen Dewan Keamanan PBB.
Atas kondisi inilah China dan beberapa negara lainnya merasa enggan untuk memberikan dukungan penuh terhadap sanksi ekonomi kembali yang akan dijatuhkan oleh PBB terhadap klaim keberhasilan uji coba nuklir Korea Utara. Pasalnya, draft sanksi tersebut sepenuhnya dibuat oleh Amerika Serikat. Mereka tidak mengharapkan Pyongyang akan mengambil langkah keras dengan tindakan balasan yang justu dapat memperburuk hubungan dengan negara-negara disekitarnya apabila sanksi tersebut terkesan dipaksakan.
Dari Iran hingga Korea Utara kemudian sampai dengan Venezuela, mereka mulai membangun strategi anti pemimpin-pemimpin negara barat guna memberikan ancaman di tengah-tengah menguatnya harga minyak dunia atau sekedar untuk memperlemah jangkauan militer Amerika Serikat dengan cara mengurangi daya pengaruh publik terhadap dukungan atas penggunaan “pre-emptive action” oleh kekuatan militer Amerika Serikat dan sekutunya.
Tentu saja kita setuju menolak keras tindakan pengembangbiakan nuklir sebagai senjata yang akan digunakan untuk menghancurkan. Akan tetapi kita juga sudah sepatutnya keras terhadap Amerika, Inggris, dan negara maju lainnya yang menginginkan negara-negara lainnya untuk menghentikan pembuatan senjata nuklir, agar mereka sendiri dapat bertindak adil pada beberapa Negara di dunia. Jika Amerika dan sekutunya ingin menjadi pemimpin didunia, maka seharusnya dapat memimpin dengan memberikan contoh terlebih dahulu dalam membina hubungan baik dengan negara manapun. Bukan menciptakan tindakan sebaliknya yang merugikan Negara lain sehingga tercipta suasana saling bermusuhan.
14 April 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment