Setelah, Kivlan Zein, Wiranto, SBY, Saurip Kadi, dsb… Kini giliran Sintong Panjaitan yang menulis sebuah buku dan telah resmi diluncurkan. Rupanya, perkembangan positif telah merasuk dalam dunia militer kita, yakni budaya adu argumen secara ilmiah dengan meluncurkan buku, tidak lagi dengan mengandalkan kekuatan otot yang selama ini identik dengan bentuk TNI.
Mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan secara resmi telah memberikan sambutan saat peluncuran bukunya di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (11/3). Buku yang berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando ini memuat berbagai pengalaman dan pandangan lulusan Akademi Militer angkatan 63 semasa aktif dalam dunia militer.
Sintong Panjaitan memaparkan kebenaran sejarah tentang situasi militer zaman Orde Baru yang selama ini dinilai samar-samar. Hal ini dituangkan dalam bukunya berjudul Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang diluncurkan.
"Dalam buku ini saya mengungkapkan kebenaran di mana banyak peristiwa yang tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Buku ini bukan untuk menghakimi, namun agar kesalahan di masa lalu tidak diulangi di masa depan," tutur Sintong, saat peluncuran bukunya, di Gedung Balai Sudirman Jakarta.
Sintong berbagi rahasia bahwa keinginannya untuk menulis hingga dapat menyelesikan bukunya itu karena adanya dorongan yang kuat dari keluarga, istri, teman, dan sesepuh. "Mereka menilai banyak pengalaman yang tersamarkan dan tidak jelas," katanya. Sintong berharap buku dengan sampul warna hijau setebal 520 halaman ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi pembaca.
Buku 'Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' karya Sintong Panjaitan mendapat sambutan positif dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Informasi yang diberikan Sintong, bisa digunakan sebagai informasi tambahan dalam menguak kasus orang hilang.
"Sintong banyak memberikan informasi baru yang tidak didapat dari mekanisme penyelidikan formal," ucap anggota badan pekerja Kontras Indria Fernida.
Selain itu, Indria juga melihat buku tersebut sebagai pembuka tabir misteri beberapa kasus pelangaran HAM selama ini. Ia mencontohkan, pembantaian massal Santa Cruz di Dili, penghilangan aktivis 1998, serta kerusuhan Mei 1998.
"Seharusnya institusi negara memanfaatkan pengakuan Sintong sebagai agenda akuntabilitas kasus pelanggaran berat HAM masa lalu," tambahnya.
Menurut Indria, kapasitas Prabowo Subianto sebagai calon presiden juga patut dipertanyakan setelah adanya buku tersebut. Alasannya, peran mantan Danjen Kopassus itu dalam kasus penculikan orang hilang sangat penting.
"Kalau mengendalikan pasukan dibawahnya tidak bisa, apalagi nanti menjadi presiden," kecamnya.
Untuk itu, Indria meminta agar kontroversi buku karya Sintong tidak dimaknai sebagai perbedaan pendapat belaka diantara Sintong dan Prabowo. Namun buku tersebut harus dijadikan sebagai kerangka penegakan HAM.
Menanggapi munculnya wacana yang memojokkan dirinya yang berasal dari buku Sintong, Prabowo Subianto pun segera meluncurkan bukunya yang berjudul 'Membangun Kembali Indonesia Raya.' Cuma sepertinya, dalam bukunya Prabowo lebih fokus membicarakan masalah ekonomi dan bukan focus menjawab semua tudingan Sintong.
Apa pun juga, jawaban lengkap Prabowo terkait tudingan yang dialamatkan kepada dirinya tetaplah dinanti-nanti. Betapa tidak. Dalam bukunya itu, Sintong secara tidak langsung mengatakan Prabowo turut bertanggung jawab atas peristiwa 21 Mei 1998.
Pada halaman 34 dia mengungkapkan keheranannya mengapa tiada seorang pun dari para perwira tinggi ABRI yang mengambil tindakan pengamanan dalam peristiwa Mei 98 tersebut. Padahal waktu itu 90 persen kekuatan Kostrad di bawah komanda Letjen Prabowo Subianto berada di Jakarta.
"Tentara ada di mana-mana dan dapat digerakkan ke mana pun diperlukan. Tetapi mereka tidak mendapat perintah," demikian bunyi paragraf pertama pada halaman 35 buku setebal 520 halaman tersebut.
Baru saja diluncurkan, Mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto dan mantan Panglima Kostrad Letjen (Purn) Prabowo Subianto harus bertanggung jawab atas kerusuhan Mei 1998 oleh mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang hadir dalam peluncuran itu.
"Wiranto harus bertanggungjawab atas kerusuhan Mei karena tidak dilaksanakannya perintah presiden untuk pemulihan keamanan dan Prabowo bertanggungjawab atas kasus penculikan," kata Marzuki usai bedah buku Sintong di Balai Sudirman, Jl Dr Saharjo, Jakarta, Rabu (11/3/2009).
Marzuki menilai, buku ini sangat berarti untuk meluruskan problematika kekuasaan ke depan. Menurut dia, keputusan Wiranto yang menolak perintah presiden tersebut memunculkan pertanyaan, yakni apakah hal itu bisa dikategorikan membuka demokrasi atau merupakan jenis pelanggaran serius di tubuh TNI.
"Biarkan pertanyaan berkembang dan biar politik yang menyelesaikan mereka," tambahnya.
Apakah peluncuran buku ini disinyalir untuk menjegal Wiranto dan Prabowo? "Itu teori konspirasi yang menandakan adanya kemalasan berpikir saja. Buku ini merupakan sumbangan yang berarti bagi sejarah Indonesia," cetus Marzuki.
Dalam buku setebal 520 halaman yang ditulis wartawan senior Hendro Soebroto tersebut, Sintong menuturkan Wiranto boleh menolak perintah Panglima Tertinggi. Namun seharusnya Wiranto mengundurkan diri selambat-lambatnya dalam jangka waktu delapan hari sejak menolak perintah.
"Wiranto boleh menolak perintah Panglima Tertinggi. Tetapi karena hal itu merupakan subordinasi, maka selambat-lambatnya ia harus mengundurkan diri dalam jangka waktu delapan hari. Bahkan Sintong menegaskan bahwa setelah Wiranto menolak perintah Panglima Tertinggi ABRI, pada saat itu juga ia harus langsung mengundurkan diri," demikian tertulis pada halaman 6.
Selain mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, Gus Dur dan Agum Gumelar pun turut hadir. Selain tamu-tamu yang hadir, sejumlah tokoh nasional terlihat mengirimkan karangan bunga. Tampak karangan bunga dari Menneg Pora Adhyaksa Dault, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Kepala Bappenas/ Menteri PPN Paskah Suzetta. AD
02 April 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment