18 August 2011

Budaya (Anti) Korupsi

Oleh Adhi Darmawan
Pemerhati Sosial

Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri, diakui memang tidak sedikit kasus-kasus korupsi berhasil dituntaskan olehnya. Bahkan, tidak sedikit pula para koruptor dibuat tidak berdaya jika kejahatan korupsi yang dilakukannya ditangani langsung oleh KPK. Sayangnya, keberadaan KPK sebagai lembaga yang menjadi simbol perang bangsa Indonesia terhadap korupsi ini belum berhasil memberikan efek jera bagi para koruptor. Sejumlah kasus korupsi yang muncul silih berganti merupakan indikator hal ini.

Hingga kini, posisi Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup di Asia, bahkan dunia. Dalam kurun 2008 hingga 2011, kejahatan korupsi yang terjadi di Indonesia kian meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Indeks korupsi Indonesia menunjukan trend meningkat. Peringkat korupsi di Indonesia tertinggi di seluruh kawasan Asia Pasifik (PERC 2010).

Masih maraknya kejahatan korupsi ditengah upaya pemberantasan korupsi memunculkan beberapa asumsi yang terkait dengan faktor budaya. Pertama, sistem kerja yang ada sekarang ini masih memungkinkan orang untuk berbuat korup. Asumsi ini berangkat dari pandangan bahwa sistem yang buruk adalah rahim dari lahirnya budaya korup. Semakin buruk sistem yang ada menjadikan kian buruk pula budaya yang lahir. Buruknya sistem dapat terwujud dari ketidakadilan, sifat memaksa hukum yang lemah karena ringannya sangsi, aparat penegak hukum yang tidak tegas, bisa disuap, kerap memelintir ayat, dan lain-lain.

Kedua, kompetensi dan profesionalitas disiplin sumberdaya aparatus yang rendah. Asumsi ini banyak dipengaruhi dari tatanan budaya masyarakat yang berkembang dalam lingkungan masyarakat. Berangkat dari ekstraksi antara hakekat korupsi dan bentuk budaya itu sendiri.

Korupsi merupakan perilaku aparatus yang secara illegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya. Dengan menjelmanya perilaku korupsi menjadi budaya, maka perilaku aparatus tersebut akan termanifestasi menjadi kebiasaan sosial masyarakat, bahkan akan terwariskan secara turun-menurun.

Dalam budaya masyarakat kita yang menjadikan kejahatan korupsi sebagai perilaku lumrah, maka kompetensi dan profesionalitas seorang aparatus akan terkikis oleh mentalitas korupsi yang marak terjadi diliingkungannya. Perilaku korup yang telah membudaya dalam suatu masyarakat akan menjadikan kejahatan korupsi semakin sulit untuk diberantas, patah tumbuh hilang berganti. Kondisi ini akan memunculkan budaya yang sakit. Bangsa yang memiliki budaya sakit dicirikan oleh adanya krisis akhlak, miskin kepercayaan, rendahnya kejujuran, langka kredibilitas, dan sebagainya.
Konstruksi budaya sakit ini jika tidak segera dibongkar, akan menjadi faktor pembenaran aparatus melakukan korupsi. “Sama-sama tahu” atau “diselesaikan dengan adat” atau “asal netes (kebagian)” merupakan bahasa simbol untuk melakukan pembiaran atau penyelesaian diluar hukum jika ada orang terdekat melakukan korupsi.


Sehatkan Budaya

Mengakarnya budaya korupsi menjadi cermin kepribadian bangsa tidak bermartabat. Faktor-faktor pemicu lahirnya disharmoni sosial seperti kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya bisa muncul akibat kejahatan korupsi ini. Ini kemudian yang menjadikan korupsi kayak disebut sebagai bahaya laten. Sumber-sumber dana pembangunan negara “diprivatisasi” aparatus untuk kepentingan pribadi atau segelintir orang tanpa memperdulikan bahwa perilakunya menjadikan sengsara jutaan rakyat.
Tanpa di sadari, praktik – praktik korupsi atau berbagai bentuk perilaku yang berpotensi melahirkan kejahatan korupsi telah membudaya di negeri ini seperti mengalir deras tidak bisa dihentikan.

Dalam kasus lain, sama halnya dengan partai politik yang merekrut seseorang menjadi calon kepala daerah atau anggota legislative hanya karena faktor kekayaan, menyisihkan kompetensi serta kredibilitas. Tentu hal ini sama saja menjadikan partai politik sebagai pendukung sirkulasi elit untuk dimenangkan politisi pragmastis yang akan menuntut modal politiknya secepatnya kembali.
Sama halnya pula dalam rekruitmen pegawai negeri sipil yang hanya mempertimbangkan kecerdasaan tanpa mengindahkan faktor moralitas dan komitmen pengabdian untuk rakyat. Ini sama saja mendukung munculnya birokratis elitis yang sulit “menyentuh” masyarakat. Birokrat seperti ini berkecenderungan lebih tega dalam menggunakan sebagian besar anggaran yang ada untuk belanja dan kesejahteraan pegawai dari pada untuk kesejahteraan masyarakat.


Ditengah ramainya kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, Kepala Daerah, dan sebagainya, kita sempat dihenyakan keberanian seorang ibu bernama Siami. Dalam ujian nasional di Sekolah Dasar Negeri Gadel II, Surabaya, Siami melaporkan terjadinya kecurangan ujian setelah anaknya diperintahkan guru memberikan contekan kepada siswa lainnya. Akibat keberaniannya, Siami dan keluarganya terusir dari rumahnya karena justru dianggap sebagai biang permasalahan yang menjadikan siswa lain berpotensi tidak lulus ujian.
Pengusiran warga terhadap keluarga Siami mencerminkan bahwa kejujuran belum diterima dalam budaya masyarakat kita yang masih memaklumi tindakan curang demi mencapai hasil yang menguntungkan dirinya. Dari mulai hal yang sederhana seperti inilah kasus-kasus korupsi yang besar terjadi di negeri ini.
Perintah guru dan amarah warga terhadap Siami juga menjadi bukti bahwa budaya kita sekarang ini memang sedang sakit. Sekalipun berniat baik agar semua siswa didiknya lulus ujian, tapi sikap seorang guru yang menganjurkan menyontek, sama saja bersikap menyuruh ketidak jujuran dilakukan anak didiknya. Menjadikan siswa dapat lulus tanpa harus belajar sama saja mematri otak siswa menjadi orang yang bisa melegalkan segala cara untuk mencapai keberhasilannya. Dalam skala yang besar, otak yang terpatri seperti ini menjadi embrio bagi perilaku korupsi





No comments: