08 June 2010

HAM Dalam Perilaku Menyimpang Di Indonesia

Adhi Darmawan
Peneliti The Habibie Center


Perilaku menyimpang sosial seksual semakin menjadi ancaman serius masyarakat Indonesia. Mengikuti Belanda, Amerika Serikat , Meksiko, dan sejumlah negara barat lainnya yang telah mendukung pernikahan sejenis, sebagian kecil masyarakat Indonesia juga kini telah menganggap perilaku menyimpang ini sebagai sebuah kewajaran.

Belum lepas ingatan kita akan nyaris terjadinya konflik horizontal saat diadakannya Konferensi International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans, and Intersex Association (ILGA) yang sedianya berlangsung di Surabaya pada 26-28 Maret 2010, akan tetapi pada 15 Mei yang lalu, masih tetap berlangsung pernikahan antara dua pasangan lesbi di Surabaya. Anehnya lagi pernikahan ini dilakukan melalui ritual Islam, yang telah jelas mengatur pernikahan adalah untuk laki-laki dan perempuan.

Lebih dari itu, pernikahan tersebut didukung oleh seorang ulama yang turut menyaksikan pernikahan sejenis antar perempuan menurut Islam. Bahkan, keberadaan dua orang yang menikah tidak perlu ada otoritas yang meresmikannya. Cukup dua orang yang menyatakan janjinya untuk menikah sudah dianggap sah, walau menurut undang-undang itu tidak sah.


Kearifan Lokal Indonesia
Sebelum pernikahan sejenis muncul di Indonesia, dalam akar budaya kita sebetulnya kehidupan rumah tangga yang berlangsung sejenis memang telah ada. Sosok warok dalam budaya Reog Ponorogo yang disimbolkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta sorot mata yang tajam, dibalik itu justru mereka menjalani kehidupan sosial yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Demi menjaga ilmu kanuragan yang dimilikinya, para warok yang terlihat Macho malah memilih hidup dengan tidak berhubungan badan dengan wanita, melainkan dengan bocah lelaki “jengger” yang berumur 8-15 tahun dan kerap disebut gemblakan.

Konon, sebagian besar pendekar yang hidup pada zaman kerajaan juga memilih kehidupan seperti warok, demi menjaga ilmu kesaktiannya. Bagi para pendekar yang berasal dari negeri Tirai Bambu, budaya tidak berhubungan dengan perempuan juga bukan budaya baru, seperti dapat terlihat dari kehidupan para Kasim istana yang berasal dari tradisi kota Lagash, Sumeria pada abad 21 SM. Konon pula tradisi para Kasim sebagai pengikut Dewi Cybele mengkebiri dirinya berlandaskan agama sesuai yang dicontohkan teolog awal, Origenes, sesuai pemahamannya yang ditentang dengan menafsirkan Injil Matius 19:12.

Liberalisme dan HAM
Sekalipun memiliki akar kebudayaan yang menjadikan kehidupan sejenis adalah kewajaran, namun sebagai sebuah bangsa yang telah membulatkan tekdanya berkepribadian Pancasila, dimana dalam Sila Pertama disebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka kehidupan para warok merupakan perilaku menyimpang, dalam arti perilaku diluar kewajaran sebagian besar masyarakat Indonesia.

Hal inilah yang membedakan dengan beberapa negara diluar negeri yang mendukung keberadaan pernikahan sejenis atas dasar Hak Asasi Manusia. Sebagaimana diketahui bahwa beberapa negara luar memiliki akar budaya yang menjadi embrio adanya hubungan pernikahan sejenis, seperti di Rusia misalnya, dimana Sekte Skoptzi atau sekte Pintu Gerbang Sorga yang pada abad ke-18 melakukan penyembahan pengebirian. Orang-orang Hijra dari India juga sama mempraktikkan ritual pengebirian dengan membuang kemaluannya dan lebih bangga disebut sebagai orang kasim. Hanya saja akar tradisi mereka juga kini telah pudar setelah mengetahui hal itu lebih banyak keburukan dari pada manfaatnya.

