08 June 2010

SIRKULASI ELIT NASIONAL PASCA ANAS DEMOKRAT 1

Adhi Darmawan
Peneliti di The Habibie Center

Melalui perhelatan politik yang demokratis, akhirnya Anas Urbaningrum berhasil terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2010-1015. Anas yang baru berusia 41 tahun berhasil mengalahkan kandidat Ketua Umum lainnya yang notabene umurnya jauh lebih tua darinya. Keberhasilan Anas menjadi Ketua Umum partai terbesar di Indonesia bukan hanya keberhasilan Partai Demokrat saja dalam melancarkan sirkulasi elit dalam dirinya, akan tetapi memiliki dampak yang signifikan dalam sirkulasi politik nasional.

Anas adalah seorang elit aktifis mahasiswa dengan berpendidikan pasca sarjana. Dengan bermodal ini saja, Anas telah memposisikan dirinya berada dalam kelas menengah jagad perpolitikan nasional. Sebagai elit mahasiswa, Anas memiliki pasukan elit dalam kelas menengah yang menjadi jaringannya dan menyebar diberbagai lapisan di kepengurusan daerah Partai Demokrat. Dengan pendidikan tinggi yang dimiliki kelas elit aktifis ini, maka mereka mudah menjangkau kekuasaan, atau bertarung memperebutkan kekuasaan melawan kelompok elit lainnya yang berasal dari elit militer dan polisi, elit pengusaha atau pemodal, elit agama, elit preman atau mafia, elit artis, serta elit partai politik lainnya yang berlatar bukan aktifis mahasiswa.

Disamping Anas, banyak juga para elit aktifis mahasiswa lain yang tersebar di berbagai partai politik lain. Jika kita telusuri yang kurang lebih umurnya tidak jauh beda dengan Anas, kita bisa menemukan Fadli Zon di Gerindra, Puan Maharani di PDIP, Ahmad Doli Kurnia dan Indra Pilliang di Partai Golkar, Yuddy Crisnandi di Hanura, dan sebagainya. Sebagai insan politik, mereka tentu juga memiliki semangat bagaimana kekuasaan bisa berada dalam pihaknya.

Wajar jika kemudian diantara mereka bertanya kenapa Anas bisa melesat menjadi orang nomor satu di partai terbesar, sementara mereka terbentur untuk melangkah. Yuddy Crisnandi adalah sebuah contoh politisi muda yang sempat “dianggap gila” ketika mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar, hingga kemudian “lompat pagar” karena langkahnya seolah tidak mendapat respon sama sekali walau cuma satu suara dukungan. Terpilihnya Anas jelas membakar semangat mereka untuk meneguhkan bahwa sirkulasi elit kepemimpinan partai politik sebagai rahim lahirnya kepemimpinan nasional harus bisa terjadi.

Keuntungan Demokrat
Bagi Partai Demokrat, terpilihnya Anas juga jelas sangat menguntungkan dirinya. Pasalnya, ditengah kejemuan publik terhadap banyaknya elit partai politik nasional yang memiliki beban amsa lalu. Partai Demokrat bisa tampil menjadi gerimis yang membasahi gurun pasir dengan menampilkan sosok muda santun nan cerdas yang tidak memiliki beban masa lalu.

Sosok idealisme Anas sebagai tokoh publik jelas masih terlihat menonjol dibanding elit utama partai politik lain yang cenderung pragmatis. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sirkulasi elit di Partai Demokrat cukup “sehat”, jadi bukan seperti partai politik yang biasanya menjadi bak penampung tokoh pensiunan. Partai Demokrat memperlihatkan bahwa mekanisme berjalan dengan baik, elit pengusaha atau elit agama memiliki kedudukan sama, tidak ada yang diagungkan keanggotaannya.

Anas terpilih juga tidak begitu saja, pasti melalui kalkulasi politik yang matang oleh para pemilihnya. Bukan keputusan yang sangat mudah pula bagi para untuk menjatuhkan pilihan ke Anas, ditengah adagium “yang tua yang boleh bicara”. Sebagian besar para politisi masih meyakini seseorang bisa menjadi pemimpin dengan memegang tanggung jawab yang besar seperti ketuam umum partai politik ketika umur mereka telah berusia diatas 50 tahun. Dan ini benar, selain Anas, hampir semua elit utama pemimpin politik nasional berusia diatas setengah abad. Ukuran kematangan seorang menjadi pemimpin juga kerap kali diukur ketika mereka sudah kaya raya dengan mengantongi banyak harta untuk menjalankan roda organisasi partainya. Ini yang di tolak oleh para pemilih rasional Anas. Banyak penganut adagium ini yang tidak sadar bahwa justru Anas yang bermodalkan kesantunan dan kecerdasan justru terasa lebih luas diterima publik.

Sekali lagi, terpilihnya Anas melalui panggung demokratis nan jauh dari faktor rekayasa politik nasional, sebuah faktor yang direncanakan untuk menghasilkan perubahan politik nasional. Jangankan lingkup nasinal, lokal Partai Demokrat pun tidak. Hanya saja, dampaknya jelas akan sangat besar pada sirkulasi elit politik nasional. Jika Anas bisa menjaga ritme politik yang “sehat” sampai 2014, dan partai lain tak bergegas melakukan apa yang di capai Partai Demokrat, maka Pemilu 2014 terlihat akan tetap berada ditangan Partai Demokrat.

No comments: