24 January 2009

ADU TANGKAS KEJAKSAAN VS KPK

Adhi Darmawan

Tahun 2008 penanganan perkara korupsi mengalami peningkatan, baik yang dilakukan oleh KPK maupun Kejaksaan. Hingga sekarang, headline media masih diwarnai dengan berita pemanggilan sejumlah saksi yang kerap statusnya meningkat menjadi tersangka dan penahanan sejumlah pejabat negara baik pusat maupun daerah.
Dari 12 negara di Asia, PERC (Political Economic and Risk Consultancy) menilai dalam tahun 2008, peradilan Indonesia berada dalam posisi terkorup. Riset PERC sepertinya mempertegas tesis tentang banyaknya Mafia Peradilan yang merusak tatanan hukum Indonesia. Institusi penegak hukum dinyatakan terkorup, padahal Indonesia memerlukan Institusi penegakan hukum ini, untuk melakukan langkah-langkah pemberantasan korupsi, sudah bisa ditebak bahwa pemberantasan korupsi pun melemah. Ironi memang jika penegak hukum justru menjadi institusi yang dinilai koruptif. Temuan PERC hampir senada dengan temuan Global Corruption Barometer (GCB) dari tahun 2004-2008.
Ditengah kekeringan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul sebagai sosok yang terlihat sangat serius memberantas praktek korupsi. Pada tahun 2004 silam, Gubernur Aceh yang bahkan tak mampu disentuh Kejaksaan, ditangkap untuk pertama kali. Pada tahun 2008, pasca komisioner KPK dikomandoi Antasari Azhar, KPK lebih mamantapkan akslerasi. Dalam satu tahun, KPK mampu menjerat tujuh anggota DPR-RI.
Dalam pengamatan Indonesian Corruption Watch (ICW), pada kurun waktu 2008 saja, KPK telah tercatat total menangani 80 kasus. Diantaranya 47 kasus dalam tahap penyidikan dan pelimpahan ke Pengadilan, serta 33 kasus telah divonis di tahun tersebut. Dari 80 kasus tersebut, motif korupsi yang menjadi modus utama masih seputer Pengadaan barang dan jasa, yakni 34 kasus (42,50%); Penyalahgunaan Anggaran 17 kasus; Penyuapan 15 kasus; dan Pungutan Liar 14 kasus. Kasus dominan terkait suap pada pejabat negara dengan kerugian negara diatas 80 miliar (11,25%).
Dalam hal memilih kasus-kasus strategis, dibandingkan dengan Kejaksaan, KPK terlihat lebih rapih, posisi sebagai institusi yang mempunyai kewenangan besar, KPK sepertinya menempatkan perkara besar yang secara langsung membahayakan publik atau perekonomian negara sebagai indikator. Ada sejumlah kasus utama yang telah ditangani KPK seperti Skandal Aliran dana YPPI, Suap Ketua Tim BLBI Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI Sjamsul Nursalim, suap yang melibatkan pimpinan Komisi Yudisial dan Komisioner KPPU, gratifikasi dalam Alih Fungsi Hutan, dan kasus yang melibatkan sejumlah anggota DPR aktif menjadi catatan gemilang KPK di tahun 2008.

Putusan 33 kasus di tahun 2008 yang diproses di Pengadilan Tipikor pun, tidak satupun divonis bebas. Rata-rata vonis dijatuhkan dengan 4,5 tahun, ada juga 15 tahun untuk Urip Tri Gunawan. Kondisi ini berbeda dengan Peradilan Umum yang tercatat sangat tinggi membebaskan terdakwa kasus korupsi. Dari tahun 2005 hingga Juni 2008 silam, setidaknya 482 terdakwa kasus korupsi divonis bebas. Rata-rata vonis di peradilan umum pun hanya 20 bulan, dan sekitar 6,4 bulan di tingkat Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan komitmen KPK dan Pengadilan Tipikor tidak selaras dengan Kepolisian-Kejaksaan dan Peradilan Umum.
Akan tetapi, KPK bukan tanpa catatan. Sekalipun KPK sudah masuk pada sector legislatif yang dianggap kuat hukum di tahun-tahun sebelumnya, enggannya KPK menjerat anggota DPR dari fraksi PDIP menjadi pertanyaan besar terkait dugaan politisasi penanganan kasus korupsi. Pengakuan dan Laporan Agus Chondro, misalnya.
Kasus yang terang benderang ini, justru ditanggapi Ketua KPK, Antasari Azhar sebagai perkara yang tidak cukup bukti untuk ditingkatkan ke Penyidikan. Padahal, publik menjadi saksi, Agus Chondro sudah mendatangi KPK berkali-kali, memberikan sejumlah bukti dan keterangan terkait dugaan gratifikasi dalam pemilihan Deputi Gubernur BI, Miranda Gultom. Beberapa anggota DPR lainnya yang menerima, juga telah mengembalikan uang gratifikasi tersebut pada KPK. Bahkan, lembaga intelijen keuangan yang berkwenangan penuh melihat arus uang dan transaksi perbankan bermasalah seperti PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sudah menyatakan, ada sejumlah temuan aliran uang dari BII pada sejumlah anggota DPR saat itu.
Berpacu dengan KPK
Lebih banyak dari apa yang dilakukan KPK, pada tahun 2007 Kejaksaan mengklaim telah menangani 636 kasus. Pada tahun 2008 meningkat menjadi lebih dari 850 kasus. Berbeda dengan KPK, tidak pernah dijelaskan, apakah kasus yang ditangani Kejaksaan merupakan kasus strategis, dan sebenarnya berapa rata-rata kerugian negara dari semua kasus tersebut.
Disamping beberapa hal diragukan, langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan kejaksaan sepertinya juga patut dipertanyakan. Sejumlah perkara strategis seperti BLBI, BPPC Tomy Soeharto, VLCC Pertamina, PLTU Borang, justru di SP3 atau dihentikan.
Dari aspek pengembalian Uang Negara, di klaim setidaknya Rp. 8 triliun dan USD 18 juta telah diselamatkan oleh Kejaksaan. Klaim tersebut sempat memunculkan pertanyaan ketika dalam Audit BPK Semester 1 tahun 2008, dilaporkan Kejaksaan belum menyetorkan Rp. 7,72 triliun pengembalian kerugian negara pada Kas Negara. Padahal, menurut Pasal 16 UU 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara semua penerimaan institusi atau departemen harus disetor ke Kas Negara. Lebih dari itu, Departemen Keuangan menyatakan tidak mengetahui adanya 14 rekening titipan di Kejaksaan Agung, dan 38 rekening diduga tidak didukung administrasi lengkap. Fenomena rekening "tak bertuan" atau sering disebut "rekening liar" tersebut sangat disayangkan masih terjadi di Institusi penegak hukum seperti Kejaksaan.
Sebetulnya, dengan perangkat yang ada, KPK dan Kejaksaan masih bisa maksimal lagi. Tidak maksimalnya kinerja penegakan hukum, diperparah dengan sikap resistensi sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Menurut Fadullah, pengamat hukum CIDES, dalam beberapa, para wakil rakyat ini justru berdiri pada posisi yang mengancam dan menghambat laju pemberantasan korupsi.
Kejagung Terlihat Sensasi, Tembak 8 Terpidana Mati
Meskipun mendapatkan protes dari kalangan lembaga swadaya masyarakat, Kejaksaan Agung tetap melaksanakan eksekusi tembak terhadap terpidana mati. Sejauh pengamatan saya, Kejagung sedikitnya telah memerintahkan eksekusi tembak terhadap 8 orang terpidana mati. Mereka itu adalah dua warga negara Nigeria yang terjerat kasus narkoba, pelaku pembunuhan berencana terhadap keluarga Letkol (Mar) Purwanto, yaitu Sumiarsih dan Sugeng.

Berikutnya, pembunuh berantai dalam rentang waktu 1997-2001 yaitu Alex Bullo atau yang biasa disapa Rio Martil. Kemudian yang terakhir adalah tiga pelaku bom Bali, yaitu Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra.

Selain kedelapan orang tersebut, Kejaksaan Agung menyebutkan masih ada 92 narapidana yang telah divonis mati. Dari jumlah ini 14 napi sudah mengajukan grasi, 38 napi sedang menempuh upaya hukum berupa peninjauan kembali (PK), dan 33 napi belum menentukan upaya hukum atas vonisnya. Sayangnya, sampai sekarang ini belum ada para terdakwa korupsi yang terkena tuntutan hukuman mati.

Saya melihat masih terdapat 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

09 January 2009

Kiprah TNI Dalam Reformasi


Oleh Adhi Darmawan
Saat era Orde Baru, penerapan Dwifungsi ABRI diartikan bahwa ABRI mengemban dua fungsi, yaitu sebagai kekuatan hankam yang tentunya harus setia kepada pemerintah, dan sebagai kekuatan sosial politik yang tentunya harus setia kepada negara. Kondisi tersebut berbeda dengan diera reformasi sekarang ini.
Suara dari kalangan yang apatis terhadap posisi TNI, mendadak mendapat peluang untuk menyuarakan kembali isu sentralnya. Ada dua perkembangan yang membuat kalangan yang kontra terhadap TNI tersebut agak lesu.
Pertama kalangan yang kontra terhadap TNI memakai reformasi untuk menghapus peran politik TNI, baik peran politik praktis maupun dalam peran politik negara. Kalangan reformis menghendaki bahwa TNI hanyalah sebagai pelaksana keputusan politik yang merupakan wilayah sipil dan harus berada di bawah Departemen Pertahanan, dan tunduk kepada Menteri Pertahanan, kepada keputusan sipil. Kedua, kemenangan SBY atas Megawati pada pemilu 2004 memperlihatkan kenyataan bahwa capres dari sipil kalah suara dibanding capres dari pensiunan TNI. Menurut pihak ini, bahwa politikus sipil belum siap memimpin negeri ini. Dalam periode mendatang, Indonesia masih memerlukan kepemimpinan dari TNI.
Dalam pemilu 2009 ini, genderang kampanye belum ditabuh, hanya saja nuansa persaingan menuju Presiden RI telah kencang. Beberapa tokoh yang menyatakan dirinya akan menjadi calon Presiden berasal dari latar belakang pensiunan militer.
Secara rasional, memang sangat masuk akal ketika berduyun-duyun para pensiunan militer masuk kedalam ruang politik praktis disegala sector pemerintahan. Para prajurit TNI, dari prajurit hingga jenderal yang telah pensiun dari tugas tempur, hanya menerima satu macam uang pensiun dan tidak bisa naik pangkat lagi. Bagi yang mendapat tugas di luar profesi militer, di luar fungsi hankam, dan dikaryakan, disamping berniat mengabdikan dirinya untuk bangsa, maka niscaya mendapat kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang bertugas tempur, profesi militer yang sesungguhnya.
Kalau melihat dengan jeli maka di lembaga-lembaga pendidikan TNI sudah jarang bisa ditemui instruktur yang benar-benar profesional. Jabatan Gubernur, Bupati, DPR, dan BUMN lebih menjanjikan masa depan yang lebih baik. Bahkan, tidak hanya menjanjikan kekayaan material, tetapi juga lebih menjanjikan kepangkatan.
Menurut Dr Salim Said, untuk menghapus peran politik TNI, maka TNI harus kembali ke barak dan tidak boleh bersentuhan dengan rakyat. Di lain pihak, kalangan yang pro TNI berpendapat bangsa dan negara ini tetap saja memerlukan TNI sebagai pilar yang mutlak diperlukan keberadaannya demi eksistensi bangsa dan negara. Dalam UU tentang TNI juga dikatakan bahwa tentara yang profesional, adalah tentara yang tidak berpolitik praktis, terdidik dan terlatih secara baik, diperlengkapi secara baik dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara. Profesionalisme prajurit mencakup yang terlihat (tangible) dan yang tidak terlihat (intangible) yang tumbuh berkembang sepanjang karier prajurit dan dari generasi ke generasi melahirkan tradisi-tradisi kemiliteran.
Dengan mengakomodir pendapat yang pro TNI tersebut, maka hingga kini kiprah institusi maupun tokoh TNI masih sangat melekat dihati rakyat. Sesama anak bangsa, mungkin tidak ada masalah bagi para perwira yang telah pensiun untuk berkiprah dalam wilayah politik sebagai kelanjutan pengabdian pada bangsanya, sekaligus untuk mengisi masa pensiunnya. Pertanyaannya kemudian, apakah sikap dan karekter para politisi yang berlatar belakang militer telah berubah menjadi karakter sipil ataukah tidak? Hal ini penting mengingat kultur militerisme berbanding terbalik dengan kultur demokrasi sipil. Yakni sebuah demokrasi yang menjamin dinamika kehidupan masyarakat sipil yang terbebas dari distorsi negara dan kapitalisme pasar, dimana dalam posisi ini posisi militer berada dalam ruang negara, tapi penyelenggara negara dipilih dari kontestasi dalam ruang sipil. ( )

Masa Depan Multikulturalisme Di Indonesia



Oleh Adhi Darmawan

Di Amsterdam, Belanda, beberapa waktu lalu telah berlangsung pertemuan Dialog Antar Agama Asia Eropa (ASEM). Pertemuan yang membahas hubungan antar agama ini diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Belanda yang bekerjasama dengan kementerian luar negeri Thailand.
Dalam dialog tersebut, dibicarakan bagaimana antar umat beragama dapat bekerjasama untuk membangun perdamaian dunia dan kedamaian di negerinya masing-masing, serta untuk dapat membantu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat masing-masing negara
Di Indonesia sendiri, kerjasama ada beberapa tahap, pertama tahap kerukunan umat beragama seperti yang telah biasa dilakukan dalam dialog-dialog antar agama dan antar umat beragama.
Dalam hal ini seringkali pemerintah, melalui Departemen Agama, memfasilitasi perjalanan pemuka-pemuka agama dari Jakarta ke daerah-daerah. Berdialog dengan pemuka agama di daerah mengenai berbagai masalah-masalah keagaman yang ada didaerah itu.
Bangsa Indonesia terdiri dari 220 juta penduduk yang tersebar di 17 ribu pulau, dengan tingkat pendidikan penduduknya yang masih relatif rendah. Tingkat ekonomi yang disparitasnya sangat tinggi dan sebagainya. Itu semua bisa menjadi faktor-faktor pembantu untuk melahirkan terganggunya hubungan-hubungan harmonisasi multicultural.
Sekalipun telah ditetapkan bahwa Negara Indonesia adalah bangsa yang multikultural yang terdiri dari berbagai suku, budaya, adat istiadat, agama, dan sebagainya, dimana antar satu sama lain harus saling menghargai, akan tetapi pelaksanaannya seringkali berbeda. Konflik horizontal antar kelompok berlatar belakang multikulturalisme masih kerap terjadi di Indonesia..
Konflik horizontal yang terjadi biasanya dipicu oleh perebutan sumber-sumber kekuasaan politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi lokal. Pemicu lain muncul juga dari sisi agama, etnisitas, dan domisili antara penduduk asli dan penduduk pendatang.
Ada beberapa gerakan kelompok masa di Indonesia bertentangan dengan semangat multikulturalisme akan tetapi pemerintah belum berani dengan tegas mengambil langkah-langkah menertibkannya, dan terkesan membiarkannya hingga acapkali kelompok-kelompok itu menjadi peletup terjadinya konflik horizontal.
Dalam konflik horizontal ini, untuk beberapa kasus pemerintah terkesan masih lambat bertindak, mencari akar masalah, dan belum berusaha menyelesaikannya untuk jangka panjang. Jelas-jelas ada beberapa kelompok yang bertentangan dengan semangat multikulturalisme tapi pemerintah masih tetap saja membiarkan eksistensinya. Wajar jika kemudian muncul pertanyaan sekaligus ke khawatiran bagaimanakah nasib multikulturalisme di Indonesia.()

07 January 2009

Duh Pak Polisi....Teganya Dikau Kepada Kami…….


Oleh Adhi Darmawan
Bom jenis napalm model vietnam dipakai Kepolisian Daerah Riau untuk membubarkan Serikat Tani Riau yang tengah berusaha mempertahankan tanahnya. Sebuah tindakan yang dianggap menindas Kaum Tani Indonesia dan memunculkan respon dunia Internasional.
Dar…der…dor…Dubrakk…Dummmm… Suara hiruk pikuk senapan dan jeritan tangis wanita, serta tangisan anak kecil di Dusun Suluk Bongkal, Riau di siang itu masih membekas diingatan Yapni. Sebelum kejadian itu, Yapni tidak mendapatkan firasat apa-apa ketika pada tanggal 18 Desember, pihak kepolisian Indonesia, yang mewakili kepentingan PT. Arara Abadi (sebuah perusahaan kertas and pulp), menyerbu warga Dusun Suluk Bongkal di Sumatra yang tengah berjuang untuk dapat mempertahankan lahannya dari serobotan PT. Arara Abadi.
Dengan dilengkapi pentungan, water canon, senjata api, serta dukungan para lelaki berbadan besar tanpa seragam, yang menurut sumber Medium itu adalah orang-orang bayaran, sekitar 500 pasukan polisi memaksa menerobos barisan yang dibentuk oleh ibu-ibu dan anak-anak yang berdiri rapat bergandengan tangan di mulut jalan masuk menuju desa.
Para polisi saat itu memaksa membubarkan warga dengan memukul, menendang, serta menembaki para warga dengan peluru karet dan gas air mata. Tak cukup sampai disitu, setelah barisan masa berhasil dipatahkan, para polisi kemudian membakar rumah-rumah warga dengan bom napalm yang dijatuhkan dari 2 helikopter. Sekitar 700-an rumah petani habis terbakar, tanah pertanian dan alat produksi petani juga tak terselamatkan Hasilnya, tindakan ofensif polisi tidak hanya berhasil membuat warga Dusun Suluk Bogkal ketakutan dan lari kalang kabut, tapi juga mengakibatkan banyak warga yang terluka. Seorang anak diantaranya meninggal dunia setelah masuk kedalam sumur akibat lari ketakutan. Seorang anak tersebut diketahui bernama Fitri yang baru berumur 2 tahun yang terpaksa masuk kedalam sumur setelah histeris hebat karena ketakutan atas adanya kejadian tersebut.
Dari adanya kejadian itu, sekitar 200 warga, termasuk para aktivis-aktivis Serikat Tani Riau ditahan. Lebih dari 400 warga juga hingga kini masih berada ditengah hutan untuk bersembunyi. Pihak kepolisian juga menambah pasukannya, dari ratusan menjadi ribuan polisi dan beberapa orang preman untuk mengejar para warga dan aktivis-aktivis Serikat Tani Riau yang lari.
Kejadian tersebut hanya berselang sedikit waktu setelah dunia memperingati hari Hak Asasi Manusia dunia, tak ayal lagi, kejadian tersebut mendapatkan perhatian dari solidaritas masyarakat di leval nasional serta perhatian kalangan internasional, beberapa di antaranya adalah dari Amnesty Internasional, serta organisasi marxis internasional, yang getol menyuarakan keadilan pada kaum buruh dan petani, setelah rezim komunis dunia hancur dan digantikan oleh kekuatan mutlak rezim liberal dunia.
Sebagaimana telah diberitakan oleh media, kejadian yang menjatuhkan korban jiwa di Riau tersebut bermula dari adanya kepentingan PT. Arara Abadi yang ingin mengklaim tanah seluas 5 ribu hektar milik warga. PT Arara Abadi adalah subsidiari divisi perhutanan di Sumatra dari Sinar Mas Group, salah satu konglomeraai terbesar di Indonesia yang dimiliki oleh pengusaha nasional Eka Tjipta Widjaja. Perusahaan tersebut adalah bagian dari Asia Pulp & Paper (APP) yang merupakan korporasi multinasional dan salah satu perusahaan pulp dan kertas terbesar di dunia yang memiliki klien di lebih dari 60 negara yang tersebar ada di semua benua.
Adanya perhatian sejumlah pihak dari kalangan nasional dan internasional menyebabkan beberapa pihak dari kalangan aparat kepolisian yang bertanggung jawab melakukan aksi bela diri, termasuk melakukan manipulasi fakta dan memaksakan pengakuan terhadap korban di bawah intimidasi. Polda Riau ditengarai telah menyogok enam organisasi untuk menggelar konferensi pers dukungan terhadap tindakan polda Riau dengan menandatangani nota klam dukungan.
Keenam organisasi dimaksud adalah Lembaga Adat Masyarakat Sakai yang ditandatangani Ketua Umum M.Yatim, Lembaga Swadaya Masyarakat Marwah Sakai Riau yang ditandatangani ketua Umum Iwandi, Aliansi Mahasiswa Pemerhati Masyarakat Riau (AMPM-Riau) yang ditandatangani Eksekutif Direktur Indra, Lembaga Independent Pembawa Pembaharuan Riau (LIPP-Riau) yang ditandatangani Presedent Direktur Mariadi, Koalisi Rakyat Bersuara (Korsa) Riau yang ditandatangani ketua umum Pirtiadi, dan Barisan Anak Negeri yang ditandatangani ketua umum Kunarto.
Dinas Kehutanan Riau. F. Labay, juga sempat mengeluarkan pernyataan yang menurut masyarakat Dusun Suluk Bonggai tidak bertanggung jawab, tanpa fakta, dan dipastikan jelas punya keberpihakan kepada PT. Arara Abadi. Dalam pernyataannya, Labay mengatakan bahwa lahan yang menjadi arena konflik warga dengan PT. Arara Abadi adalah hutan murni. Menurut Risa Sulhemy, pernyataan kadishut Riau tersebut bertentangan dengan apa dijelaskan oleh BPKH Wilayah XII bahwa dalam kawasan hutan yang menjadi konsesi PT. Arara Abadi terdapat perkampungan yang harus dikeluarkan dari HPHTI sesuai dengan SK. Menhut No. 743/kpts-II/ 1996. Selain itu, jika benar hutan murni, kenapa dokumen-dokumen sejarah, termasuk dokumen Belanda maupun Kerajaan Siak sudah menyebut perkampungan Suluk Bongkal. Jika data tersebut benar-benar asli, maka saya melihat bahwa PT. Arara abadi melalui persekongkolan dengan pihak Dinas Kehutanan Riau mencoba mengaburkan fakta historis ini, dengan mengubah nama kampung menjadi penyebutan k.ilometer sekian.
Bagai masyarakat Riau, serangan yang diarahkan kepada Serikat Tani Riau (STR) merupakan maneuver Polda Riau dan sejumlah broker politik di Riau untuk mengalihkan isu kekerasan dan pelanggaran HAM. Padahal, dimata petani, Serikat Tani Riau (STR) merupakan organisasi yang benar-benar konsisten, tanpa pamrih, dalam memperjuangkan hak-hak kaum tani di Riau.
"Serikat Tani Riau itu adalah pahlawan bagi kami, sedangkan 6 organisasi itulah penjahat", Tukas Rasyidin, seorang warga Suluk.

05 January 2009

Duh Polisi…..Teganya Dikau Kepada Bangsa Sendiri!


Oleh Adhi Darmawan

Dar…der…dor…Dubrakk…Dummmm… Suara hiruk pikuk senapan dan jeritan tangis wanita, serta tangisan anak kecil di Dusun Suluk Bongkal, Riau di siang itu masih membekas diingatan Yapni. Sebelum kejadian itu, Yapni tidak mendapatkan firasat apa-apa ketika pada tanggal 18 Desember, pihak kepolisian Indonesia, yang mewakili kepentingan PT. Arara Abadi (sebuah perusahaan kertas and pulp), menyerbu warga Dusun Suluk Bongkal di Sumatra yang tengah berjuang untuk dapat mempertahankan lahannya dari serobotan PT. Arara Abadi.
Dengan dilengkapi pentungan, water canon, senjata api, serta dukungan para lelaki berbadan besar tanpa seragam, yang menurut sumber Medium itu adalah orang-orang bayaran, sekitar 500 pasukan polisi memaksa menerobos barisan yang dibentuk oleh ibu-ibu dan anak-anak yang berdiri rapat bergandengan tangan di mulut jalan masuk menuju desa.
Para polisi saat itu memaksa membubarkan warga dengan memukul, menendang, serta menembaki para warga dengan peluru karet dan gas air mata. Tak cukup sampai disitu, setelah barisan masa berhasil dipatahkan, para polisi kemudian membakar rumah-rumah warga dengan bom napalm yang dijatuhkan dari 2 helikopter. Sekitar 700-an rumah petani habis terbakar, tanah pertanian dan alat produksi petani juga tak terselamatkan Hasilnya, tindakan ofensif polisi tidak hanya berhasil membuat warga Dusun Suluk Bogkal ketakutan dan lari kalang kabut, tapi juga mengakibatkan banyak warga yang terluka. Seorang anak diantaranya meninggal dunia setelah masuk kedalam sumur akibat lari ketakutan. Seorang anak tersebut diketahui bernama Fitri yang baru berumur 2 tahun yang terpaksa masuk kedalam sumur setelah histeris hebat karena ketakutan atas adanya kejadian tersebut.
Dari adanya kejadian itu, sekitar 200 warga, termasuk para aktivis-aktivis Serikat Tani Riau ditahan. Lebih dari 400 warga juga hingga kini masih berada ditengah hutan untuk bersembunyi. Pihak kepolisian juga menambah pasukannya, dari ratusan menjadi ribuan polisi dan beberapa orang preman untuk mengejar para warga dan aktivis-aktivis Serikat Tani Riau yang lari.
Kejadian tersebut hanya berselang sedikit waktu setelah dunia memperingati hari HAk Asasi Manusia dunia, tak ayal lagi, kejadian tersebut mendapatkan perhatian dari solidaritas masyarakat di leval nasional serta perhatian kalangan internasional, beberapa di antaranya adalah dari Amnesty Internasional, serta organisasi marxis internasional, yang getol menyuarakan keadilan pada kaum buruh dan petani, setelah rezim komunis dunia hancur dan digantikan oleh kekuatan mutlak rezim liberal dunia.
Sebagaimana telah diberitakan oleh media, kejadian yang menjatuhkan korban jiwa di Riau tersebut bermula dari adanya kepentingan PT. Arara Abadi yang ingin mengklaim tanah seluas 5 ribu hektar milik warga. PT Arara Abadi adalah subsidiari divisi perhutanan di Sumatra dari Sinar Mas Group, salah satu konglomeraai terbesar di Indonesia yang dimiliki oleh pengusaha nasional Eka Tjipta Widjaja. Perusahaan tersebut adalah bagian dari Asia Pulp & Paper (APP) yang merupakan korporasi multinasional dan salah satu perusahaan pulp dan kertas terbesar di dunia yang memiliki klien di lebih dari 60 negara yang tersebar ada di semua benua.
Adanya perhatian sejumlah pihak dari kalangan nasional dan internasional menyebabkan beberapa pihak dari kalangan aparat kepolisian yang bertanggung jawab melakukan aksi bela diri, termasuk melakukan manipulasi fakta dan memaksakan pengakuan terhadap korban di bawah intimidasi. Polda Riau ditengarai telah menyogok enam organisasi untuk menggelar konferensi pers dukungan terhadap tindakan polda Riau dengan menandatangani nota klam dukungan.
Keenam organisasi dimaksud adalah Lembaga Adat Masyarakat Sakai yang ditandatangani Ketua Umum M.Yatim, Lembaga Swadaya Masyarakat Marwah Sakai Riau yang ditandatangani ketua Umum Iwandi, Aliansi Mahasiswa Pemerhati Masyarakat Riau (AMPM-Riau) yang ditandatangani Eksekutif Direktur Indra, Lembaga Independent Pembawa Pembaharuan Riau (LIPP-Riau) yang ditandatangani Presedent Direktur Mariadi, Koalisi Rakyat Bersuara (Korsa) Riau yang ditandatangani ketua umum Pirtiadi, dan Barisan Anak Negeri yang ditandatangani ketua umum Kunarto.
Dinas Kehutanan Riau. F. Labay, juga sempat mengeluarkan pernyataan yang menurut masyarakat Dusun Suluk Bonggai tidak bertanggung jawab, tanpa fakta, dan dipastikan jelas punya keberpihakan kepada PT. Arara Abadi. Dalam pernyataannya, Labay mengatakan bahwa lahan yang menjadi arena konflik warga dengan PT. Arara Abadi adalah hutan murni. Menurut Risa Sulhemy, pernyataan kadishut Riau tersebut bertentangan dengan apa dijelaskan oleh BPKH Wilayah XII bahwa dalam kawasan hutan yang menjadi konsesi PT. Arara Abadi terdapat perkampungan yang harus dikeluarkan dari HPHTI sesuai dengan SK. Menhut No. 743/kpts-II/ 1996. Selain itu, jika benar hutan murni, kenapa dokumen-dokumen sejarah, termasuk dokumen Belanda maupun Kerajaan Siak sudah menyebut perkampungan Suluk Bongkal. Jika data tersebut benar-benar asli, maka saya melihat bahwa PT. Arara abadi melalui persekongkolan dengan pihak Dinas Kehutanan Riau mencoba mengaburkan fakta historis ini, dengan mengubah nama kampung menjadi penyebutan k.ilometer sekian.
Bagai masyarakat Riau, serangan yang diarahkan kepada Serikat Tani Riau (STR) merupakan maneuver Polda Riau dan sejumlah broker politik di Riau untuk mengalihkan isu kekerasan dan pelanggaran HAM. Padahal, dimata petani, Serikat Tani Riau (STR) merupakan organisasi yang benar-benar konsisten, tanpa pamrih, dalam memperjuangkan hak-hak kaum tani di Riau. Bagi warga Suluk Bongkal, Serikat Tani Riau itu adalah pahlawan bagi, sedangkan 6 organisasi itulah penjahatnya.

Duel Sengit Para Jenderal di Kanvas 2009


Adhi Darmawan

Tanpa terasa tahun 2008 telah berlalu, waktu terus merayap semakin mendekati pesta demokrasi rakyat 2009. Semakin mendekati April 2009, riuh ramai gerak politik para calon anggota legeslatif dan calon Presiden RI semakin tampak, kibaran spanduk yang berisi ajakan untuk mendukung orang-orang yang memperebutkan kursi kekuasaan juga semakin marak.

Para aktor yang berebut posisi untuk memperoleh kursi kekuasaan terdiri dari berbagai latar belakang profesi, dari mulai para pedagang, petani, hingga para pensiunan militer yang masih merindukan nyamannya duduk dikursi kekuasaan. Sekalipun fungsi resminya sebagai sebuah institusi pertahanan dan keamanan, tapi militer telah turut terlibat aktif dalam perpolitikan di Indonesia sejak 1952.

Saat Indonesia berada dalam demokrasi liberal (1952- 1959), militer tak puas tersingkirkan dari panggung politik dan membentuk partai politik sendiri, yakni IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang memperoleh suara sangat sedikit dalam pemilu1955. Aspirasi politik militer kembali muncul setelah beberapa organisasi militer pada tahun 1964 bertemu untuk kemudian mendirikan Golkar (Golongan Karya).

Selama lebih dari 30 tahun, Golkar tetap menjadi satu-satunya kendaraan politik militer. Dalam era orde baru, hubungan yang erat antara militer dan Golkar terjalin hingga Jendral (Purn) Suharto sebagai penguasa orde baru terdesak mundur. Pada tahun 1990-an, Suharto kian terisolasi dan memutuskan untuk “menyipilkan” pucuk pimpinan Golkar. Pada tahun 1993, ia menunjuk Harmoko, seorang sipil, sebagai ketua umum. Lima tahun kemudian, Akbar Tandjung mengambil alih. Berikutnya, Jusuf Kalla menjadi ketua umumnya.

Lebih dari tiga dekade, Suharto memimpin kediktatoran militer dengan dwifungsi sebagai doktrin utamanya. Dwifungsi memberi militer hak untuk bermain dalam politik, yang kemudian dieksploitasi dalam skala besar. Meskipun anggota angkatan bersenjata tak diperbolehkan memilih, mereka diberi jatah 100 kursi dalam DPR dan DPRD.

Sejak runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, elit militer telah banyak kehilangan kekuatan politiknya dan pernah berusaha disingkirkan dari arena politik dengan dihapuskannya dwi fungsi ABRI kala itu.

Perkembangan dalam internal Golkar yang telah berubah manjadi partai Golkar juga tidak menguntungkan militer yang masih tergabung didalamnya. Dalam pemilu 2009 nanti, beberapa jenderal utama telah mendirikan organisasi politik di luar partai Golkar.

Tidak mendapatkan pintu yang nyaman lagi lewat dwi fungsi ABRI, dalam pemilu 2009 militer mencoba mingikuti perkembangan sistem politik yang ada di era reformasi. Dengan bersaing mendapatkan kursi kekuasaan lewat pintu pemilihan umum, dalam pemilu 2009 banyak pensiunan perwira, terutama para mantan jenderal angkatan darat yang ingin kembali ke panggung politik baik sebagai calon anggota legislativeserta calon presiden.

Bagi sebagian pengamat, memasang para pensiunan jenderal dalam pemilu 2009 merupakan hal positif karena kalangan sipil kurang memiliki wewenang dan lemah dalam pengambilan keputusan. Tetapi ada jauh lebih banyak hal dari itu. Banyak perwira yang dengan tegas meyakini bahwa militer adalah satu-satunya kekuatan yang paling mampu melindungi integritas negara karena politisi sipil selalu membuat hal menjadi kacau. Militer tetap dianggap sebagai institusi terkuat dan paling tepat di Indonesia sebagai penyelenggara Negara.

Bagi pengamat militer seperti Umar Said yang kini tinggal di Perancis, dibawah kekuasaan Soeharto yang telah berlangsung lama, suatu kasta penyelenggara pemerintahan militer telah tercipta. Di Indonesia sekarang ini, banyak penyelenggara pemerintahan baru yang merupakan warga sipil, yang terpilih melalui proses demokrasi, tetapi mereka sering kali dipandang tidak dapat memutuskan dan lebih lemah dibandingkan dengan penguasa yang berlatar belakang militer

Tercatat ada lebih dari 6 pensiunan jenderal yang yang akan memperebutkan kursi presiden Republik Indonesia seperti Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, Susilo Bambang Yudhoyono, M. Jasin, Saurip Kadi, serta sejumlah pembesar militer dan kepolisian lainnya. Sejumlah nama dari pensiunan perwira lain juga muncul menjadi calon anggota legeslatif dari 38 partai politik, baik untuk kursi legeslatif ditingkat pusat maupun daerah, disamping yang menjadi kepala daerah seperti gubernur atau bupati.

Dalam pandangan pengamat militer Umar Said, ketiga pensiunan perwira seperti Wiranto, Prabowo, dan Sutiyoso dikenal telah memiliki catatan pelanggaran HAM berat, dan keunggulan politik mereka mencerminkan kegagalan akuntabilitas kriminal di masa pasca Suharto dalam menyeret mereka ke meja hijau untuk mempertanggung- jawabkan perbuatan mereka. Ketiganya senantiasa tampil di muka umum dan telah mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin partai politik baru yang ingin menantang presiden yang berkuasa sekarang ini, pensiunan jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).











Pelanggaran HAM Berat Tiga Jendral
Wiranto, Prabowo dan Sutiyoso adalah sama-sama pensiunan Jendral yang dituduh telah melakukan pelanggaran berat. Bagi Umar Said, Wiranto yang merupakan pensiunan Jenderal bintang empat merupakan senior SBY di angkatan darat. Selama hari-hari penuh huru hara tahun 1998-1999 sebelum dan setelah jatuhnya Suharto, ketika terjadi penganiayaan di banyak kota dan pengambilan suara bagi kemerdekaan Timor Timur yang mengakibatkan kehancuran militer yang disengaja di muka negara, Wiranto menduduki tingkat tertinggi dalam angkatan bersenjata Indonesia.

Wiranto memulai karir militernya sebagai perwira infantri dan perlahan-lahan pangkatnya naik dengan menduduki beberapa posisi territorial. Tahun 1989 ia menjadi ajudan Presiden Suharto dan menjabat posisi itu hingga 1993. Sejak itu karirnya kian cerah dan ia dikenal sebagai pendukung Suharto yang setia. Ia kemudian berturut-turut menjadi Pangdam Jaya (1994), Pangkostrad (1996), Panglima TNI (1997), Panglima Angkatan Bersenjata (1998) sekaligus menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan ketika Suharto jatuh. Ia terus menjabat sebagai menteri pada masa Habibie dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) menjadi presiden sampai ia dipecat tahun 2000. Sejak itu tampak jelas bahwa Wiranto mempunyai ambisi untuk menjadi presiden.

Dalam menghadapi pemilu 2009 nanti, Wiranto telah mendirikan partai yang disebut partai Hanura (Hati Nurani Rakyat) yang berkantor di seberang kediaman resmi Wakil Presiden di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Cabang-cabang Hanura telah berdiri di seluruh Indonesia, yang memang dimungkinkan karena sumber keuangan yang melimpah. Hanura tampil cukup meyakinkan dalam jajak pendapat dan diharapkan memenangkan hingga 7% suara. Partai ini telah menarik dukungan dari kalangan angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara serta polisi, pengusaha, mantan anggota Golkar dan bahkan beberapa aktivis prodemokrasi.

Wiranto telah berhasil membangun partainya dengan efektif dan cukup mengherankan melihat adanya sejumlah warga sipil, termasuk beberapa aktivis pro-demokrasi, yang memutuskan untuk bergabung dalam barisan. Beberapa analis secara bercanda membandingkan Hanura dengan penjual tupper ware. Setiap orang dapat mendirikan cabang selama barang yang cocok terjual.

Orang yang tak mempunyai banyak uang yakin dapat memperoleh uang kontan jika mereka mendirikan cabang sementara sebagian pengusaha menanamkan uangnya dalam suatu cabang atau mempromosikan kegiatan Hanura yang lain. Setiap cabang Hanura diminta untuk mendirikan koperasi sebagai tanda tanggung jawab sosialnya sehingga menarik minat lebih banyak pendukung.

Patut dipertanyakan apakah jajaran Hanura betul-betul loyal terhadap Jenderal Wiranto. Salah satu tokoh kunci di Hanura adalah Indro S. Tjahyono yang merupakan aktivis mahasiswa yang terkemuka tahun 1978 dengan catatan anti-militer yang mengesankan. Indro merupakan salah seorang pimpinan utama oposisi pada akhir tahun 1980-an dan terlibat dalam banyak kegiatan pro-demokrasi yang penting. Dia sekarang wakil ketua Hanura meskipun diragukan apakah ia akan mendukung Wiranto dalam merebut kursi presiden. Orang-orang lain seperti Indro jelas menggunakan Hanura sebagai kendaraan untuk menjadi anggota legislatif.

Sebagai Ketua Umum partai Hanura, Wiranto memasang sejumlah pensiunan perwira disekelilingnya seperti Letjen. (Purn) Arie Mardjono dan Laksamana Muda (purn) Abu Hartono yang keduanya merupakan wakil ketua dalam dewan pertimbangan. Tujuh wakil ketua Hanura adalah Majen. (purn) Aqlani Maza dan Laksamana (purn) Bernard Kent Sondakh, Marsekal Muda (purn) Budhy Santoso, Jenderal Polisi (purn) Chaeruddin Ismael, Letjen. (purn) Fachrul Razi, Letjen. (purn) Suaidi Marassabessy dan Jenderal (purn) Soebagyo. Wakil bendaharanya adalah Mayjen. (purn) Iskandar Ali.

Hampir sama dengan Wiranto, Umar Said juga melihat Letjen (Purn) Prabowo mempunyai riwayat HAM yang sama kelamnya. Ia adalah salah satu tokoh kunci dalam kegiatan penumpasan pemberontakan di Timor Timur dan bertanggungjawab atas pelatihan dan pembiayaan kelompok milisi yang merajalela di sana tahun 1999. Sebagai komandan unit baret merah yang terkenal, Prabowo juga bertanggungjawab terhadap penculikan dan hilangnya sejumlah aktivis pro-demokrasi beberapa hari sebelum jatuhnya Suharto (yang ketika itu adalah mertuanya).

Letjen.(purn) Prabowo memiliki latar belakang yang hebat. Ayahnya adalah ahli ekonomi terkemuka yang menjadi menteri baik di jaman Sukarno maupun Suharto. Prabowo menikah dengan putri kedua Suharto dan menjadi bagian dari “keluarga pertama” negara ini. Meskipun ia memiliki latar belakang seperti itu dan telah mengecap pendidikan di sekolah umum di Inggris , ia memasuki akademi militer.

Karir militernya sangat sukses sampai ia dipecat dari angkatan bersenjata tahun 1998. Selama karirnya dalam militer, ia menduduki sejumlah posisi yang bergengsi seperti Panglima Kopassus dan Panglima Kostrad. Prabowo mendapatkan pelatihan militer dan mengambil kursus pemberantasan pemberontakan di Jerman tahun 1981 dan Kursus Perwira Angkatan Khusus di Fort Benning, AS juga pada tahun 1981. Ia kemudian menjadi letnan jenderal Indonesia termuda pada usia 46 dan sebagian orang mengatakan bahwa ia dapat muncul sebagai pengganti ayah mertuanya, Suharto.

Selain sebagai politisi, sekarang Probowo juga menjadi pengusaha sukses dan CEO beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, bubur kertas dan kertas, pertanian dan perkebunan kelapa sawit. Tahun 1998, dengan kian dekatnya kejatuhan Suharto, Wiranto dan Prabowo muncul sebagai saingan. Saat rejim akan tenggelam, Wiranto, yang memegang jabatan militer utama, mendukung gagasan Suharto untuk turun sementara Prabowo membela keberadaan Suharto sebagai presiden hingga berakhir pahit.

Ada banyak versi peristiwa Mei 1998 seperti yang tertuang dalam sejumlah buku mengenai peristiwa itu. Setelah Suharto akhirnya turun, Prabowo meninggalkan Indonesia menuju Jordan di mana ia menetap selama beberapa tahun. Sejak itu Prabowo telah merubah citranya dan kini tampak sebagai pengusaha terhormat. Beberapa tahun yang lalu ia membuat upaya lain untuk mendongkrak citranya dengan merengkuh jabatan sebagai pemimpin organisasi petani, HKTI. Organisasi ini didirikan pada jaman Suharto sebagai wadah utama bagi berjuta-juta petani Indonesia meskipun sangat diragukan apakah sekarang ini mampu memobilisasi konsituantenya.

Jika Wiranto adalah pendiri partai politik, Prabowo hanyalah anggota biasa sebuah partai baru yang bernama Gerindra. Hanya saja sekalipun Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) tidaklah didirikan oleh Prabowo, tetapi jelas bahwa Gerindra akan menjadi kendaraan politiknya. Sekalipun cuma anggota biasa, Prabowo adalah icon partai Gerindra, yang diusung menjadi calon presiden dengan mengharapkan dukungan dari banyak cabang HKTI di seluruh Indonesia. Gerindra mencoba menarik anggota baru dengan menawarkan asuransi jiwa gratis.

Ada dua perwira yang terkenal dengan reputasi buruknya adalah anggota pengurus Gerindra yakni Mayjen. (purn) Muchdi Purwopranyoto yang merupakan wakil ketua, dan pensiunan perwira intel Mayjen. (purn) Gleny Kairupan, juga wakil ketua, yang memainkan peran jahat di Timor Timur. Muchdi sekarang sedang diadili karena pembunuhan berencana terhadap Munir, aktivis HAM terkemuka di Indonesia. Sekalipun masih disebut terlibat pelanggaran HAM berat, pintarnya Prabowo mampu menarik beberapa mantan aktivis korban penculikan kedalam kubu mereka seperti Pius Lustrilanang dan Desmond Mahesa, keduanya diculik pada tahun 1998 oleh kesatuan yang diketuai Prabowo.

Seperti halnya Wiranto, Letjen. (purn) Sutiyoso juga merupakan komandan baret merah yang bertugas dalam beberapa daerah konflik seperti Timor Timur, Aceh dan Papua Barat. Ia berturut-turut menjabat sebagai gubernur Jakarta selama dua periode dan posisi inilah yang menggugah keinginannya untuk menjadi presiden.

Pensiunan jenderal Sutyoso juga mengira bahwa ia mampu menjalankan negara ini dan menganggap latar belakang militernya sebagai suatu keuntungan. Seperti dua jenderal lainnya, ia adalah orang Jawa meskipun tak pernah sampai ke puncak jenjang militer. Posisi tertingginya adalah Pangdam Jaya, yang menjadi batu loncatan baginya untuk menjadi gubernur Jakarta dari tahun 1997 hingga 2007. Menjadi gubernur di ibu kota paling tidak sama berkuasanya dengan posisi senior dalam kabinet seperti yang kita lihat dengan walikota London , Paris , New York dan Beijing.

Sutiyoso pernah bertugas di banyak daerah konflik. Sebagai bintara muda pada tahun 1960-an, ia dikirim ke Kalimantan untuk membasmi pemberontakan PGRS/Paraku. Kemudian ia bertugas di Aceh, Timor Timur dan Papua. Namanya disebut-sebut terkait dengan pembunuhan lima jurnalis asing di Balibo, Timor Timur, tahun 1975. Tahun 1993 ia menjadi perwira territorial dan bertugas di Bogor dan kemudian menjadi Panglima Kodam Jaya tahun 1994. Posisinya sebagai gubernur Jakarta memberinya kesempatan untuk membangun jaringan luas dengan kalangan pengusaha. Ia juga duduk dalam berbagai jabatan bergengsi dalam bidang olah raga: sebagai ketua asosiasi menembak, ketua asosiasi bola basket, ketua asosiasi golf dan yang paling baru, ketua asosiasi badminton.

Sutiyoso mendorong pembentukan beberapa partai kecil seperti Partai Republikan, Partai Bela Negara (PBN), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), dan Partai Pemersatu Bangsa (PPB). Ia juga berhasil mendapatkan pengaruh dan dukungan dari beberapa partai sedang seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Dengan dukungan koalisi ini ia berharap untuk dapat makin dikenal.

Semua pensiunan jenderal itu memiliki keuntungan dan agenda yang sama. Mereka adalah bagian dari elit politik di Jakarta, mereka mempunyai uang tak terbatas dan tampaknya mereka nantinya dapat memperoleh lebih banyak lagi. Semuanya adalah penasehat SBY dan sebagian dari motivasi mereka adalah bahwa mereka melihat SBY sebagai perwira yang gagal.

Baik Wiranto maupun Sutyoso adalah senior SBY yang sekarang merasa terpacu oleh prestasi SBY yang menjadi presiden RI. Beberapa pengamat melihat kecil sekali kemungkinannya bagi pemilih kelas menengah perkotaan untuk dapat memberikan suara kepada mereka dan juga tampaknya tak mungkin mesin politik mereka dapat menjangkau pemilih di pedesaan.



Banyak Wajah Purnawirawan Dalam Rapat Partai
Hampir di semua partai politik yang akan bertarung pada pemilu 2009, terdapat nama-nama para pensiunan militer. Dalam beberapa rapat atau pertemuan partai politik juga terdapat beberapa wajah para jenderal. Boleh dibilang ada pensiunan perwira di semua partai, hanya saja ada yang bergabung untuk memainkan peran utama, tetapi ada juga yang ikut serta karena alasan ideologis atau keagamaan. Di sebagian partai Islam atau Kristen, pensiunan perwira hanya mendapatkan peran marjinal. Ini juga terjadi dalam partai sekuler seperti PDI-P dan Golkar.

Ada perubahan mencolok dalam Golkar, yang pada masa Suharto merupakan kendaraan politik utama, tetapi menjelang tahun 1990an secara bertahap ditinggalkan karena personnel militer mulai sadar bahwa partai itu tak dapat memenuhi aspirasi politiknya. Bahkan sebelum masa pasca-Suharto, pensiunan jenderal sudah mencoba untuk mendapat tempat di arena politik di luar Golkar melalui partai yang bernama PKP ( Partai Keadilan dan Persatuan) dengan ketuanya Jenderal (purn) Edy Sudradjat. Setelah partai itu bubar, banyak yang meninggalkannya dan pindah ke tempat lain.

Di antara 38 partai yang akan ambil bagian dalam pemilu 2009 merupakan partai sipil yang mempunyai perwira dalam badan kepemimpinan mereka dan partai lain yang dipimpin oleh perwira militer dan mempunyai pandangan militer. Di antara yang disebut belakangan adalah PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa) dengan Jen. (purn) Hartono sebagai ketua umum. Mayjen. (purn) Hartarto adalah sekjen sedangkan wakil ketuanya termasuk tiga pensiunan perwira: Mayjen. (purn) H.Namoeri Anoem, Brigjen. (purn) Suhana Bujana and Marsekal Muda (purn) Suharto.

Sebagian dari partai yang baru dibentuk juga menyediakan tempat bagi pensiunan militer. PRN (Partai Republik Nusantara), yang menggunakan Nusantara untuk namanya ketimbang Indonesia , akan berfokus khususnya pada daerah. Letjen. (purn) Syahrir MS sebagai anggota presidium PRN, sementara baik Jen. (purn) Syarnubi maupun Brigjen (purn) Husein Thaib sama-sama menjabat sebagai ketua.

Partai baru lainnya adalah PDK (Partai Demokrasi Kebangsaan) yang merupakan kendaraan perwira dengan jabatan lebih rendah. Partai ini juga memiliki agenda nasionalis yang kuat. Kombes Pol (purn) Iyer Sudaryana terpilih sebagai ketuanya, sementara itu tiga pensiunan kolonel turut pula duduk dalam kepemimpinannya, yakni Kol.(purn) Bahar Mallarangan yang merupakan wakil ketua Lembaga Ombudsman Nasional, Kol. (purn) Tasno HP, yang kini wakil kepala Dinas Pembinaan Pertanian, Peternakan dan Perikanan, serta Letkol. (purn) Haryanto adalah wakil ketua Dinas Pembinaan Kehutanan dan Pertanian. Keduanya ada dalam kepengurusan PDK.

Mereka mewakili kelompok personel militer yang menempati posisi kekaryaan (sipil) dalam masa Suharto. Sebagian besar personel militer dapat memperoleh posisi selama masa Orde Baru dan sejak pensiun (pada usia 55) menjadi pejabat tinggi, setelah sebelumnya berubah karir dari militer ke sipil. Dalam dua partai utama Golkar dan PDI-P, pensiunan militer masih memainkan peran, meskipun tak seberapa. Letjen. (purn) Sumarsono adalah Sekjen Golkar tetapi jarang muncul di muka umum. Satu dari politisi senior PDI-P adalah Mayjen. (purn) Theo Syafei, mantan panglima di Timor Timur, yang telah duduk selama dua periode dalam dewan. Kemungkinan keduanya akan digantikan dalam waktu dekat.

Partai Presiden SBY, PD ( Partai Demokrat) juga mencakup beberapa pensiunan perwira. SBY sendiri adalah ketua dewan penasehat tetapi jarang terlibat dalam kegiatan seharihari. Ketua umumnya adalah Kol. (purn) Hadi Utomo sementara Mayjen. (purn) Nur Aman dan Komjen. Pol. (purn) Nurfaizi keduanya merupakan anggota dewan. Yang mengherankan, pengurus PD adalah orang sipil yang berpandangan politik.

Dalam partai Islam PBB (Partai Bulan Bintang), ada beberapa pensiunan perwira. Termasuk di dalamnya adalah Kombes. Pol. (purn) Bambang Sutedjo, Letjen. (purn) Sugiono and Letjen. (purn) Sanif, yang semuanya menjabat sebagai anggota pengurus.

Beberapa perwira penting yang masih aktif maupun sudah pensiun belum muncul dalam kancah politik tetapi tampaknya akan unjuk gigi bulan-bulan mendatang ini. Diantaranya adalah: Ryamizard Ryacudu, Muh. Yasin and Djoko Santoso. Pensinunan jenderal bintang empat garis keras Ryamizard Ryacudu dikenal sebagai orang yang mencoba menggagalkan semua reformasi yang diperkenalkan setelah tahun 1998. Ia mencoba melakukan sabotase dalam proses perdamaian di Aceh dan dalam suatu aksi pembangkangan, ia mengadakan parade militer di depan istana semasa Gus Dur menjabat sebagai presiden. Pada hari berikutnya, Gus Dur diberhentikan oleh MPR dalam proses yang jelas-jelas dihasut oleh Ryacudu. Ia dikenal dekat dengan Megawati, kandidat PDI-P untuk capres. Kalau ini terjadi, kehadirannya kembali dalam panggung politik dapat menandakan kemunduran dari sebagian perubahan politik yang telah ada.

Letjen. (purn) Muhammad Yasin yang sampai belum lama ini merupakan pengikut setia SBY, juga kini telah muncul sebagai lawan kuat SBY. Ia menghabiskan seluruh karirnya sebagai perwira intelijen dan karena itu tak dikenal oleh masyarakat umum tetapi ia lebih dari itu semua, ia bertangan dingin. Tanpa diduga, ia telah dijadikan sebagai capres oleh partai kecil bernama PKP (Partai Karya Perjuangan) yang merupakan sempalan Golkar. Yasin dulunya adalah bagian dari lingkaran dalam SBY dan pekerja di kantor kepresidenan.

Dalam suatu wawancara langka, ia menekankan empat ‘permata’ bangsa: UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika; NKRI dan Pancasila. Meskipun Yasin tidak merupakan lawan serius dalam pemilihan presiden, ia dapat memainkan peran seperti Sutiyoso dalam membangun koalisi luas anti SBY bersama Jenderal bintang empat lainnya Djoko Santoso, yang sekarang Kepala Staf Angkatan

Belakangan ini TNI menjalani hari-hari yang berbeda disbanding saat dwi fungsi ABRI masih diterapkan. TNI kini telah banyak kehilangan kekuatan politik dan ekonominya selama. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan angkatan kepolisian yang telah ditingkatkan. Polri kini telah mendapatkan jauh lebih banyak perhatian publik dan juga telah merebut porsi yang cukup besar dari kue ekonomi. Di sejumlah daerah, kerapkali terjadi konflik publik antara unit polisi dan TNI, sebagian besar menyangkut soal pembagian kue. Kondisi seperti ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi Wiranto, Prabowo, Sutyoso dan SBY untuk memikirkan korps yang pernah dipimpinnya. Pekerjaan rumah bertambah bagi SBY ketika hasil kerjanya sebagai presiden selama ini dianggap telah gagal.