Bagi orang yang masih menjadi penganut pernikahan sesama jenis, dimana kini makin gencar melakukan ekspansi budaya, hak asasi manusia seringkali menjadi landasan utama bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah perilaku menyimpang. Tetapi merupakan kewajaran dimana mereka memiliki sebuah hak asasi untuk hidup dan berekspresi sesuai dengan kecenderungannya. Selain itu, alasan fitrah mereka yang secara psikologis memiliki kelainan dengan berkecendurungan mencintai sesama jenisnya menjadi landasan hal pokok bahwa mereka wajar untuk mencintai sesama jenis.

Aksi hubungan sejenis makin berkembang setelah ditambah lagi dengan arus liberalisme yang mengartikan kebebasan perlu diberikan pada semua bidang kehidupan, tak terkecuali. Hal ini telah terlihat dalam kasus pernikahan sejenis di Surabaya tersebut yang diperkuat oleh dalil-dalil tafsir ayat-ayat Al Quran alim ulama berfaham liberalisme. Bagi para pecinta sejenis, perkembangan sejauh ini menunjukkan bahwa generasi lesbian dan gay sekarang dinilai mengalami perkembangan untuk menikah. Bisa saja kemudian dalam pandangan mazhab liberalisme pernikahan biseksual dan transgender, diartikan sebagai perkembangan positif dengan memelintir ayat Tuhan dalam Islam “bagi yang sudah cukup mampu, di sunahkan menikah secepatnya”, tanpa mau mengerti bahwa pernikahan yang dimaksud jelas pernikahan antar jenis. Itu saja masih ada ketentuan lainnya yang menjadi rukun nikah.

Ada beberapa fase perkembangan fenomena hubungan atau pernikahan sejenis terjadi di Indonesia. Fase pertama, masalah mistik atau tuntunan adikodrati pada era tradisional Indonesia. Fase kedua masalah psikologis beberapa orang memiliki kelamin ganda yang kemudian melakukan tindakan medis untuk merubah jenis kelaminnya. Fase berikutnya, masalah hak asasi manusia yang kemudian didukung oleh kaum liberalisme dengan berjuang merubah bentuk bahwa fenomena ini bukanlah perilaku menyimpang.

Dengan memakai landasan falsafah hidup bangsa yang berlandasakan Pancasila, jelas fenomena hubungan atau pernikahan antar sejenis adalah perilaku sosial yang menyimpang. Sebagai sebuah bangsa yang mengikrarkan dirinya berlandaskan Pancasila, maka sudah seharusnya pemerintah melakukan sesuatu yang lebih tegas dalam hal ini. Jangan sampai kekerasan yang dilakukan beberapa ormas Islam terjadi lagi. Tidaklah tepat menunggu konflik horizontal meledak dalam masyarakat, sebab fenomena ini dapat menjadi bom waktu.

SIRKULASI ELIT NASIONAL PASCA ANAS DEMOKRAT 1

Adhi Darmawan
Peneliti di The Habibie Center

Melalui perhelatan politik yang demokratis, akhirnya Anas Urbaningrum berhasil terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2010-1015. Anas yang baru berusia 41 tahun berhasil mengalahkan kandidat Ketua Umum lainnya yang notabene umurnya jauh lebih tua darinya. Keberhasilan Anas menjadi Ketua Umum partai terbesar di Indonesia bukan hanya keberhasilan Partai Demokrat saja dalam melancarkan sirkulasi elit dalam dirinya, akan tetapi memiliki dampak yang signifikan dalam sirkulasi politik nasional.

Anas adalah seorang elit aktifis mahasiswa dengan berpendidikan pasca sarjana. Dengan bermodal ini saja, Anas telah memposisikan dirinya berada dalam kelas menengah jagad perpolitikan nasional. Sebagai elit mahasiswa, Anas memiliki pasukan elit dalam kelas menengah yang menjadi jaringannya dan menyebar diberbagai lapisan di kepengurusan daerah Partai Demokrat. Dengan pendidikan tinggi yang dimiliki kelas elit aktifis ini, maka mereka mudah menjangkau kekuasaan, atau bertarung memperebutkan kekuasaan melawan kelompok elit lainnya yang berasal dari elit militer dan polisi, elit pengusaha atau pemodal, elit agama, elit preman atau mafia, elit artis, serta elit partai politik lainnya yang berlatar bukan aktifis mahasiswa.

Disamping Anas, banyak juga para elit aktifis mahasiswa lain yang tersebar di berbagai partai politik lain. Jika kita telusuri yang kurang lebih umurnya tidak jauh beda dengan Anas, kita bisa menemukan Fadli Zon di Gerindra, Puan Maharani di PDIP, Ahmad Doli Kurnia dan Indra Pilliang di Partai Golkar, Yuddy Crisnandi di Hanura, dan sebagainya. Sebagai insan politik, mereka tentu juga memiliki semangat bagaimana kekuasaan bisa berada dalam pihaknya.

Wajar jika kemudian diantara mereka bertanya kenapa Anas bisa melesat menjadi orang nomor satu di partai terbesar, sementara mereka terbentur untuk melangkah. Yuddy Crisnandi adalah sebuah contoh politisi muda yang sempat “dianggap gila” ketika mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar, hingga kemudian “lompat pagar” karena langkahnya seolah tidak mendapat respon sama sekali walau cuma satu suara dukungan. Terpilihnya Anas jelas membakar semangat mereka untuk meneguhkan bahwa sirkulasi elit kepemimpinan partai politik sebagai rahim lahirnya kepemimpinan nasional harus bisa terjadi.

Keuntungan Demokrat
Bagi Partai Demokrat, terpilihnya Anas juga jelas sangat menguntungkan dirinya. Pasalnya, ditengah kejemuan publik terhadap banyaknya elit partai politik nasional yang memiliki beban amsa lalu. Partai Demokrat bisa tampil menjadi gerimis yang membasahi gurun pasir dengan menampilkan sosok muda santun nan cerdas yang tidak memiliki beban masa lalu.

Sosok idealisme Anas sebagai tokoh publik jelas masih terlihat menonjol dibanding elit utama partai politik lain yang cenderung pragmatis. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sirkulasi elit di Partai Demokrat cukup “sehat”, jadi bukan seperti partai politik yang biasanya menjadi bak penampung tokoh pensiunan. Partai Demokrat memperlihatkan bahwa mekanisme berjalan dengan baik, elit pengusaha atau elit agama memiliki kedudukan sama, tidak ada yang diagungkan keanggotaannya.

Anas terpilih juga tidak begitu saja, pasti melalui kalkulasi politik yang matang oleh para pemilihnya. Bukan keputusan yang sangat mudah pula bagi para untuk menjatuhkan pilihan ke Anas, ditengah adagium “yang tua yang boleh bicara”. Sebagian besar para politisi masih meyakini seseorang bisa menjadi pemimpin dengan memegang tanggung jawab yang besar seperti ketuam umum partai politik ketika umur mereka telah berusia diatas 50 tahun. Dan ini benar, selain Anas, hampir semua elit utama pemimpin politik nasional berusia diatas setengah abad. Ukuran kematangan seorang menjadi pemimpin juga kerap kali diukur ketika mereka sudah kaya raya dengan mengantongi banyak harta untuk menjalankan roda organisasi partainya. Ini yang di tolak oleh para pemilih rasional Anas. Banyak penganut adagium ini yang tidak sadar bahwa justru Anas yang bermodalkan kesantunan dan kecerdasan justru terasa lebih luas diterima publik.

Sekali lagi, terpilihnya Anas melalui panggung demokratis nan jauh dari faktor rekayasa politik nasional, sebuah faktor yang direncanakan untuk menghasilkan perubahan politik nasional. Jangankan lingkup nasinal, lokal Partai Demokrat pun tidak. Hanya saja, dampaknya jelas akan sangat besar pada sirkulasi elit politik nasional. Jika Anas bisa menjaga ritme politik yang “sehat” sampai 2014, dan partai lain tak bergegas melakukan apa yang di capai Partai Demokrat, maka Pemilu 2014 terlihat akan tetap berada ditangan Partai Demokrat.