25 May 2011

Stop Mutilasi

Oleh Adhi Darmawan

Seonggok daging atau potongan tubuh manusia seakan tak pernah surut menghiasi media massa. Belum hilang dari ingatan kita akan kekejaman Ryan sang penjanggal dari Jombang, berikutnya Babe, kini muncul lagi kasus pembunuhan disertai mutilasi yang dilakukan Muryani terhadap suaminya, Karyadi. Deretan peristiwa berdarah ini lambat laun mendepak karakter bangsa Indonesia yang bersendikan Pancasila, dimana seharusnya makna religiusitas, gotong royong, “sumeh”, serta nilai-nilai kemanusiaan sangat dijunjung tinggi.

Terus beranjak menyamai negara-negara barat, kasus pembunuhan disertai mutilasi ini kian marak terjadi di Indonesia. Karena bermotif dendam, konflik tertutup yang lama, hingga motif penguasaan harta, seorang manusia dapat dengan mudah kehilangan akal sehatnya hingga membunuh disertai memutilasi. Hingga masalah yang terlihat sepele seperti urusan ranjang pun bisa menjadi motif tindakan kejam ini. Seperti yang menimpa Atikah (18) dijagal suaminya, Entong (60) warga Cibinong-Bogor pada Oktober 2008, jauh sebelum mutilasi terhadap Karyadi terjadi.

Pelaku mutilasi adalah orang waras, tidak hilang ingatan. Dengan bertujuan menghilangkan barang bukti ataupun melampiaskan dendam, pelaku mutilasi masih bisa berfikir bagaimana cara yang hendak dipakai untuk dapat mencapai tujuannya. Orang tak waras hanya akan membunuh, setelah itu ditinggalkan, tidak terfikir melakukan rekayasa.

Setiap kasus pembunuhan terhadap mutilasi terjadi, aparat dibuat lebih kesulitan untuk mengungkapnya. Semakin sulit sebuah kasus terselesaikan, tentu kian besar pula anggaran negara yang harus dikeluarkan, demikian pula dalam kasus mutilasi yang cenderung rumit, butuh kejelian. Untuk menekan banyaknya kasus mutilasi ini, hukuman mati tak surut mengancam tiap pelakunya. Tapi apa hasil? Perilaku sadis ini tetap saja terjadi.

Kebanyakan pelaku pembunuhan dengan memutilasi adalah orang dekat atau setidaknya orang yang kenal korban. Tentu dengan motivasi dan modus operandi yang sangat beragam. Motivasi dendam mendalam karena diperlakukan Karyadi tidak adil inilah yang menghantarkan Muryani mendekam dipenjara. Muryani merasa telah lama dikelilingi ketidakharmonisan sosial yang diciptakan Karyadi hingga kemudian nekat membunuhnya. Selain sebagai pelaku, dalam konteks ini Muryani merangkap pula sebagai korban dari perlakuan ketidakharmonisan yang diciptakan Karyadi, sang korban itu sendiri.

Selain motif dendam, motif penghilangan barang bukti juga sempat marak terjadi seperti yang menimpa Lily Kartika Dewi dan anaknya. Keduanya di mutilasi oleh Bob Liem di Hongkong yang ingin menguasai harta miliknya. Modus lain dalam usaha penghilangan barang bukti menimpa Atikah Styani yang tengah hamil. Atikah dibunuh dan dimutilasi oleh pria yang menghamilinya pada 17 Januari 2008.

Rusaknya Tatanan Sosial dan Efek Media
Menjadi pertanyaan kemudian, dapatkah perilaku mutilasi ini dicegah, atau minimal ditekan perkembangannya? Bagaimana caranya? Karena pelaku tindakan sadis ini kebanyakan adalah orang dekat, sulit memang dapat memastikan seseorang terjamin aman dari korban tindakan ini. Bagai musuh dalam selimut, bersama orang dekat yang seharusnya kita menjadi aman, justru dalam hal ini bisa menjadi sebuah ancaman.

