05 November 2008

Penyederhanaan Partai.


Oleh Adhi Darmawan

Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 tinggal menyisakan waktu beberapa hari lagi. Sebanyak tiga puluh empat partai telah resmi menjadi kontestan pemilu 2009 nanti. Saat detik-detik seleksi partai untuk menentukan partai yang layak atau tidak untuk menjadi peserta pemilu, terjadi perdebatan sengit tentang perlu dilakukannya penyerdehanaan partai ataukah tidak. Tapi kini rupanya, usulan penyederhanaan partai sudah tidak hangat lagi di bicarakan, padahal ini sangatlah penting. Beberapa saat lalu, usulan penyerdehanaan partai muncul terutama dari partai-partai besar seperti, Partai Golkar dan PDI P.
Sejak Pemilu 1999, Indonesia sebenarnya sudah memberlakukan desain kelembagaan untuk membangun sistem multipartai terbatas melalui electoral threshold. Dalam literatur mengenai sistem pemilihan, threshold berarti dukungan suara minimal yang harus dimiliki oleh partai atau seseorang untuk memperoleh kursi di parlemen. Mekanisme demikian dimaksudkan untuk menciptakan sistem perwakilan dan kepartaian yang stabil.
Dengan alasan tersebut, ide penyederhanaan parpol adalah sebuah kebutuhan mendesak guna menciptakan sistem multipartai terbatas. Pertanyannya adalah, bagaimana cara penyederhanaan parpol tanpa harus melanggar prinsip-prinsip demokrasi? Agar penyederhanaan parpol ini tidak terkesan dipaksa maka diperlukan rekayasa politik sedemikian rupa sehingga partai politik yang dapat mengikuti pemilu adalah parpol yang sudah terseleksi oleh rakyat.
Dalam konsep rekayasa politik ini, electoral threshold sebagaimana diterapkan di Jerman dan Polandia dapat dijadikan rujukan. Threshold harus dipahami sebagai batas minimal perolehan suara suatu parpol untuk memperoleh kursi di parlemen. Pemahaman threshold seperti ini berimplikasi pada upaya untuk membangun koalisi bahkan oposisi, dalam pemerintahan akan mudah dilakukan. Implikasi lainnya adalah, secara tidak langsung dan dalam jangka panjang, pemahaman threshold seperti ini dapat mengurangi jumlah partai.
Pengertian threshold di Indonesia selama ini dipahami sebagai seleksi partai-partai yang berhak mengikuti pemilu berikutnya. Pemilu 1999, angka threshold 2 persen dari perolehan kursi di parlemen. Dari batasan yang demikian hanya enam parol yaitu PDIP, Golkar. PKB,PPP, PAN, PBB yang berhak mengikuti Pemilu 2004. Sedangkan Pemilu 2004 angka threshold dinaikkan menjadi 3 persen dari perolehan kursi di parlemen. Partai yang tidak mencapai angka threshold tetap diperbolehkan mengikuti pemilu berikutnya asal bergabung dengan partai lain atau membentuk partai baru dengan nama yang berbeda sepeti yang dilakukan PKS. Dari dua kali pemilu yang terselenggara, tergambar bahwa threshold yang dipahami di Indonesia telah gagal membentuk sistem kapartaian yang akuntable, efektif dn efisien. Sebagai titik balik itu semua, adalah masuk akal jika ada ide mengenai penyederhanaan parpol.
Keinginan menyederhanakan parpol di Indonesia sebenarnya sudah digagas menjelang Pemilu 1971. Buku Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999 menyatakan, pembahasan undang-undang kepartaian, keormasan, dan kekaryaan yang memuat syarat organisasi yang bisa ikut pemilu memang dibatalkan oleh DPR-GR. Meski demikian, sejalan dengan kebijakan penyederhanaan jumlah partai, pemerintah membatasi peserta pemilu hanya sembilan partai politik dan Golkar. Barulah pada pemilu lima tahun berikutnya, penyederhanaan itu bisa dilakukan. Tetapi, penyederhanaan yang diprakarsai pemerintah itu dilakukan tidak secara alamiah dan tanpa memperhatikan hasil pemilu. Penyederhanaan dimulai melalui konsensus dengan penggabungan atau fusi sembilan parpol peserta Pemilu 1971. Hasilnya, mulai Pemilu 1977, tercatat hanya tiga peserta pemilu, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Kondisi ini bertahan hingga lima pemilu sampai tahun 1997.
Kondisi berubah cepat setelah reformasi mengantarkan pada Pemilu 1999. Parpol baru bertumbuhan seolah cendawan di musim penghujan. Data Litbang Kompas menyebutkan, parpol yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman tercatat sejumlah 141 parpol. Yang kemudian mendaftarkan diri ke Lembaga Pemilihan Umum (LPU) untuk menjadi peserta Pemilu 1999 sebanyak 106 parpol. Dari jumlah itu, yang dinyatakan layak verifikasi sebanyak 60 parpol. Berdasarkan hasil verifikasi Tim-11 yang diumumkan pada 4 Maret 1999 di Gedung LPU direkomendasikan 48 parpol sebagai peserta Pemilu 1999. Penetapan ke-48 parpol sebagai peserta Pemilu 1999 dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Lembaga Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 1999.
Dengan syarat yang ketat, keinginan parpol untuk berpartisipasi tidak juga surut. Pada Pemilu 2004, sebanyak 112 parpol mendaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Masuk ke KPU, jumlahnya turun menjadi 50 parpol. Dari jumlah itu, hanya 24 parpol yang bisa ikut sebagai peserta Pemilu 2004. Dengan acuan sekurang-kurangnya mendapat 3 persen jumlah kursi DPR, praktis hanya 7 parpol yang langsung menjadi peserta Pemilu 2009 mendatang.
Menurut Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Pramono Anung dalam diskusi Dialektika Demokrasi RUU Sistem Pemilu 2009 Menuju Demokrasi Yang Berkualitas di Jakarta Media Centre, Jakarta, beberapa waktu yang lalu, banyaknya parpol yang maju pemilu hanya akan membuang tenaga, karena setiap parpol akan menyodorkan agendanya masing-masing. Dengan sistem presidensial penyederhanaan parpol akan dapat menunjukkan efisiensi secara nasional, sehingga parpol akan lebih fokus dalam menyelesaikan masalah internal partai dan kenegaraan.
Sementara menurut Arbi Sanif, pengamat politik Universitas Indonesia (UI), dengan adanya penyederhanaan partai bukan berarti jumlah partai harus dibatasi tapi yang penting sistemnya. “Sistem itu menggambarkan kerjasama partai, wujudnya adalah koalisi. Dalam sistem multi partai, maka sistem koalisi yang dipakai. Dengan adanya koalisi besar, sehingga partai terkelompok ke dalam dua atau tiga kelompok. Di Indonesia, Yang kita butuhkan dua kelompok koalisi, yang satu mendukung pemerintah, yang satunya sebagai oposisi untuk mengontrol presiden” tuturnya. Menurutnya, Negara kita belum menjalankan sepenuhnya system pemerintahan presidensial yang kita anut. Dalam sistem presidensial hanya dua kekuatan yang dibutuhkan, dan di DPR seharusnya hanya ada dua partai koalisi. Karena kalau banyak kekuatan maka sistem pemerintahan kita akan rusak
Sebelumnya, Partai Golkar mengusulkan agar rasionalisasi jumlah parpol peserta pemilu bukan dengan pelarangan melainkan dengan menaikkan secara bertahap ambang batas perolehan suara. "Dengan cara ini, konstituen yang menentukan berapa jumlah parpol yang layak ikut pemilu. Tidak dengan pelarangan pendirian parpol karena cara seperti ini tidak demokratis," kata Ketua DPP Partai Golkar Andi Mattallata.
Menurut Andi, dalam ketentuan UU Parpol dan UU Pemilu yang lama, batas minimum perolehan suara parpol yang boleh ikut adalah tiga persen. Saat ini Partai Golkar menggagas untuk menaikannya menjadi lima persen. Usulan ini pun didukung oleh oleh partai-partai yang notabenenya selama ini punya masa besar, seperti PDIP dan PKB. Alasan kedua partai ini bukan karena ingin membunuh partai-partai kecil. Tapi untuk meningkatkan kinerja wakil parpol di parlemen dan terciptanya sistem presidensial yang sehat.
Sejumlah penelitian, memang membuktikan kalau jumlah partai terlalu banyak membuat presidennya menjadi minoritas dan kurang dukungan dari parlemen. Seperti banyak terjadi di Amerika Latin. Tapi apakah cara penyederhanaan partai itu harus meniru cara-cara Orde Baru yang memaksakan fusi? Atau dengan menaikkan electoral threshold (ET) atau ambang batas perolehan suara yang dinilai karena kepentingan partai besar untuk membunuh kompetitornya?
Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro), Hadar Navis Gumay, mengatakan pembatasan partai sebaiknya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas partai. Alih-alih meningkatkan kualitas, Hadar melihat upaya meningkatkan ET hanya upaya proteksi partai-partai besar untuk mengurangi saingan.

No comments: