18 August 2011

“Legal Crisis” DIY

Oleh Adhi Darmawan

Sejak meninggalnya Sri Paduka Pakualam VIII (PA VIII), telah lebih dari sepuluh tahun sudah, kawula Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menanti kehadiran Undang-Undang Keistimewaan DIY. Berbagai gerakan kawula DIY yang menuntut dan menolak ditetapkannya Sultan Hamengkubuwono X (Sultan HB X) sebagai gubernur dan PA IX sebagai wakil gubernur DIY telah mengalir deras dari mulai Pisowanan Kawula Mataram (1998), Sidang Rakyat Jilid I (2001), Pernyataan Sikap (2007), Rembuk Kawulo (2008), Sidang Rakyat Jilid II (2008), penyampaian aspirasi langsung ke pemerintah pusat, hingga dipakainya saluran aspirasi melalui media massa.

Kini, wacana tentang keistimewaan DIY menghangat dengan adanya perseteruan pribadi antara Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI dengan Sultan HB X. Perseteruan ini bermula dari rapat kabinet yang diadakan di kantor presiden, saat itu, SBY sempat melontarkan pernyataan perihal sistem demokrasi yang akan berlangsung di DIY kendati menyandang keistimewaan dengan menyatakan "tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi".

Wajar Sultan HB X meradang, dalam pandangannya, permasalahan yang muncul saat ini bukanlah perihal demokrasi, melainkan pemahaman yang berbeda mengenai keistimewaan DIY. Pernyataan Presiden SBY juga tidaklah salah, mengingat dalam faktanya, pemerintahan DIY sekarang sangat terkait dengan keberadaan institusi Keraton. Sekalipun antara pemerintahan provinsi DIY dengan Keraton terpisah, tetapi keberadaan otoritas tradisional, otoritas kharismatis, dan otoritas legal yang dimiliki Sultan HB X secara tidak langsung telah turut mempengaruhi berjalannya Pemerintahan Provinsi DIY. Kita bisa mendengarkan aspirasi publik dari kelompok kawulo yang menolak Sultan HB X ditetapkan sebagai gubernur DIY, yang mengatakan akibat dari otoritas yang dimiliki Sultan HB X penegakan hukum bisa saja terhambat, saluran aspirasi tersumbat, serta memunculkan kebijakan yang tidak pro rakyat.

Perseteruan Presiden SBY-Sultan HB X juga bukan yang pertama. Menjelang pemilu 2009, antara Presiden SBY dengan Sultan juga sempat berseteru ketika Andi Malaranggeng sebagai Jubir Presiden SBY mengatakan sistem pemerintahan DIY sebagai monarkhi dan Sultan HB X seperti ketoprak hingga melahirkan gerakan massa dalam Sidang Rakyat Jilid II (2008). Sayangnya, dari perseteruan dan berbagai gerakan yang muncul, satupun tidak ada yang menyelesaikan masalah, justru hanya memunculkan situasi rawan konflik.

Legal Crisis

Sejak terjadinya legal crisis (kekosongan hukum) setelah Sultan HB IX dan PA VIII meninggal, banyak kawula DIY merasa seperti telur diunjung tanduk. Banyak masyarakat DIY yang menggantungkan hidupnya dari bentuk keistimewaan DIY (sebuah keistimewaan dimana Sultan HB X selain sebagai seorang raja juga selalu menjadi gubernur), seperti penarik becak, penjual kain, penjual makanan yang tidak tentu nasibnya. Bisa dipahami, selama ini mereka hidup dalam balutan citra pariwisata daerah istimewa yang takut hilang jika sistem pemerintahan DIY berubah.

Seolah menganggap bahwa legal crisis ini hanya masalah lokalitas DIY, lebih khususnya masalah keraton, banyak pihak yang tidak mau ambil resiko dengan kebijakan yang dikeluarkan. Terbukti, banyak komentar akan keistimewaan DIY dari para pengambil kebijakan tapi lebih dari 10 tahun sudah masyarakat DIY menanti kepastian bentuk pemerintahan daerahnya kedepan tak kunjung datang. Sikap politik partai juga cenderung tidak konsisten dengan sikap politik yang diambilnya, berdampak pada beragamnya persepsi dan sikap publik. Dari 3 (tiga) fraksi DPRD DIY yang menolak Sultan HB X di tetapkan sebagai gubernur pada tahun 2003, tiba-tiba berubah sikap menjadi mendukung pada tahun 2008 menjadi penguat akan hal ini. Alih-alih berbicara demokrasi, para pengambil kebijakan tidak sedikit yang terkena pengaruh dari otoritas kharismatis dan otoritas tradisional Sultan HB X sebagai seorang Raja, sehingga membiarkan terjadinya krisis otoritas legal Sultan HB sebagai seorang gubernur dalam waktu lama.

Apapun yang terjadi, pada tanggal 9 Oktober 2008 Presiden SBY telah memperpanjang jabatan Sultan HB X sebagai gubernur DIY hingga 2011. Perhitunggannya, paling lama hingga 2011 UU Keistimewaaan DIY yang didasari pasal 18 B UUD 1945 telah selesai sengan sempurna. Lebih cepat tentu menjadi harapan masyarakat DIY.

Telah lama situasi legal crisis keistimewaan DIY ini terjadi, menuntut UU yang terbentuk harus bisa diterima semua kelompok masyarakat DIY. Pendukung keistimewaan Yogyakarta pro-penetapan tentu akan melakukan perlawanan politik jika UU Keistimewaan DIY ini tidak sesuai aspirasi mereka, demikian juga kelompok penolak penetapan, sekalipun bergerak secara tertutup dan nyaris tidak muncul dipernukaan, tentu akan melakukan hal yang sama. UU Keistimewaan yang telah dibuat dituntut harus sesuai dengan aspirasi masyarakat DIY jika tidak ingin memunculkan civil disobedience, sebuah kondisi pembangkangan sipil terhadap UU yang dibuat dan sangat rawan konflik. Tentunya DPR RI harus sangat hati-hati dalam hal ini, referendum penetapan Sultan HB X dan menggunakan mekanisme pemilihan bisa menjadi opsi dalam hal ini.

Budaya (Anti) Korupsi

Oleh Adhi Darmawan
Pemerhati Sosial

Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri, diakui memang tidak sedikit kasus-kasus korupsi berhasil dituntaskan olehnya. Bahkan, tidak sedikit pula para koruptor dibuat tidak berdaya jika kejahatan korupsi yang dilakukannya ditangani langsung oleh KPK. Sayangnya, keberadaan KPK sebagai lembaga yang menjadi simbol perang bangsa Indonesia terhadap korupsi ini belum berhasil memberikan efek jera bagi para koruptor. Sejumlah kasus korupsi yang muncul silih berganti merupakan indikator hal ini.

Hingga kini, posisi Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup di Asia, bahkan dunia. Dalam kurun 2008 hingga 2011, kejahatan korupsi yang terjadi di Indonesia kian meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Indeks korupsi Indonesia menunjukan trend meningkat. Peringkat korupsi di Indonesia tertinggi di seluruh kawasan Asia Pasifik (PERC 2010).

Masih maraknya kejahatan korupsi ditengah upaya pemberantasan korupsi memunculkan beberapa asumsi yang terkait dengan faktor budaya. Pertama, sistem kerja yang ada sekarang ini masih memungkinkan orang untuk berbuat korup. Asumsi ini berangkat dari pandangan bahwa sistem yang buruk adalah rahim dari lahirnya budaya korup. Semakin buruk sistem yang ada menjadikan kian buruk pula budaya yang lahir. Buruknya sistem dapat terwujud dari ketidakadilan, sifat memaksa hukum yang lemah karena ringannya sangsi, aparat penegak hukum yang tidak tegas, bisa disuap, kerap memelintir ayat, dan lain-lain.

Kedua, kompetensi dan profesionalitas disiplin sumberdaya aparatus yang rendah. Asumsi ini banyak dipengaruhi dari tatanan budaya masyarakat yang berkembang dalam lingkungan masyarakat. Berangkat dari ekstraksi antara hakekat korupsi dan bentuk budaya itu sendiri.

Korupsi merupakan perilaku aparatus yang secara illegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya. Dengan menjelmanya perilaku korupsi menjadi budaya, maka perilaku aparatus tersebut akan termanifestasi menjadi kebiasaan sosial masyarakat, bahkan akan terwariskan secara turun-menurun.

Dalam budaya masyarakat kita yang menjadikan kejahatan korupsi sebagai perilaku lumrah, maka kompetensi dan profesionalitas seorang aparatus akan terkikis oleh mentalitas korupsi yang marak terjadi diliingkungannya. Perilaku korup yang telah membudaya dalam suatu masyarakat akan menjadikan kejahatan korupsi semakin sulit untuk diberantas, patah tumbuh hilang berganti. Kondisi ini akan memunculkan budaya yang sakit. Bangsa yang memiliki budaya sakit dicirikan oleh adanya krisis akhlak, miskin kepercayaan, rendahnya kejujuran, langka kredibilitas, dan sebagainya.
Konstruksi budaya sakit ini jika tidak segera dibongkar, akan menjadi faktor pembenaran aparatus melakukan korupsi. “Sama-sama tahu” atau “diselesaikan dengan adat” atau “asal netes (kebagian)” merupakan bahasa simbol untuk melakukan pembiaran atau penyelesaian diluar hukum jika ada orang terdekat melakukan korupsi.


Sehatkan Budaya

Mengakarnya budaya korupsi menjadi cermin kepribadian bangsa tidak bermartabat. Faktor-faktor pemicu lahirnya disharmoni sosial seperti kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya bisa muncul akibat kejahatan korupsi ini. Ini kemudian yang menjadikan korupsi kayak disebut sebagai bahaya laten. Sumber-sumber dana pembangunan negara “diprivatisasi” aparatus untuk kepentingan pribadi atau segelintir orang tanpa memperdulikan bahwa perilakunya menjadikan sengsara jutaan rakyat.
Tanpa di sadari, praktik – praktik korupsi atau berbagai bentuk perilaku yang berpotensi melahirkan kejahatan korupsi telah membudaya di negeri ini seperti mengalir deras tidak bisa dihentikan.

Dalam kasus lain, sama halnya dengan partai politik yang merekrut seseorang menjadi calon kepala daerah atau anggota legislative hanya karena faktor kekayaan, menyisihkan kompetensi serta kredibilitas. Tentu hal ini sama saja menjadikan partai politik sebagai pendukung sirkulasi elit untuk dimenangkan politisi pragmastis yang akan menuntut modal politiknya secepatnya kembali.
Sama halnya pula dalam rekruitmen pegawai negeri sipil yang hanya mempertimbangkan kecerdasaan tanpa mengindahkan faktor moralitas dan komitmen pengabdian untuk rakyat. Ini sama saja mendukung munculnya birokratis elitis yang sulit “menyentuh” masyarakat. Birokrat seperti ini berkecenderungan lebih tega dalam menggunakan sebagian besar anggaran yang ada untuk belanja dan kesejahteraan pegawai dari pada untuk kesejahteraan masyarakat.


Ditengah ramainya kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, Kepala Daerah, dan sebagainya, kita sempat dihenyakan keberanian seorang ibu bernama Siami. Dalam ujian nasional di Sekolah Dasar Negeri Gadel II, Surabaya, Siami melaporkan terjadinya kecurangan ujian setelah anaknya diperintahkan guru memberikan contekan kepada siswa lainnya. Akibat keberaniannya, Siami dan keluarganya terusir dari rumahnya karena justru dianggap sebagai biang permasalahan yang menjadikan siswa lain berpotensi tidak lulus ujian.
Pengusiran warga terhadap keluarga Siami mencerminkan bahwa kejujuran belum diterima dalam budaya masyarakat kita yang masih memaklumi tindakan curang demi mencapai hasil yang menguntungkan dirinya. Dari mulai hal yang sederhana seperti inilah kasus-kasus korupsi yang besar terjadi di negeri ini.
Perintah guru dan amarah warga terhadap Siami juga menjadi bukti bahwa budaya kita sekarang ini memang sedang sakit. Sekalipun berniat baik agar semua siswa didiknya lulus ujian, tapi sikap seorang guru yang menganjurkan menyontek, sama saja bersikap menyuruh ketidak jujuran dilakukan anak didiknya. Menjadikan siswa dapat lulus tanpa harus belajar sama saja mematri otak siswa menjadi orang yang bisa melegalkan segala cara untuk mencapai keberhasilannya. Dalam skala yang besar, otak yang terpatri seperti ini menjadi embrio bagi perilaku korupsi





Menentukan Masa Depan DIY

Oleh Adhi Darmawan
(Penulis Buku Jogja Bergolak)


Lebih dari sebelas tahun Sri Paduka Pakualam VIII (PA VIII) meninggal dunia. Selama itu pula masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus menanti kehadiran Undang-Undang Keistimewaan DIY. Berbagai gerakan kawula DIY yang menuntut dan menolak ditetapkannya Sultan Hamengkubuwono X (Sultan HB X) sebagai gubernur dan PA IX sebagai wakil gubernur DIY tak henti bergulir dari mulai Pisowanan Kawula Mataram pada tahun 1998, Sidang Rakyat Jilid I (2001), Pernyataan Sikap (2007), Rembuk Kawulo (2008), Sidang Rakyat Jilid II (2008), penyampaian aspirasi langsung ke pemerintah pusat, hingga dipakainya saluran aspirasi melalui media massa.
Sekarang ini, wacana tentang keistimewaan DIY menghangat dengan adanya perseteruan pribadi antara Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI dengan Sultan HB X. Perseteruan ini bermula dari rapat kabinet yang diadakan di kantor presiden, saat itu, SBY sempat melontarkan pernyataan perihal sistem demokrasi yang akan berlangsung di DIY kendati menyandang keistimewaan dengan menyatakan "tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi".

Menurut Sultan, permasalahan yang muncul saat ini bukanlah perihal demokrasi, melainkan pemahaman yang berbeda tentang keistimewaan DIY. Presiden SBY yang melontarkan pandangannya tetnag monarki konstitusional juga tidaklah salah, mengingat dalam faktanya, pemerintahan DIY sekarang sangat terkait dengan keberadaan institusi Keraton. Walaupun antara pemerintahan provinsi DIY dengan Keraton tidak terkait, tetapi keberadaan otoritas tradisional, otoritas kharismatis, dan otoritas legal yang dimiliki Sultan HB X secara tidak langsung telah turut mempengaruhi berjalannya Pemerintahan Provinsi DIY. Kita bisa mendengarkan aspirasi publik dari kelompok kawulo yang menolak Sultan HB X ditetapkan sebagai gubernur DIY, yang mengatakan akibat dari otoritas yang dimiliki Sultan HB X penegakan saluran aspirasi menjadi tersumbat, hukum bisa terhambat, serta memunculkan kebijakan yang tidak pro rakyat.

Perseteruan Presiden SBY-Sultan HB X juga bukan yang pertama. Menjelang pemilu 2009, antara Presiden SBY dengan Sultan juga sempat berseteru ketika Andi Malaranggeng sebagai Jubir Presiden SBY mengatakan sistem pemerintahan DIY sebagai monarkhi dan Sultan HB X seperti ketoprak hingga melahirkan gerakan massa dalam Sidang Rakyat Jilid II (2008). Sayangnya, dari perseteruan dan berbagai gerakan yang muncul, satupun tidak ada yang menyelesaikan masalah, justru hanya memunculkan situasi rawan konflik.


Perlu Kebijakan Tepat

Sejak terjadinya kekosongan hukum setelah Sultan HB IX dan PA VIII meninggal, banyak kawula DIY merasa seperti telur diunjung tanduk. Banyak masyarakat DIY yang menggantungkan hidupnya dari bentuk keistimewaan DIY (sebuah keistimewaan dimana Sultan HB X selain sebagai seorang raja juga selalu menjadi gubernur), seperti penarik becak, penjual kain, penjual makanan yang tidak tentu nasibnya. Bisa dipahami, selama ini mereka hidup dalam balutan citra pariwisata daerah istimewa yang takut hilang jika sistem pemerintahan DIY berubah.

Seolah menganggap bahwa adanya kekosongan hukum ini hanya masalah lokalitas DIY, lebih khususnya masalah keraton, banyak pihak yang tidak mau ambil resiko dengan kebijakan yang dikeluarkan. Terbukti, banyak komentar akan keistimewaan DIY dari para pengambil kebijakan tapi lebih dari 10 tahun sudah masyarakat DIY menanti kepastian bentuk pemerintahan daerahnya kedepan tak kunjung datang. Sikap politik partai juga cenderung tidak konsisten dengan sikap politik yang diambilnya, berdampak pada beragamnya persepsi dan sikap publik. Dari 3 (tiga) fraksi DPRD DIY yang menolak Sultan HB X di tetapkan sebagai gubernur pada tahun 2003, tiba-tiba berubah sikap menjadi mendukung pada tahun 2008 menjadi penguat akan hal ini. Alih-alih berbicara demokrasi, para pengambil kebijakan tidak sedikit yang terkena pengaruh dari otoritas kharismatis dan otoritas tradisional Sultan HB X sebagai seorang Raja, sehingga membiarkan terjadinya krisis otoritas legal Sultan HB sebagai seorang gubernur dalam waktu lama.

Telah lama situasi kekosongan hukum keistimewaan DIY ini terjadi, menuntut UU yang terbentuk harus bisa diterima semua kelompok masyarakat DIY. Apapun yang terjadi, pada tanggal 9 Oktober 2008 Presiden SBY telah memperpanjang jabatan Sultan HB X sebagai gubernur DIY hingga 2011. Perhitunggannya, paling lama hingga 2011 UU Keistimewaaan DIY yang didasari pasal 18 B UUD 1945 telah selesai sengan sempurna. Lebih cepat tentu menjadi harapan masyarakat DIY.

Yang perlu diwaspadai dalam hal ini, pendukung keistimewaan DIY yang pro-penetapan tentu akan melakukan perlawanan politik jika UU Keistimewaan DIY ini tidak sesuai aspirasi mereka, demikian juga kelompok penolak penetapan, sekalipun bergerak secara tertutup dan nyaris tidak muncul dipernukaan, tentu akan melakukan hal yang sama. UU Keistimewaan yang telah dibuat dituntut harus sesuai dengan aspirasi masyarakat DIY jika tidak ingin memunculkan civil disobedience, sebuah kondisi pembangkangan sipil terhadap UU yang dibuat dan sangat rawan konflik. Tentunya DPR RI harus sangat hati-hati dalam hal ini, referendum penetapan Sultan HB X dan menggunakan mekanisme pemilihan bisa menjadi opsi dalam hal ini.


Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Kita

Oleh Adhi Darmawan
Alumnus N2K Lemhannas RI 2010

Benar adanya jika nenek moyang kita seorang pelaut. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, bangsa kita sudah terbiasa berlayar menaklukan ombak lautan bersaing dengan kapal-kapal besar bangsa asing. Bangsa kita bahkan sempat berhasil menaklukan militer bangsa asing dengan armada laut sederhana yang dimilikinya.
Secara geografis, kini Indonesia memiliki 17.480 pulau. Dari sebanyak itu, hanya beberapa puluh pulau saja diantaranya yang sudah berpenghuni. Bahkan tercatat masih sekitar 13.000 pulau diantaranya belum memiliki nama. Sementara itu, 92 pulau diantaranya terletak di wilayah terluar Indonesia yang tersebar di 19 provinsi. Sebanyak 67 pulau di antaranya berbatasan langsung dengan negara lain dan 12 pulau di dalamnya rawan di klaim negara lain.
Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki garis pantai 95.181 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Beraneka ragam sumber daya alam terkandung didalamnya, sehingga berbagai jenis potensi ekonomi bisa tergali dari sektor sumber daya bahari ini. Selain sektor perikanan, sektor lain seperti perkebunan, pariwisata, kerajinan, dan sebagainya bisa menjadi potensi ekonomi yang besar untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama yang berada di wilayah pesisir.
Sayangnya, hingga kini sumber daya kelautan kita belum bisa termanfaatkan dengan baik. Luas wilayah dan besarnya sumber daya kelautan kita masih belum seimbang dengan langkah pengelolaan sehingga kekayaan sumber daya yang ada belum dapat terolah dengan optimal. Upaya pengamanan yang dilakukan pemerintah terhadap wilayah territorial juga belum maksimal, sehingga berbagai kasus pelanggaran kedulatan dan perusakan biota laut banyak terjadi.

Ancaman
Hampir setiap saat, tidak kering kita mendengar berita adanya berbagai bentuk pelanggaran kedulatan dan perusakan biota laut. Dari berbagai kasus yang ada, kita bisa mengklasifikasikannya kedalam beberapa bentuk. Pertama, piracy (perompakan). Kejahatan dalam bentuk piracy ini terjadi karena lengahnya penjagaan wilayah laut. Motif ekonomi dan terrorisme kerap menjadi dasar para perompak dalam beraksi. Kedua, Smugling (penyelundupan), yang meliputi berbagai barang konsumsi, barang produk industry, hingga penyeludupan manusia (human trafficking) yang terkategori kejahatan antar bangsa (transnational crime).
Berikutnya yang ketiga, kejahatan dalam bentuk illegal fishing and logging. Maraknya kejahatan ini disebabkan karena kurang kuatnya sistem pengamanan yang dilakukan baik karena sumber daya aparat atau kurang canggihnya alutsista yang dipakai. Keempat, Illegal crossing (pelanggaran perbatasan). Kejahatan ini sangat menyinggung kedulatan Indonesia, mengancam keberadaan pulau-pulau terluar, terutama pulau yang belum berpenghuni. Illegal crossing bisa terjadi dengan motif illegal fishing, tapi bisa pula bermotif merebut wilayah tertentu.

Perhatian Serius
Pada dasarnya, semua bentuk kejahatan tersebut terjadi karena kekuatan TNI kita tidak sebanding dengan kondisi wilayah laut yang harus diamankan. Selain luas wilayah laut yang harus diamankan lebih luas, tantangan alutsista militer asing yang harus dihadapi TNI juga lebih canggih. Sebagian besar peralatan / alutsista TNI kita tidak layak tempur, selain sudah gaek, alutsista yang kita miliki juga jumlahnya masih jauh dari cukup untuk mengamankan territorial. Hampir setiap tahun, ribuan kapal asing terlibat IUU (Illegal, Unregulated and Unreported) Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Tindakan kapal asing ini merupakan pelanggaran kriminal lintas negara yang terorganisir.
Secara sosiologis, kurangnya perhatian dan pemberdayaan masyarakat pesisir juga menjadi faktor kenapa bentuk-bentuk kejahatan seperti itu bisa terjadi. Banyaknya pulau yang belum terurus, terutama di wilayah perbatasan merupakan celah bagi bangsa asing untuk dapat masuk dan melakukan penggerogotan.
Demikian juga dengan nelayan kita yang mayoritas masih beroperasi secara tradisional. Peralatan sederhana yang mereka miliki menjadikan mereka hanya mampu berlayar jarak dekat dengan radius belasan mil laut. Kalah jauh dibanding nelayan asing yang mampu beroperasi hingga ke laut lepas, bahkan memasuki territorial negara lain.
Munculnya salah satu bentuk kejahatan tersebut juga terbuka kemungkinan menimbulkan efek domino. Dalam illegal fishing misalnya, adanya kapal asing atau lokal yang melakukan penangkapan ikan dengan memakai pukat harimau atau bom, menjadikan nelayan tradisional mudah sekali tertarik untuk memakai cara yang sama agar tangkapan mereka tidak jauh berkurang.
Untuk dapat mengakhiri semua ini sehingga dapat terwujud pengelolaan sumber daya kelautan dengan baik, maka diperlukan perhatian serius segenap unsur pemerintahan baik oleh unsur Eksekutif, Legislative, Yudikatif, maupun unsure masyarakat. Intensifikasi pembangunan perlu dilakukan baik dalam ruang sistem, maupun labenswelt. Sistem disini mencakup birokrasi yang sehat, bebas korupsi, visioner dan sebagainya, pula mencakup “pasar” yang mendukung terciptanya suasana pengelolaan kelautan kita yang kondusif. Sementara itu, labenswelt disini mencakup dinamika masyarakat sipil, nilai, budaya, tradisi, dan sebagainya. Proses pembangunan pengelolaan kelautan kita mustahil dilakukan oleh sistem tanpa mengindahkan labenswelt.