Ada asap pastilah ada api. Dengan melihat berbagai kasus pembunuhan yang disertai mutilasi, ada faktor yang menjadi penyebab kenapa tindakan sadis dengan memutilasi korban yang dibunuhnya banyak dilakukan. Dari sudut pandang sosiologis, faktor disharmoni sosial (ketidakharmonisan sosial) dan efek media berperan besar kenapa pembunuhan disertai mutilasi ini tetap saja terjadi.

Faktor disharmoni sosial berangkat dari tatanan sosial masyarakat kita yang tidak lagi sehat. Kesenjangan sosial antara yang kaya dan si miskin kian menganga. Gaya hidup individualis telah merambah hingga kepelosok desa. Si kaya berlimpah dengan kekayaannya, membangun tembok dan pagar tinggi-tinggi. Semakin banyaknya pagar tembok yang tinggi, memperlihatkan keberadaan “trust’ dalam masyarakat kian rendah. Secara umum, kesenjangan sosial yang meningkat berdampak pada kecemburuan sosial yang melesat, disharmoni sosial pun turut meningkat.

Dalam rentang yang lama, cara hidup individualis ditengah tatanan sosial yang tidak sehat melemahkan rasa kemanusiaan kita sebagai anak bangsa. Orang menjadi gampang marah. Jangankan berfikir sesama anak bangsa, antara suami dan istri atau anak dan orang tua yang hidup dalam satu institusi, keluarga, saja sudah banyak yang enggan untuk berbagi. Disharmoni sosial yang hilang turut melenyapkan rasa kemanusiaan, mudah menumbuhkan sifat berontak nan kejam. Pembunuhan dengan mutilasi inilah yang sering dijadikan saluran sifat “pemberontakan”.

Penyebab tiada hentinya pembunuhan disertai dengan mutilasi ini juga dipengaruhi media. Ditengah kesadaran berbangsa dan berke-Tuhan-an yang melemah -dimana tatanan sosial yang rusak menjadikan manusia menganggap kekekerasan dan kesadisan adalah hal biasa- maka, dengan mudahnya rasa kemanusian hilang terdepak kebutuhan ekonomi, kekuasaan, serta kepuasan nafsu duniawi lainnya. Dampaknya, manusia tidak lagi trauma dan berbelas kasihan melihat orang-orang yang yang menjadi korban pembunuhan hingga kemudian dimutilasi.

Ditambah lagi dengan banyaknya tayangan-tayangan kekerasan menghiasi layar kaca serta media cetak, menjadikan pembunuhan dengan mutilasi ini kian mudah terduplikasi kemasyarakat luas. Dengan menjadikan kasus pembunuhan disertai mutilasi ini berita besar, maka secara tidak langsung media telah berkontribusi dalam proses duplikasi perilaku ini kemasyarakat luas.

Kasus penemuan mayat di bus Mayasari Bhakti P 64 rute Kalideres-Pulogadung pada tanggal 29 September 2008 menjadi salah satu contoh dalam hal ini. Korban yang dimasukan plastik warna merah dan selanjutnya diketahui terpotong menjadi 13 bagian. Ternyata pelakunya adalah Sri Rumiyati, istri korban sendiri. Pelaku mengaku mendapat inspirasi dari media massa dalam membunuh disertai memutilasi setelah dendam karena sering dianiaya suaminya.

Karena berasal dari orang dekat, maka para “calon” pelaku pembunuhan disertai mutilasi ini susah diwaspadai. Untuk dapat mencegah diri kita menjadi korban, maka kita harus bisa cermat membaca tatanan sosial dan situasi sosial, serta tanggap terhadap perubahan perilaku orang-orang disekeliling kita. Mewujudkan tatanan sosial yang sehat adalah salah satu cara kita sebagai makhluk Homo Homini Socius untuk menghentikan perilaku tidak manusiawi ini.

Legalisasi Ganja

Oleh Adhi Darmawan
(Alumnus Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan Lemhannas RI, 2010)

Cannabis sativa atau yang selama ini dikenal dengan nama ganja, dalam bulan Mei ini menjadi pembicaraan hangat. Pemicunya, sekelompok orang yang tergabung dalam Lingkar Ganja Nusantara (LGN) dalam memperingati Global Marijuana March (GMM) 2011 melakukan aksi long march menuntut ganja dilegalkan. Aksi ini dilakukan setiap tahun pada hari sabtu pertama di bulan Mei. Aksi GMM pertama kali digelar di Canada dan Selandia Baru pada tahun 1999.

Pasca munculnya tuntutan ini, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Patrialis Akbar mengatakan akan memberikan pengecualian jika jenis narkoba yang dikonsumsi untuk kebutuhan pengobatan. Dalam PP No 25/2011 tentang Wajib Lapor Bagi Pengguna Napza, para pecandu narkotika juga bisa terlepas dari jerat hukum pidana dengan beberapa persyaratan seperti bagi mereka yang tertangkap pertama kali, serta terkait kasus pelaku pengguna narkotika jenis sabu-sabu di bawah satu gram. Sehingga bagi yang memenuhi persyaratan ini, pemakai narkoba tidak perlu takut langsung meringkuk didalam terali besi, tetapi cukup wajib lapor pada lembaga atau tempat yang sudah ditentukan pemerintah. Sikap pemerintah ini cenderung terasa melunak dalam menangani pemakai narkoba.

Untung Rugi

Ganja merupakan tanaman kaya serat. Selain memiliki banyak manfaat untuk keperluan medis, ganja juga memiliki beragam manfaat untuk keperluan industri, baik industri kosmetik, maupun lainnya. Sekalipun demikian, ganja memiliki kandungan zat narkotika tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol) yang terletak pada bijinya. Zat ini dapat membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab).

Ganja telah dikonsumsi manusia sejak lama hingga menjadi bentuk idenstitas dari perilaku komunitas. Pada umumnya, ganja identik dengan warna music regee yang sempat dipopulerkan Bob Marley, musisi Jamaica. Di beberapa Negara maju, termasuk Amerika, ganja menjadi simbol budaya hippies. Di India, sebagian Sadhu yang menyembah dewa Shiva menggunakan produk derivatif ganja untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap hashish melalui pipa chilam/chillum, dan dengan meminum bhang.

Di beberapa Negara berkembang, ganja sempat menjadi symbol perlawanan terhadap arus globalisme yang didorong negara kapitalis. Di Indonesia sendiri ganja menjadi symbol perekat anak muda yang bersatu dalam komunitas pecinta “Bob Marley” dengan favorit warna dasar merah, kuning, hijau. Perilaku komunitas muda ini cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan rambut gimbal ala Bob Marley. Sekalipun tidak pernah tercatat secara resmi dari komunitas ini yang melakukan tindak kejahatan, akan tetapi perilaku anggotanya yang kerap mengkonsumsi ganja tentu sangat meresahkan. Mereka kerap kehilangan kesadaran dalam menikmati alunan musik regee yang diidolakan dan terkadang dilakukan dipinggir jalanan.

Ganja memang tidak terlihat memberikan efek seburuk buah candu, jenis herbal dimana getahnya (opium) merupakan bahan baku produksi beberapa jenis narkotika seperti morfin, heroin, dan sabu-sabu. Sekalipun demikian, secara umum pengguna ganja juga akan lebih besar berpotensi menjadi pemalas dan otak akan lamban dalam berpikir, disamping tubuh kian kurus kering.

Walaupun berasal dari herbal dan tidak terbukti menyebabkan kecanduan, ganja berpeluang mengancam kesehatan fisik dan mental. Jauh lebih buruk dari efek kerusakan kesehatan fisik dan mental yang ditimbulkan tembakau. Jika ganja dilegalkan, kondisi generasi muda sebagai kelompok rentan pengguna, tentu sangat dikhawatirkan mengingat pemuda merupakan masa depan penerus bangsa. Keberadaan ganja berpotensi memunculkan bentuk disharmoni sosial.

Ganja masuk kategori narkotika yang keberadaannya di Indonesia diatur dengan UU 35/2009 Tentang Narkotika. Dikeluarkannya ganja dari jenis narkotika dapat merubah tatanan sosial masyarakat kita yang selama ini telah memberi stempel barang haram. Akan terjadi resistensi dan penolakan besar dari berbagai komponen bangsa jika ganja menjadi dilegalkan.

Persepsi pengguna ganja sebagai korban dan bukan pelaku kejahatan sehingga perlu diberi “belas kasihan” dengan wajib lapor hanya menjadikan hukum yang ada terlihat tidak bertaring lagi. Keadaan ini hanya akan menjadi celah dalam kasus-kasus yang lebih besar. Ketegasan pada peredaran narkoba bukanlah ajang uji coba dan taruhan keberhasilan. Menjadi langkah mundur tentu jika kita memberi celah dengan melegalkan keberadaan ganja.

Lagi pula, gerakan legalisasi ganja berasal dari barat yang tatanan sosial dan budaya bangsanya bertolak belakang dengan nilai-nilai kebangsaan kita yang bersumberkan pada Pancasila. Dengan demikian tidak ada alasan lagi ganja untuk dikeluarkan dari narkotika untuk kemudian dilegalkan. Dus, belum hilang dari ingatan kita bagaimana kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Meksiko dalam usaha membasmi peredaran Narkoba yang memakan banyak jiwa.

11 May 2011

Menyelamatkan Keseimbangan Alam

Adhi Darmawan

World Wild Fund (WWF) berhasil merekam sebanyak 12 induk dan anak harimau di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau dan Kabupaten Tebo, Jambi (24/3). Hasil pemotretan otomatis ini memperlihatkan fenomena bertumpuknya populasi harimau pada satu kawasan hutan yang tutupannya masih bagus (crowding), yang biasanya disebabkan oleh terjadinya penyempitan habitat secara cepat.

Menyempitnya kawasan hutan alam ini merupakan konsekuensi dari pembukaan hutan untuk keperluan lain yang mengusik kehidupan alamiah satwa liar seperti harimau, gajah, buaya, hingga beruang madu. Dampaknya, berbagai satwa ini kerapkali terlibat konflik langsung dengan manusia. Di pulau Sumatera, selama 2010 saja sedikitnya ada 43 kasus konflik manusia dengan harimau. Tidak sedikit korban jiwa yang jatuh dari adanya konflik ini.

Data dari WWF memperlihatkan bahwa jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi kini tinggal 30 ekor, sekitar 10 persen dari jumlah yang ada di Pulau Sumatera. Di wilayah Riau saja, selama kurun waktu 1998 hingga 2009, telah ada sebanyak 46 ekor harimau ditemukan mati akibat ulah manusia. Artinya, rata-rata sebanyak tujuh ekor harimau mati setiap tahun.

Jika tepat angka ini, maka krisis keseimbangan alam akan menanti yang berdampak pada kerusakan ekosistem lebih besar. Babi hutan dan sejenisnya yang seharusnya menu utama raja hutan ini akan meledak jumlahnya untuk bersiap-siap meyerang ladang pertanian. Ditengah usaha kita dalam meningkatkan produktifitas pertanian nasional, tentu ancaman seperti ini tidak bisa diremehkan. Biaya yang dikeluarkan masyarakat dalam bertani juga akan bertambah karena harus membasminya sebagai ongkos dari lenyapnya predator utama alamiah mereka.

Mengingat harga kulit, gigi, dan organ lainnya yang mahal, pembelaan diri dari serangan binatang buas kerapkali menjadi alasan untuk menutupi motif ekonomi masyarakat dalam memburu satwa yang diprediksikan tahun 2015 akan punah ini. Kepastian hukum dan ketegasan pemerintah dalam perizinan pengelolaan hutan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan untuk dapat menyelamatkan keseimbangan alam ini. Kerjasama antar komponen dalam masyarakat juga diperlukan untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam hal ini.