25 November 2008

MENDING PILIH KECAP

Seperti sudah dapat diduga, jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 meningkat dibandingkan Pemilu 2004, kendatipun peningkatannya tidak sebanyak jumlah parpol dalam Pemilu 1999. Dalam Pemilu 1999, terdapat 48 partai politik peserta pemilu, dan lima tahun kemudian jumlahnya turun menjadi 24 partai politik. Kini, KPU telah menetapkan 34 partai politik sebagai peserta Pemilu 2009, plus 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dari ke-34 itu, 18 di antaranya adalah partai politik baru.

Sekalipun ini hingar bingar pemilu 2009 semakin santer terdengar dengan banyak menghiasi media massa, akan tetapi bagi Sri, pemudi lulusan SMA yang sehari-harinya menjadi pedagang asongan di bus AKAP, banyak atau sedikitnya partai yang tengah berkonflik tidak dia pedulikan karena tidak mungkin berpengaruh pada penghasilannya sebagai pedagang. Kepada Medium, Bahkan Sri mengakui dalam pemilu 2004 kemarin, dirinya tidak sempat menggunakan hak pilihnya karena harus berangkat bekerja. Sri juga membuka diri kalau saat pemilu 2004 kemarin hampir seluruh keluarganya tidak menggunakan hak pilihnya karena harus mencari nafkah.

Pendapat hampir senada disampaikan Ulen seorang pedagang kaki lima, menurutnya apapun yang sedang terjadi dalam jagat perpolitikan nasional menjelang pemilu, banyak sedikitnya parpol yang berkonflik tidak dirinya hiraukan. Banyak sedikitnya parpol yang berkonflik baginya tidak akan berpengaruh pada pendapatannya setiap hari. Dari paa untuk membuang waktunya untuk megikuti perpolitikan nasional baginya mendingan jualan untuk cari makan. ”Semakin banyak parpol yang ada, maka semakin bertambah banyak kecap yang dijual. Semua merk kecap mengaku yang terbaik, paling enak dan paling sedap. Tetapi yang namanya kecap yang pasti kalau rasanya gak manis ya asin” Tukasnya.

Menurut Ulen, mendingan masyarakat dari pada diberi banyak pilihan partai politik, dikasih kecap langsung saja yang betulan biar bisa buat memasak.

Tentang banyaknya konflik dan perpecahan dalam internal partai politik. Tika, mahasiswi ilmu politik semester akhir salah satu universitas ternama di Jakarta, berpendapat berbea dengan Sri dan Ulen. Bagi Tika, perpecahan dalam partai politik itu wajar karena partai politik adalah organisasi kepentingan. ”Sayangnya, pemain-pemainnya itu-itu saja mas. Die lagi, die lagi, cape dehhh….” Ungkapnya.

”Banyak partai baru yang didirikan oleh pentolan partai-partai lama. Sama halnya dengan konflik-konflik atau ketidakpuasan di dalam tubuh NGO, kalau tidak suka atau tidak dapat posisi yang diinginkan ya buat lagi yang baru.” Kilahnya

“Banyak partai-partai baru yang muncul dengan tujuan untuk menampung sebagian suara yang terkecewakan oleh partai-partai yang telah eksis. Tetapi kalau melihat karakter masyarakat Indonesia, bisa saja beberapa partai baru ini malah berpotensi menjadi lebih besar karena dapat menampung banyak pihak yang terkecewakan itu ya mas?” Tika menambahkan.

Terus apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan perpolitikan nasional menurut Tika?

”Untuk memperbaiki keadaan, saya akan mendirikan partai Golput, lumayan kan besar juga suara yang Golput. Bisa dapat banyak kursi tuh” Jawab Tika sambil tertawa manis dan kemudian berlalu dari diriku.

TENGGELAM LAGI, EEHH...... MUNCUL LAGI

Oleh Adhi Darmawan
Era reformasi yang diiringi dengan kemunculan demokrasi multi partai memang menjanjikan kebebasan individu yang lebih luas dibanding saat era orde baru, sayangnya urusan gugat menggugat partai politik, konflik, serta perpecahan sepertinya menjadi kelaziman yang kontraproduktif. Jika saat orde lama dan orde baru ada partai yang konflik hingga kemudian bubar atau kemudian muncul partai dari hasil fusi, akan tetapi semua itu terjadi oleh karena adanya tekanan dari penguasa. Berbeda dengan pembubaran dan kemunculan partai baru di era reformasi yang terjadi bukan atas tekanan penguasa, tetapi oleh karena konflik diinternalnya sendiri.
Dari hasil penelusuran yang saya lakukan, dalam sejarah pembubaran partai politik di Indonesia memang pernah menunjukkan bahwa benar pernah terjadi adanya pembubaran partai politik di Indonesia.
Dimulai dari masa Kolonial, pemerintah kolonial pernah membubarkan Indische Partij (IP). Visi, misi, program kerja, dan aksi-aksi dari IP yang kongret tidak mendukung pemerintahan Kolonial, bahkan menentang dan menuntut kemerdekaan bagi Hindia Belanda, membuat Partai ini menjadi most wanted oleh Pemerintahan Kolonial.
Pada tahun 1913, Gubernur Jenderal Idenburg membubarkan IP. Tiga serangkai (Triumvirat) pimpinan IP, masing-masing E.F.E Douwes Dekker, Suwardi Soeryaningrat, serta Tjipto Mangunkususmo.
Pemerintah Kolonial juga kemudian membubarkan Partai Komunis Indonesia dan sejak tanggal 23 Maret 1928 penguasa kolonial Belanda melarang partai tersebut melakukan kegiatan di Indonesia.
Pemerintah Kolonial juga melakukan penangkapan besar-besaran terhadap pemimpin Partai Nasionalis Indonesia yang dirasa sangat vokal dan memprovokasi rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan seperti Soekarno dan kawan-kawan. Peristiwa inilah yang memicu Mr. Sartono pada tanggal 11 November 1930 akhirnya membubarkan PNI.
Pada masa Demokrasi terpimpin, juga pernah terjadi pembubaran terhadap partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia yang dilakukan Presiden Soekarno melalui Keppres No. 200 Tahun 1960 tentang Pembubaran Partai Masyumi dan Kepres No. 201 Tahun 1960 tentang Pembubaran Partai Sosialis Indonesia. Latar belakang dari keluarnya Keppres ini adalah konstelasi politik yang sangat tinggi, yang kemudian mengakibatkan pimpinan kedua partai tersebut terlibat dalam peristiwa PRRI di Bukittinggi.
Pada masa orde baru, terjadi juga pembubaran partai politik akibat suatu pemberontakan yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia melalui G 30 S PKI. Akibat dari pemberontakan PKI yang dilakukan lagi di Indonesia, maka Partai Komunis Indonesia beserta organisasi lain yang bernaung dibawahnya, (termasuk ideologi Marxisme-Leninisme), kemudian dinyatakan terlarang.
Setelah terjadi pembubaran PKI, memang tidak terdapat pembubaran partai politik lagi, kecuali fenomena Partai Rakyat Demokratik yang juga dibubarkan oleh rezim berkuasa karna dianggap oposisi dan mengancam stabilitas pemerintahan dan keamanan.
Peristiwa seperti fusi parpol pada masa orde baru yang kemudian menyederhanakan sistem kepartaian dengan dua partai dan satu golongan karya, sesungguhnya memberikan dampak tersendiri dalam dunia kepartaian Indonesia. Sebab, fusi tersebut mengakibatkan partai politik menjadi kehilangan arah dan tujuan, dengan kata lain, fusi itu sebenarnya adalah cara halus orde baru untuk membubarkan partai

REPUBLIK MULTI PARTAI

Oleh Adhi Darmawan
Sampai tahun 2004, Pemilu di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak sembilan kali. Pemilu pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1955 yang diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
Pemilu pertama kali dilaksanakan ditengah konflik yang disebabkan oleh adanya gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin Kartosuwiryo. Anggota angkatan bersenjata dan polisi dalam pemilu ini juga memiliki hak pilih.
Saat itu, pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, Kepala Pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap. Pada tahap pertama, Pemilu diselenggarakan untuk memperebutkan 260 kursi DPR. Sedangkan pada tahap kedua dilaksanakan untuk memilih 520 anggota Konstituante, ditambah lagi ada 14 kursi wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia yang mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen).
Usai Pemilu 1955, Pemilu berikutnya tidak dilaksanakan pada tahun 1960 sesuai jadwal rutin tahunan dikarenakan pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.
Setelah tampuk kekuasaan beralih ke tangan orde baru, pada tanggal 5 Juli 1971 baru diadakan pemilu yang kedua dan diikuti oleh 10 partai politik. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, serta Partai Syarikat Islam Indonesia.
Dari 10 parpol yang ada, pada tahun 1975, melalui UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi dua parpol, masing-masing Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu golongan yaitu Golongan Karya.
Pemilu-Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang semuanya hanya diikuti oleh 2 parpol dan satu golongan tersebut. Semua pemilu tersebut dilaksanakan dibawah kontrol ketat pemerintahan orde baru sehingga semuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
Pemilu 1997 ini adalah Pemilu terakhir di era orde baru, sebab setahun berikutnya, Soeharto sebagai penguasa Orde Baru diturunkan secara paksa oleh mahasiswa dan rakyat yang dimotori oleh Prof Dr Amien Rais. Pasca orde baru lengser, Presiden RI dijabat BJ Habibie.
Setelah orde baru lengser, nafas demokrasi baru terasa benar-benar berhembus dengan diselenggarakannya Pemilu Ekstra Multi Partai pada tanggal 7 Juni 1999. Sebanyak 48 parpol saat itu menjadi kontestan dimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, dan PAN adalah 5 parpol yang memperoleh suara terbanyak. PDIP meraih suara terbanyak hingga 35 persen suara, hanya saja yang terpilih menjadi presiden bukanlah Megawati Soekarnoputri.

PETA KONFLIK PARPOL DI ARENA 2009


Oleh Adhi Darmawan

Bak tumbuhnya jamur di musim hujan, demikian pulalah pertumbuhan partai politik (parpol) di Indonesia di era reformasi. Setelah orde baru tumbang, perpecahan parpol terjadi di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dibawah kepemimpinan Soeryadi, yang melahirkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Usai itu, menyusulah perpecahan dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang melahirkan PPP reformasi, PKB, dsb. Tak hanya itu, peserta pemilu terkuat di era orde baru yang tidak ingin disebut parpol, tapi hanya ingin disebut golongan-pun turut serta pecah kongsi.

Sekalipun tidak semua dilatar belakangi oleh adanya konflik, yang pasti memasuki era reformasi, banyak elit politik di era orde baru mendirikan partai politik baru. Dalam pemilu tahun 1999, selain diikuti oleh tiga partai politik yang telah ada di era orde baru, hampir lebih dari 60 (enam puluh) partai politik baru terlahir. Melalui seleksi yang panjang, pun ada 48 parpol diantaranya resmi menjadi peserta pemilu.

Jika belajar pada situasi politik dalam pemilu 1955, mungkin perpecahan partai politik yang ada sekarang sangatlah masuk akal. Saat pemilu tahun 1955, sebanyak 172 parpol resmi menjadi kontestan pemilu Empat partai terbesar diantaranya yaitu PNI yang memperoleh suara 22,3 %, Masyumi 20,9%, serta Nahdlatul Ulama mendapat suara sebanyak 18,4%, dan PKI 15,4%.

Semakin mendekati pemilu 2009, suhu perpolitikan semakin memanas saja. Gesekan konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar partai, tapi juga di internal partai. Banyak partai baru yang berdiri bukan atas dasar ideologi, tapi atas dasar kepentingan dan produk konflik. Hampir semua partai besar seperti PDIP, Partai Golkar, PKB, PPP dsb pernah merasakan konflik internal yang sangat pahit.

Beberapa kasus konflik yang tengah menonjol adalah konflik kepengurusan DPP PKB antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar. Sekalipun dalam konflik tersebut sudah Cak Imin, berbagai upaya hukum tetap dilakukan sang paman. Putusan PTUN terakhir yang tidak mengabulkan semua gugatan Gus Dur pada Cak Imin dan seterunya rupanya tidak dapat meredakan konflik yang ada. Rupanya, Gus Dur masih melaporkan Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy ke Mabes Polri.

Tak kalah serunya dengan PKB, Partai Golkar pun demikian. Dibawah kepemimpinan Jusuf Kalla, Partai Golkar terus dirongrong oleh kader-kader potensialnya yang membangkang.

Yuddy Chrisnandy, Doktor Ilmu Politik jebolan Universitas Indonesia yang kerap dianggap sebagai kader pembangkang, akhirnya mengundurkan diri dari pencalegan di Partai Golkar. Anggota Fraksi Partai Golkar di DPR ini geram namanya tidak bertengger di nomor urut atas pada daftar caleg Golkar di dapil Jawa Barat. Dia menuding Tim 5 yang dibentuk DPP Partai Golkar telah menjegal langkahnya sebagai kader muda potensial yang kritis.

Setelah masalah Yuddy mulai meredup, muncul Fadel Muhammad. Gubernur Gorontalo itu merasa dikecewakan oleh petinggi yang berlambangkan pohon beringin. Awalnya, Fadel berniat mencalegkan diri dan telah didukung oleh elit partai, namun akhirnya dia harus mundur dengan teratur karena ternyata elit Partai Golkar tidak mencantumkan namanya didaftar caleg.

Tak hanya sekedar konflik biasa, akan tetapi konflik yang ada telah menjadikan para petinggi di pohon beringin telah beramai-ramai mendirikan partai baru. R. Hartono, Prabowo Subianto, Wiranto, dsb telah berduyun-duyun mendirikan partai baru yang siap menggembosi Partai Golkar. Ditingkat kabupaten/kota-pun, banyak pengurus Partai Golkar yang berduyun-duyun lompat pagar menjadi caleg untuk parpol lain.

Bagi partai Golkar, mungkin hanya keajaibanlah yang membantunya hingga sampai sekarang masih bisa bertahan dan eksis. Golkar sangat beruntung disaat memasuki pemilu 1999 dipimpin oleh Ir Akbar Tandjung sebagai Ketua Umumnya yang kemudian merubah nama partai tersebut menjadi Partai Golkar. Tak hanya dapat bertahan dari tuntutan aksi pembubaran, dibawah kepemimpinan Akbar Tandjung, Partai Golkar tetap memperoleh suara yang sangat signifikan. Sebuah perolehan suara parpol yang terancam ibubarkan tapi tetap memperoleh suara yang besar, sangat jauh diluar dugaan.

Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kasus jual beli nomor urut caleg yang diungkap bekas calegnya Bahrudin Dahlan juga masih berpotensi menjadi bom waktu. Sempat muncul rumor pula bahwa Sekjen DPP PPP, Irgan Chairul Mahfiz dipecat oleh Ketua Umum, Suryadharma Ali.

Perlombaan saling sikut di internal partai bukan hanya terjadi di PKB, Partai Golkar dan PPP. PDIP juga pernah merasakan sakitnya disikut oleh Agus Condro, kadernya sendiri yang saat itu tengah bercokol di Komisi II DPR RI.

Dibawah kepemimpinan Sutrisno Bachir, PAN juga pernah dirongrong kadernya gara-gara banyak para caleg artis ditempatkan dinomor urut atas, sementara kadernya sendiri yang pernah lelah banting tulang turut membesarkan partai hanya di tenggerkan dibawah nomor para artis.

Pelaksanaan Pemilu 2009 tinggal menghitung hari lagi, dari sekarang seharusnya para aktivis parpol sudah saling merapatkan barisan untuk menghadapi pertarungan. Namun anehnya, kebanyakan dari mereka malah sibuk dan panas di internalnya sendiri. Sungguh merupakan sajian yang menarik, itulah tontonan yang diberikan para politisi menjelang pemilu 2009.

Tentang hal ini, MHR Shongge, Peneliti CIDES, kepada Medium mengatakan bahwa adanya konflik yang ada dalam tubuh parpol sekarang polanya hampir sama, selain konflik itu disebabkan oleh individu, biasanya konflik yang muncul dalam partai itu disebabkan oleh gesekan masing-masing struktur organisasi yang menjadi cikal bakalnya. Dalam gesekan konflik yang ada di Partai Golkar selain karena adanya gesekan kepentingan individu, maka yang menyebabkan konflik biasanya karena adanya ego organisasi dari masing-masing kino yang mendukungnya seperti SOKSI, MKGR, dan Kosgoro.
Menurut Harun, di PDIP juga sama, selain seringkali konflik disebabkan oleh individu, seringkali konflik disebabkan oleh ego sektoral masing-masing partai yang menjadi cikal bakal PDIP sendiri. PDIP terbentuk dari lima partai di era orde lama seperti pertama, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Bung Karno dengan mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme dan kemudian banyak disebut ideologi Marhaenisme. Kedua, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), sebuah partai yang didirikan dari hasil penggabungan partai-partai Kristen lokal seperti PARKI (Partai Kristen Indonesia) di Sumut, PKN (Partai Kristen Nasional) di Jakarta dan PPM (Partai Politik Masehi) di Pematang Siantar. Ketiga, Partai Katolik, sebuah partai yang merupakan kelanjutan atau sempalan dari Katolik Jawi, yang dulunya bergabung dengan partai Katolik. Keempat, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), yang merupakan partai yang didirikan terutama oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi dan UUD 1945 sebagai cirinya. Yang kelima adalah partai Murba, sebuah partai yang dibentuk Tan Malaka setelah keluar dari penjara, hasil gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka
”Sekalipun yang menimbulkan gesekan konflik dalam tubuh PDIP adalah kepentingan pribadi para politisinya, akan tetapi bias latar belakang partai di PDIP juga seringkali menjadi pemicunya” Ucap Harun dengan serius.
Adanya faktor ego individu dan ego latar organisasi yang dilihat Harun juga hampir sama dengan yang dilihat Alfan Alfian dalam mengamati perkembangan konflik PKB. Dalam catatan politiknya, pengamat politik Universitas Nasional Jakarta ini melihat faktor individu sebagai penyebab gesekan konflik.

Dalam pandangan Alfan, ada dua wajah dalam sosok Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yakni wajah kultural dan politik. Dalam wajahnya yang kultural, ia dikenal sebagai sosok yang sering bicara tentang pluralisme dan mampu membuat banyak spektrum masyarakat terkesima oleh pandangan-pandangan nya. Wajah satunya adalah wajah politik. Di era reformasi, wajah kultural Gus Dur tenggelam ke dalam wajah politiknya. Ia mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ikut pemilu, tenggelam dalam manuver-manuver politik, pernah menjadi presiden, berkonflik dengan anak-anak buahnya, termasuk yang terakhir dengan PKB kubu Muhaimin Iskandar”

Tidak hanya Partai Golkar, PDIP dan PKB, dari sisi sejarahnya, semua partai hampirlah sama, bisa jadi sebuah partai berdiri dari beberapa partai lama yang berfusi seperti PDIP, bisa jadi pula politik hampir sama sejarah berdirinya

Pada masa era reformasi ini, kasus PKB menjadi contoh menarik dimana sebuah partai yang berbasis masa jelas dari wadah Nahdlatul Ulama, tetapi selalu dirundung konflik yang tak berkesudahan dan selalu terancam pecah hanya karena adanya konflik internal partai sendiri.

10 November 2008

Posisi Pemuda Dalam Konstelasi 2009

Oleh Adhi Darmawan

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia rutin memperingati hari raya Sumpah Pemuda. Pada setiap tanggal itu pulalah lantunan bait Soempah Pemuda ramai didentumkan. Sumpah Pemuda merupakan sumpah setia hasil rumusan rapatPemuda Pemudi Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Kongres Pemuda II. Sumpah tersebut dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai "Hari Sumpah Pemuda".
Tepat tanggal 28 Oktober 2008 kemarin, genap delapan puluh tahun sudah peristiwa Kongres Pemuda II itu berlalu. Hampir bertepatan dengan peringatan itu pula, dua peristiwa lain terjadi.
Pertama, melalui menteri Pemuda dan Olahraga, Adyaksa Dault, pemerintah menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepemudaan. Dalam RUU tertulis bahwa batas orang disebut sebagai pemuda jika masih berusia dibawah 35 tahun. Ketentuan ini memunculkan pro dan kontra, karena sebagian kelompok pemuda yang telah berusia lebih dari 35 tahun tetapi masih punya syahwat berkuasa diberbagai organisasi kepemudaan terancam eksistensinya.
Apa yang disampaikan oleh Menpora bukan tanpa alasan, menurutnya ini terkait dengan regenerasi kapan seseorang harus berkiprah di organisasi kepemudaan, dan kapan harus keluar dari organisasi itu. Bagi para aktivis kepemudaan yang telah berusia diatas 35 tahun disebut bukan pemuda karena menyangkut eksistensi dirinya sebagai manusia biasa. Jika dibuat batasan 35 tahun maka diatas usia ini seseorang harus menerima dirinya bukan lagi muda sehingga harus berkiprah didunia lain, sehingga kala memasuki usia 60 tahun masih punya waktu untuk istirahat, serta lebih mendekatkan diri pada aktifitas-aktifitas religius.
Alasan Menpora cukup masuk akal memang. Logikanya, jika ada seorang pemuda yang beraktifitas didunia organisasi kepemudaan, maka jika sudah melewati batas usia 35 tahun mengharuskannya berkiprah di wadah lain seperti partai politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, dsb
Kedua, sebanyak 11.301 orang calon anggota legislatif (caleg) DPR RI, dan 1.116 orang calon anggota DPD RI, telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai daftar caleg tetap (DCT) yang akan bersaing memperebutkan kursi pada pemilu 2009 nanti.
DCT DPR dan DPD tersebut ditetapkan KPU dalam rapat pleno terbuka yang dihadiri segenap perwakilan yang berasal dari 48 partai politik (parpol). Dari angka DCT DPR RI sebanyak 11.301 orang itu, jumlah caleg laki-laki sebanyak 7.391 dan caleg perempuan sebanyak 3.910. Jika dihitung maka persentase caleg perempuan sama dengan 34,6% dari angka total DCT.
Pada pemilu 2009 nanti, partai politik seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Golkar, dan Partai Demokrat menggunakan mekanisme perolehan suara terbanyak untuk menentukan calegnya yang terpilih dari setiap daerah pemilihan yang ada. Azas keadilan dan pemerataan kesempatan bagi semua calegnya untuk bisa terpilih disetiap daerah pemilihannya rupanya ingin dikedepankan oleh partai ini.
Sekalipun demikian, bagi sebagian orang penempatan nomor urut yang diberikan oleh partai politik terhadap calegnya tetap menjadi ukuran sejauh mana orang tersebut dihargai dan diprioritaskan terpilih oleh partainya. Inilah mungkin yang menyebabkan salah satu caleg dari partai Golongan Karya, Yuddy Crisnandi, mengundurkan diri dari pencalonannya lewat partai berlambang pohon beringin ini karena ditempatkan di nomor urut agak buncit.
Jika diprosentasekan, tak hanya Yuddy, hampir banyak pemuda (yang berusia dibawah 35 tahun menurut Menpora) memperoleh nomor urut agak buncit, setengah buncit, atau maha buncit. Nomor urut langsing (pertama) diberikan pada caleg yang usianya diatas 35 tahun.
Penghargaan yang diberikan para tokoh tua kepada tokoh muda dipartai politik masih sangat rendah. Rupanya, peringatan sumpah pemuda hanya menjadi kebiasan tak bermakna (ritual formalistic). Sekalipun menggunakan mekanisme suara terbanyak dan memasukan mayoritas pemuda sebagai calegnya, akan tetapi keberadaan pemuda dipartai politik masih terlihat diposisikan sebagai penarik massa dan pekerja politik untuk mendulang suara, belum diposisikan sebagai pengambil kebijakan. Faktor kekayaaan materi terasa masih mendominasi dalam pemilu 2009 nanti. Dalam posisi ini, pemuda butuh kerja keras yang luar biasa agar bisa terpilih dalam pemilu 2009 nanti, kerja-kerja politik dan strategi kampanye tidak berbasiskan dana besar rupanya sebuah alternatif yang harus dicari kaum muda agar dapat memenangkan kampanye.

05 November 2008

Penyederhanaan Partai.


Oleh Adhi Darmawan

Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 tinggal menyisakan waktu beberapa hari lagi. Sebanyak tiga puluh empat partai telah resmi menjadi kontestan pemilu 2009 nanti. Saat detik-detik seleksi partai untuk menentukan partai yang layak atau tidak untuk menjadi peserta pemilu, terjadi perdebatan sengit tentang perlu dilakukannya penyerdehanaan partai ataukah tidak. Tapi kini rupanya, usulan penyederhanaan partai sudah tidak hangat lagi di bicarakan, padahal ini sangatlah penting. Beberapa saat lalu, usulan penyerdehanaan partai muncul terutama dari partai-partai besar seperti, Partai Golkar dan PDI P.
Sejak Pemilu 1999, Indonesia sebenarnya sudah memberlakukan desain kelembagaan untuk membangun sistem multipartai terbatas melalui electoral threshold. Dalam literatur mengenai sistem pemilihan, threshold berarti dukungan suara minimal yang harus dimiliki oleh partai atau seseorang untuk memperoleh kursi di parlemen. Mekanisme demikian dimaksudkan untuk menciptakan sistem perwakilan dan kepartaian yang stabil.
Dengan alasan tersebut, ide penyederhanaan parpol adalah sebuah kebutuhan mendesak guna menciptakan sistem multipartai terbatas. Pertanyannya adalah, bagaimana cara penyederhanaan parpol tanpa harus melanggar prinsip-prinsip demokrasi? Agar penyederhanaan parpol ini tidak terkesan dipaksa maka diperlukan rekayasa politik sedemikian rupa sehingga partai politik yang dapat mengikuti pemilu adalah parpol yang sudah terseleksi oleh rakyat.
Dalam konsep rekayasa politik ini, electoral threshold sebagaimana diterapkan di Jerman dan Polandia dapat dijadikan rujukan. Threshold harus dipahami sebagai batas minimal perolehan suara suatu parpol untuk memperoleh kursi di parlemen. Pemahaman threshold seperti ini berimplikasi pada upaya untuk membangun koalisi bahkan oposisi, dalam pemerintahan akan mudah dilakukan. Implikasi lainnya adalah, secara tidak langsung dan dalam jangka panjang, pemahaman threshold seperti ini dapat mengurangi jumlah partai.
Pengertian threshold di Indonesia selama ini dipahami sebagai seleksi partai-partai yang berhak mengikuti pemilu berikutnya. Pemilu 1999, angka threshold 2 persen dari perolehan kursi di parlemen. Dari batasan yang demikian hanya enam parol yaitu PDIP, Golkar. PKB,PPP, PAN, PBB yang berhak mengikuti Pemilu 2004. Sedangkan Pemilu 2004 angka threshold dinaikkan menjadi 3 persen dari perolehan kursi di parlemen. Partai yang tidak mencapai angka threshold tetap diperbolehkan mengikuti pemilu berikutnya asal bergabung dengan partai lain atau membentuk partai baru dengan nama yang berbeda sepeti yang dilakukan PKS. Dari dua kali pemilu yang terselenggara, tergambar bahwa threshold yang dipahami di Indonesia telah gagal membentuk sistem kapartaian yang akuntable, efektif dn efisien. Sebagai titik balik itu semua, adalah masuk akal jika ada ide mengenai penyederhanaan parpol.
Keinginan menyederhanakan parpol di Indonesia sebenarnya sudah digagas menjelang Pemilu 1971. Buku Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999 menyatakan, pembahasan undang-undang kepartaian, keormasan, dan kekaryaan yang memuat syarat organisasi yang bisa ikut pemilu memang dibatalkan oleh DPR-GR. Meski demikian, sejalan dengan kebijakan penyederhanaan jumlah partai, pemerintah membatasi peserta pemilu hanya sembilan partai politik dan Golkar. Barulah pada pemilu lima tahun berikutnya, penyederhanaan itu bisa dilakukan. Tetapi, penyederhanaan yang diprakarsai pemerintah itu dilakukan tidak secara alamiah dan tanpa memperhatikan hasil pemilu. Penyederhanaan dimulai melalui konsensus dengan penggabungan atau fusi sembilan parpol peserta Pemilu 1971. Hasilnya, mulai Pemilu 1977, tercatat hanya tiga peserta pemilu, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Kondisi ini bertahan hingga lima pemilu sampai tahun 1997.
Kondisi berubah cepat setelah reformasi mengantarkan pada Pemilu 1999. Parpol baru bertumbuhan seolah cendawan di musim penghujan. Data Litbang Kompas menyebutkan, parpol yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman tercatat sejumlah 141 parpol. Yang kemudian mendaftarkan diri ke Lembaga Pemilihan Umum (LPU) untuk menjadi peserta Pemilu 1999 sebanyak 106 parpol. Dari jumlah itu, yang dinyatakan layak verifikasi sebanyak 60 parpol. Berdasarkan hasil verifikasi Tim-11 yang diumumkan pada 4 Maret 1999 di Gedung LPU direkomendasikan 48 parpol sebagai peserta Pemilu 1999. Penetapan ke-48 parpol sebagai peserta Pemilu 1999 dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Lembaga Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 1999.
Dengan syarat yang ketat, keinginan parpol untuk berpartisipasi tidak juga surut. Pada Pemilu 2004, sebanyak 112 parpol mendaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Masuk ke KPU, jumlahnya turun menjadi 50 parpol. Dari jumlah itu, hanya 24 parpol yang bisa ikut sebagai peserta Pemilu 2004. Dengan acuan sekurang-kurangnya mendapat 3 persen jumlah kursi DPR, praktis hanya 7 parpol yang langsung menjadi peserta Pemilu 2009 mendatang.
Menurut Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Pramono Anung dalam diskusi Dialektika Demokrasi RUU Sistem Pemilu 2009 Menuju Demokrasi Yang Berkualitas di Jakarta Media Centre, Jakarta, beberapa waktu yang lalu, banyaknya parpol yang maju pemilu hanya akan membuang tenaga, karena setiap parpol akan menyodorkan agendanya masing-masing. Dengan sistem presidensial penyederhanaan parpol akan dapat menunjukkan efisiensi secara nasional, sehingga parpol akan lebih fokus dalam menyelesaikan masalah internal partai dan kenegaraan.
Sementara menurut Arbi Sanif, pengamat politik Universitas Indonesia (UI), dengan adanya penyederhanaan partai bukan berarti jumlah partai harus dibatasi tapi yang penting sistemnya. “Sistem itu menggambarkan kerjasama partai, wujudnya adalah koalisi. Dalam sistem multi partai, maka sistem koalisi yang dipakai. Dengan adanya koalisi besar, sehingga partai terkelompok ke dalam dua atau tiga kelompok. Di Indonesia, Yang kita butuhkan dua kelompok koalisi, yang satu mendukung pemerintah, yang satunya sebagai oposisi untuk mengontrol presiden” tuturnya. Menurutnya, Negara kita belum menjalankan sepenuhnya system pemerintahan presidensial yang kita anut. Dalam sistem presidensial hanya dua kekuatan yang dibutuhkan, dan di DPR seharusnya hanya ada dua partai koalisi. Karena kalau banyak kekuatan maka sistem pemerintahan kita akan rusak
Sebelumnya, Partai Golkar mengusulkan agar rasionalisasi jumlah parpol peserta pemilu bukan dengan pelarangan melainkan dengan menaikkan secara bertahap ambang batas perolehan suara. "Dengan cara ini, konstituen yang menentukan berapa jumlah parpol yang layak ikut pemilu. Tidak dengan pelarangan pendirian parpol karena cara seperti ini tidak demokratis," kata Ketua DPP Partai Golkar Andi Mattallata.
Menurut Andi, dalam ketentuan UU Parpol dan UU Pemilu yang lama, batas minimum perolehan suara parpol yang boleh ikut adalah tiga persen. Saat ini Partai Golkar menggagas untuk menaikannya menjadi lima persen. Usulan ini pun didukung oleh oleh partai-partai yang notabenenya selama ini punya masa besar, seperti PDIP dan PKB. Alasan kedua partai ini bukan karena ingin membunuh partai-partai kecil. Tapi untuk meningkatkan kinerja wakil parpol di parlemen dan terciptanya sistem presidensial yang sehat.
Sejumlah penelitian, memang membuktikan kalau jumlah partai terlalu banyak membuat presidennya menjadi minoritas dan kurang dukungan dari parlemen. Seperti banyak terjadi di Amerika Latin. Tapi apakah cara penyederhanaan partai itu harus meniru cara-cara Orde Baru yang memaksakan fusi? Atau dengan menaikkan electoral threshold (ET) atau ambang batas perolehan suara yang dinilai karena kepentingan partai besar untuk membunuh kompetitornya?
Direktur Eksekutif Pusat Reformasi Pemilu (Cetro), Hadar Navis Gumay, mengatakan pembatasan partai sebaiknya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas partai. Alih-alih meningkatkan kualitas, Hadar melihat upaya meningkatkan ET hanya upaya proteksi partai-partai besar untuk mengurangi saingan.

Indra J Piliang : KPK dan Pemerintah Institusi yang Berbeda


Beberapa waktu kemarin, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menimbulkan efek samping yang berujung pada terganggunya perekonomian kita. Alasan yang disampaikan Jusuf Kalla yaitu banyak pejabat takut membuat keputusan untuk pengeluaran uang. Terkait hal ini, saya sempat melakukan obrolan dengan Indra J. Piliang, pengamat politik. Berikut petikannya :

Adhi :
Bagaimana pendapat anda tentang pernyataan Jusuf Kalla?

Indra :
Oh tidak, sebetulnya kalau saya melihat, Pak Jusuf Kalla justru malah mendukung dan senang dengan adanya fenomena pejabat yang takut dengan KPK ini. Artinya, langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK ini talah berdampak baik karena telah berhasil mengadakan perubahan-perubahan pada budaya masyarakat. Termasuk budaya takut korupsi ini.

Adhi :
Apakah anda setuju kalau keberhasilan KPK adalah keberhasilan pemerintahan SBY-JK juga dalam memberantas korupsi?

Indra :
Persoalannya kan dampak perubahan budaya masyarakat takut melakukan korupsi, seperti misalnya pejabat yang takut mengerjakan proyek tender, pencairan anggaran pembiayaan proyek, dsb, itu kan sudah diluar fungsi KPK. Masalah perubahan sikap masyarakat seperti ini. Pejabat birokrasi pemerintah, (termasuk SBY-JK juga aparat pemerintah) dengan KPK ini kan dua institusi yang berbeda, KPK hanyalah sebuah komisi tersendiri yang bertugas khusus untuk memberantas korupsi, jadi bukan merupakan bagian dari birokrasi.Saya merasakan mungkin justru kepedulian bangsa Indonesia ini yang kurang terhadap pelaksanaan kinerja birokrasi yang bersih bebas korupsi, atau juga karena belum terbiasa dengan adanya komisi khusus yang mengawasi masalah korupsi, sehingga mereka menjadi lebih berhati-hati jika menjadi pimpinan proyek tanpa merasa setelah menjadi pimpinan proyek tersebut kemudian akan dijadikan tersangka. Asal melaksanakan proyeknya sesuai dengan aturan yang benar dan tidak melakukan korupsi seharusnya pejabat tidak perlu khawatir atau takut.

Adhi :
Tapi mengenai pejabat yang khawatir kinerjanya di awasi KPK, sehingga hasilnya tidak maksimal karena terasa tertekan?

Indra :
Ya tentu itu yang khawatir seperti itukan hanyalah pejabat-pejabat yang korup atau berniat korup, itu saja. Memang yang namanya sock terapi ya begitu, harus ada yang takut, kalau tidak ada yang takut bukan sock terapi namanya, kalau dipermasalahkan ada yang khawatir atau ketakutan seperti itu sama saja tidak perlu ada KPK kan?

Adhi :
Dengan banyaknya yang khawatir kinerjanya diawasi, apakah artinya kinerja KPK sudah berhasil?

Indra :
Kalau dari prestasinya KPK menurut saya tidak hebat-hebat amat. Dari sekitar sepuluh ribu kasus saja paling hanya beberapa puluhan yang sampai selesai diadili. .Cuma kalau kinerja KPK selama ini mempengaruhi kinerja pejabat dari fakta yang diungkapkan oleh pak Jusuf Kalla diatas ya artinya memang ada, tapi ya tidak semuanya menjadi takut, kalau pejabat-pejabat yang bersih ya pasti tidak takut.

Adhi :
Tapi mengenai pernyataan JK bahwa dalam kinerja pemberantasan korupsi kita ada efek samping, misalnya banyak kredit dari bank yang tidak dicairkan?

Indra :
Menurut saya bukan seperti itu, kalau JK memang mengeluarkan pernyataan seperti itu justru tidak masuk akal. Pemerintah daerah sekarang ini menurut saya banyak yang menanamkan uangnya di bank Indonesia lebih karena alasan ekonomi. Dimana jika mereka hitung menanamkan modalnya di Bank Indonesia lebih menguntungkan dari pada langsung digunakan dibawah gitu. Dimana di bank Indonesia mereka mendapatkan bunga secara langsung setiap bulannya, mereka beranggapan itu lebih efektif dari pada mereka mengeluarkannya untuk kepentingan proyek yang belum jelas ujung pangkal hasil pelaksanannya. Jadi tidak ada kaitannya sama sekali dengan KPK.

Satu hal lagi yang pasti, KPK itu lembaga komisi khusus Negara, jadi bukan lembaga Negara. Saya melihat KPK lebih banyak berperan dalam pemberantasan korupsi ketimbang pemerintah itu sendiri. Citra pemerintahan SBY sangat terbantu dengan adanya KPK. Kendala yang mereka miliki yaitu terkait masalah politik, dimana yang dibutuhkan KPK adalah dukungan politik dari semua pihak, termasuk pemerintah itu sendiri dan seluruh elemen masyarakat.

KH. Sholahudin Wahid : Masih Banyak Korupsi di Birokrasi


Selepas dari kesibukannya maju dalam bursa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dalam pemilu 2004 mendampingi Wiranto yang diusung partai Golkar, Gus Sholah, panggilan akrab KH. Sholahudin Wahid, masih tetap semangat mengamati berjalannya pemerintahan SBY-JK. Saya sempat ngobrol dengan beliau tentang kepengurusan SBY-JK, disela-sela kesibukannya menjalankan aktivitas sehari-hari. Berikut petikannya:

Adhi :
Bagaimana anda melihat berjalannya pemerintahan SBY-JK selama 2 tahun?

Gus Sholah:
Ya, saya melihat kinerja berjalannya pemerintahan SBY-JK selama 2 tahun belum menunjukan kinerja yang membanggakan. Semuanya berjalan dengan banyak keraguan dan belum total. SBY menjadi presiden dalam pemilihan langsung, secara politis, SBY lebih kuat dalam mengeluarkan kebijakan dan melakukan sesuatu, tetapi kesempatan itu tidak dilakukan oleh SBY-JK untuk melakukan perubahan signifikan disegala bidang dan menunjukan kinerja yang maksimal. Dalam permberantasan korupsi, saya awalnya optimis ketika baru dibentuk KPK, tetapi dalam perjalanannya sampai sekarang yang terlihat pemberantasan korupsi secara tebang pilih. Banyak kasus-kasus korupsi besar yang sampai sekarang tidak diberantas, seperti kasus-kasus korupsi yang melanda Depdiknas, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Kesehatan dan lain-lain.

Adhi :
Selain korupsi?

Gus Sholah:
Kasus illegal loging juga masih banyak terjadi, masih banyak juga perusahaan-perusahaan yang tidak jelas mendapatkan HPH. Belum lagi kasus pertambangan yang banyak di uangkapkan oleh Amien Rais, itu juga tidak ditindak lanjuti.

Adhi :
Bidang Ekonomi?

Gus Sholah:
Tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya, tetapi rasanya SBY-JK belum menunjukan kinerja dalam bidang ekonomi kearah sana. Masih besar angka kemiskinan dan pengangguran yang juga bertambah. Kebijakan-kebijakan ekonominya belum menyentuh kearah bawah yang seharusnya diutamakan.

Adhi :
Bagaimana dengan sisa waktu mendatang, anda pesimis?

Gus Sholah:
Bukan berarti pesimis, setiap pemerintahan punya visi, misi, dan program-program yang akan dilakukan. Program-program SBY-JK pada waktu kampenye cukup bagus, tapi memang pelaksanaannya sampai sekarang masih jauh dari yang diharapkan. Dengan kinerja yang seperti ini, saya yakin saja semua program-programnya tidak semua dapat terlaksana sampai akhir jabatan

Semua yang diagendakan kerjakan jangan ragu, termasuk melakukan reformasi birokrasi. Agenda apapun tidak mungkin terlaksana dengan birokrasi yang jelek seperti sekarang. Termasuk lakukan resuflle pada 8 atau 9 menteri sekalian yang tidak mampu kerja. Jangan hanya 1 atau 2 menteri saja.

04 November 2008

Belajar Dari PLTN Jepang dan Korea


Oleh Adhi Darmawan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah Negara yang sangat luas dan besar dengan perkiraan jumlah penduduk mencapi 220 juta jiwa ditahun 2007 ini, yang merupakan terbesar ke empat di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat.

Banyaknya jumlah penduduk Indonesia berpengaruh pada tingginya kebutuhan akan penggunaan energi listrik, mulai dari industri skala besar sampai dengan rumah tangga sehari-hari.

Ketersediaan energi listrik kita sekarang ini sangat terbatas, hal ini terlihat dari banyaknya kasus pemadaman listrik di sejumlah kota besar setiap hari secara bergiliran. Roda perekonomian di sejumlah kota besar yang mengalami pemadaman listrik tersebut sontak mati. Tak terbayangkan berapa milyar rupiahkah masyarakat setempat merugi akibat matinya aliran listrik selama beberapa bulan.Alasan Perusahaan Listrik Negara masih klasik, yaitu sekitar sangat minimnya pasokan energi yang ada. Oleh karena keterbatasan energi listrik tersebut, maka diperlikan energi listrik dari sumber lain, diluar dari sumber listrik tenaga air yang selama ini dipakai. Energi nuklir, panas matahari, atau energi listrik sumber lainnya jelas sangat diperlukan.

Dalam upaya pemanfaatan energi listrik nuklir (PLTN), pemerintah, melalui kementrian Riset dan Teknologi telah menunjuk beberapa kelompok masyarakat untuk mempelajari dan melihat dari dekat bagaimana PLTN dibangun, bagaimana keamanannya, reaksi masyarakat sekitar, manfaatnya terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat, serta dampaknya terhadap lingkungan. Kunjungan ke Korea dan Jepang dilaksanakan pada tanggal 23 Juli – 2 Agustus 2007. Ada 16 (enam belas) orang yang ikut dalam kunjungan tersebut.

Korea dan Jepang merupakan dua negara pengembang PLTN yang secara geografis paling dekat dengan Indonesia dibanding negara pengembang PLTN lainnya. Kedua negara tersebut juga sama dengan Indonesia, sebagai negara yang rawan gempa.

Setelah berdiskusi dengan berbagai pihak di Korea dan Jepang, dapat disimpulkan bahwa modal dasar dua negara tersebut dalam mendirikan reaktor nuklir untuk PLTN adalah kemauan pilitik (political will) yang kuat dan serius dari pemerintah terutama Presiden yang di ikuti dengan sinkronisasi langkah diantara pihak yang paling bertanggung jawab dan terkait secara langsung dalam pembangunan PLTN. Termasuk di dalamnya Pemerintah Daerah Tingkat I dan II. Selanjutnya pemerintah harus bersungguh-sungguh melakukan komunikasi dan menjalin kerjasama saling menguntungkan dengan negara-negara yang telah mempunyai pengalaman dalam membangun PLTN, baik negara-negara di Asia, Eropa, Australia, maupun Amerika Serikat.

Dalam proses pendirian PLTN, pemerintah Korea dan Jepang memulai langkah dengan melakukan dialog dan memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang PLTN secara terbuka dan jelas sehingga masyarakat benar-benar mengerti apa manfaat dan mudlarat PLTN.

Pemerintah Korea dan Jepang sangat bangga sekali atas kemampuan mereka dalam membangun PLTN dengan jumlah banyak. Sampai saat ini Korea sudah membangun 22 unit PLTN, sementara Jepang telah mampu mengoperasikan dengan baik 55 Unit PLTN.

Setelah melihat secara langsung beberapa unit PLTN di Korea dan Jepang, nampak jelas sekali bahwa PLTN di dua negara tersebut di dirikan denga standar keamanan yang baik, dari aspek teknologi yang digunakan maupun bangunan fisik PLTN. Bahkan dengan konstruk bangunan PLTN yang kokoh dan kuat mampu menahan goncangan gempa dibawah 8 skala richter. Jaminan keamanan PLTN ditunjang dengan reaktor kontrol yang apabila terjadi masalah (trouble) maka PLTN akan mati secara otomatis (outomatic shut down).

Yang dilakukan pemerintah Korea dan Jepang ketika pertama kali membangun PLTN, adalah menjalin kerjasama dengan negara yang lebih dahulu membangun PLTN seperti Amerika, Perancis, Inggris, dan lain-lain. Namun seteleh 15 tahun kegua negara tersebut telah mampu mengoperasikan PLTN dengan 100 % tenaga ahli dalam negeri. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa transfer of technology berjalan dengan baik dan lancar.

Mengutip pernyataan Wakil Menteri Perdagangan Industri dan Energi Korea dan Jepang, Mr. Dr. Lee Jae Hoon dan Mr. Yoshifumi Miyamoto bahwa beberapa alasan mengapa memilih PLTN sebagai energi listrik karena PLTN sangat efisien, murah pembiayaannya, ramah lingkungan, dan yang terpenting dapat mengurangi pemanasan global karena kadar CO2 yang lebih rendah. (sedikit diatas energi matahari, akan tetapi lebih murah pembiayaannya).

Tidak salah kemudian sindiran yang dikemukakan James Lovlock, seorang ahli lingkungan terkemuka, bahwa ”Orang-orang yang tidak menyetujui pemanfaatan energi nuklir hanya didasarkan pada ketakutan yang tidak masuk akal karena dipengaruhi oleh film-film fiksi Hollywood”. Jika kita cermati sindiran tersebut, masuk akal memang, sebab Amerika Serikat kurang suka negara lain membangun PLTN, sementara negaranya sendiri terus mengembangkannya. Membuat cerita film yang selalu menyeramkan tentang nuklir adalah jalan yang dimbilnya, agar negara lain tak mengikutinya. Adalah pilihan bagi negara kita membangun PLTN ataukah memberikan derita bagi ribuan warga kota yang terkena dampak pemadaman listrik bergilir?

Untung Rugi Proporsional Terbuka

Para fungsionaris partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 telah menyerahkan daftar calon legislatif (caleg) di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.

Dari sekian banyaknya parpol peserta pemilu, ada beberapa parpol yang menerapkan sistem perolehan suara terbanyak —atau dengan sistem proporsional terbuka— untuk menentukan caleg yang berhak duduk sebagai wakil rakyat dari partainya.

Partai-partai tersebut lebih mematok suara terbanyak yang diperoleh seorang caleg dan mengesampingkan nomor urut seperti yang biasa digunakan pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Beberapa parpol tersebut di antaranya Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Partai-partai besar itu telah menegaskan dirinya akan menggunakan sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut.

Bursah Zarnubi, sang Ketua Umum PBR, serta Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga menjadi Ketua Umum Partai Golkar menyatakan partainya akan menggunakan suara terbanyak. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rupanya juga telah tertarik dan mendukung penggunaan sistem tersebut.

Langkah parpol-parpol tersebut berbeda dengan ketentuan Undang-Undang yang dipegang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hanya mengacu kepada ketentuan UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu calleg ditentukan berdasarkan perolehan suara minimal 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP).Jika dalam satu dapil bakal caleg yang memperoleh suara minimal 30 persen BPP lebih dari satu, maka penentuan caleg terpilih baru ditentukan berdasarkan nomor urutnya. Jika tidak ada satu bakal caleg dalam satu parpol yang memperoleh 30 persen BPP atau jumlah caleg yang memperoleh 30 persen BPP kurang dari perolehan kursi yang diperoleh parpol, maka penentuan caleg dilakukan dengan menggunakan nomor urut.Adanya perbedaan beberapa parpol yang menjadikan caleg jadi sesuai mekanisme internalnya dengan suara terbanyak, menjadikan partai yang sudah memutuskan menggunakan nomor urut harus konsisten. Jika sudah disepakati sejak awal, maka partai tersebut tidak boleh mengubah keputusannya; karena jika keputusan partai itu diubah di tengah jalan, maka bisa menimbulkan gejolak sosial.

Jika dijalankan dengan benar, sistem proporsional terbuka dinilai lebih adil, karena memberikan kesamaan kesempatan kepada para caleg. Selain itu, sistem tersebut juga untuk meminimalisasi oligarki partai; karena jika penentuan caleg-jadi berdasarkan nomor urut, maka partailah yang akan menentukan. Disisi lain, yang pasti campur tangan internal pengurus partai dalam usaha menjadikan seorang menjadi anggota legislatif jelas berkurang. Dampaknya, banyak caleg yang lebih peduli dan fokus pada usaha bagaimana mendapat simpati rakyat di dapilnya sebanyak-banyaknya, kurang peduli pada bagaimana dinamika kepengurusan partai itu berjalan. ( )

Untung Rugi Proporsional Terbuka

Oleh Adhi Darmawan

Para fungsionaris partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 telah menyerahkan daftar calon legislatif (caleg) di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.

Dari sekian banyaknya parpol peserta pemilu, ada beberapa parpol yang menerapkan sistem perolehan suara terbanyak —atau dengan sistem proporsional terbuka— untuk menentukan caleg yang berhak duduk sebagai wakil rakyat dari partainya.

Partai-partai tersebut lebih mematok suara terbanyak yang diperoleh seorang caleg dan mengesampingkan nomor urut seperti yang biasa digunakan pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Beberapa parpol tersebut di antaranya Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bintang Reformasi (PBR). Partai-partai besar itu telah menegaskan dirinya akan menggunakan sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut.

Bursah Zarnubi, sang Ketua Umum PBR, serta Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga menjadi Ketua Umum Partai Golkar menyatakan partainya akan menggunakan suara terbanyak. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rupanya juga telah tertarik dan mendukung penggunaan sistem tersebut.

Langkah parpol-parpol tersebut berbeda dengan ketentuan Undang-Undang yang dipegang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hanya mengacu kepada ketentuan UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu calleg ditentukan berdasarkan perolehan suara minimal 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP).Jika dalam satu dapil bakal caleg yang memperoleh suara minimal 30 persen BPP lebih dari satu, maka penentuan caleg terpilih baru ditentukan berdasarkan nomor urutnya. Jika tidak ada satu bakal caleg dalam satu parpol yang memperoleh 30 persen BPP atau jumlah caleg yang memperoleh 30 persen BPP kurang dari perolehan kursi yang diperoleh parpol, maka penentuan caleg dilakukan dengan menggunakan nomor urut.
Adanya perbedaan beberapa parpol yang menjadikan caleg jadi sesuai mekanisme internalnya dengan suara terbanyak, menjadikan partai yang sudah memutuskan menggunakan nomor urut harus konsisten. Jika sudah disepakati sejak awal, maka partai tersebut tidak boleh mengubah keputusannya; karena jika keputusan partai itu diubah di tengah jalan, maka bisa menimbulkan gejolak sosial.

Jika dijalankan dengan benar, sistem proporsional terbuka dinilai lebih adil, karena memberikan kesamaan kesempatan kepada para caleg. Selain itu, sistem tersebut juga untuk meminimalisasi oligarki partai; karena jika penentuan caleg-jadi berdasarkan nomor urut, maka partailah yang akan menentukan. Disisi lain, yang pasti campur tangan internal pengurus partai dalam usaha menjadikan seorang menjadi anggota legislatif jelas berkurang. Dampaknya, banyak caleg yang lebih peduli dan fokus pada usaha bagaimana mendapat simpati rakyat di dapilnya sebanyak-banyaknya, kurang peduli pada bagaimana dinamika kepengurusan partai itu berjalan. ( )

PERAN ORMAS DAN KEPEMUDAAN DALAM MENGELOLA PULAU-PULAU TERLUAR INDONESIA[1]

Sebagai sebuah bangsa, adalah kebanggaan ketika mempunyai kedaulatan penuh dalam menentukan arah pembangunan bangsa. Sikap saling menghargai perbedaan, cinta tanah air, toleransi antar umat beragama dan wawasan nusantara merupakan beberapa sikap, diantara sikap lainnya yang sangat diperlukan sebagai modal dalam usaha membangun sebuah bangsa.
Indonesia sebagai sebuah Negara dan bangsa merupakan amanah dari para pendiri bangsa yang dengan gigih berani berjuang melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan penindasan menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Pernyataan diri sebagai bangsa yang merdeka dalam dentuman Proklamasi, adalah pilihan sadar yang diambil dalam usaha mewujudkan Negara yang berdaulat penuh. Dalam perjalanan panjangnya, ternyata mempertahankan kedaulatan Negara sama beratnya dengan usaha berjuang merebut kedaulatan. Dinamika Indonesia sebagai sebuah Negara yang telah mempunyai kedaulatan seperti sekarang ini, baik secara de facto maupun secara de jure, dituntut harus berani mengambil keputusan tanpa intervensi pihak asing dalam menghadapi masalah dalam negeri berupa kebodohan, kemiskinan, pengangguran, pemekaran daerah yang dis orientasi, dsb. Tantangan dari luar negeri datang salah satunya dalam bentuk pengurangan luas wilayah Negara. Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, peran signifikan organisasi masyarakat (Ormas) dan pemuda praksis sangat dibutuhkan.
Belum hilang dari ingatan kita Timor-Timur yang melepaskan diri, menyusul Ambalat, Sipadan dan Ligitan yang menjadikan kita harus berurusan dengan Malaysia, sekarang ini kita harus berurusan dengan pemerintah Singapura yang sudah lama melaksanakan proyek reklasi pantainya.
Untuk kasus reklamasi Pantai Singapura, telah berlangsung sejak lama sampai menjadikan batas wilayah Singapura dari 500 km menjadi 700 km.[2] Secara otomatis perubahan wilayah tersebut merubah tapal batas Negara yang dimilikinya. Adakah yang salah dari Negara kita? Padahal Angkatan Laut sampai Bondo Nekat kita punya. Konsep Wawasan Nusantara juga kita miliki. Melihat dari situ rasanya ada yang ganjil dalam penanganan cara pandang Indonesia tentang kepulauan terluarnya.
- Masih adakah Kedaulatan dalam NKRI?
- Masih adakah nasionalisme dalam diri bangsa Indonesia sekarang ini?
- Sejauh mana peran TNI selama ini dalam menjaga pulau terluar Indonesia?
- Apa sajakah kebijakan pemerintah dengan adanya ancaman hilangnya pulau-pulau terluar kita?
- Sejauh mana peran Ormas dan Pemuda dalam melihat masalah-masalah ini?

Rasanya pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kita jawab sebelum menentukan kebijakan apa yang seharusnya kita lakukan kedepan.
[1] Oleh Adhi Darmawan. Ditulis sebagai out line Lopsidan untuk diskusi di TVRI, tanggal 9 Maret 2007, Pukul 15.00 – 16.00 WIB.
[2] Majalah Medium No 67 TH IV, hal 18

02 November 2008

Bangkitlah Bangsaku, Jayalah Negeriku

Oleh Adhi Darmawan

Indonesia sebagai bangsa yang besar, akan terus utuh dan berkembang jika ditopang oleh kualitas sumber daya manusianya yang baik. Adalah Ir. Soekarno, Drs Moh. Hatta dan teman-teman seperjuangannya, yang merupakan para pemimpin besar, yang telah berhasil meletakkan nilai-nilai persatuan, sebagai pondasi dalam bangunan rumah sederhana yang disebut Indonesia. Rumah yang pluralistis dan egalitarian. Berbagai macam suku, bahasa, agama, ras, adat-istiadat, dsb ada di dalamnya.

Secara geneologis, proses terbentuknya Indonesia sebagai sebuah bangsa telah berlangsung lama. Dimulai dari keberadaan kerajaan-kerajaan kecil, yang bermetamorfosa menjadi kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Sriwijaya, Mataram Hindu, Mataram Islam, Siliwangi, dan lain-lainnya. Proses metomorfosa tersebut pada puncaknya memunculkan identitas nasionalisme ekonomi, politik serta budaya yang dideklarasikan HOS Cokro Aminoto dkk melalui institusi Serikat Islam (SI) 1905. Proses identifikasi identitas nasionalisme ekonomi, merupakan suatu gerakan perlawanan ekonomi, yang dilakukan oleh para pengusaha muslim, terhadap dominasi dan hegemoni ekspansi kapitalisme kolonial Belanda. Para pengusaha muslim nasional, membangun supremasi ekonomi berbasis kerakyatan dan memiliki komitmen ideologis muslim nasionalis. Beberapa tahun berikutnya, pada tahun 1908 muncul kelompok Budi Utomo, yang membangun identitas nasionalisme, sebagai sebuah kekuatan politik lokal yang membasis di Pulau Jawa.

Semangat nasionalisme, berikutnya dikukuhkan dan diproklamirkan secara politik pada tahun 1928 melalui deklarasi sumpah pemuda. Deklarasi inilah yang menjadi sumber filosofi dan dasar konstitusional melahirkan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kedaulatan politik, hukum, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan, diperoleh Indonesia pada tahun 1945, setelah dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta

Setiap manusia hidup mempunyai tiga hak yang prinsipil, yaitu hak akan kemerdekaan, hak akan keadilan, serta hak akan kesejahteraan. Jika salah satu dari ketiga hak yang prinsipil itu terabaikan, maka akan berpeluang menimbulkan keresahan yang dapat memicu timbulnya gejolak. Sebagai bangsa besar yang terdiri dari beribu-ribu pulau, bermacam-macam suku, adat-istiadat, bahasa, budaya, agama, dsb. Indonesia jelas sangat rawan sekali akan dis-integrasi bangsa. Jika tidak terkelola dengan baik, maka jelas, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan Negara akan tercerai berai.

Setelah Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tidak lagi berkuasa, pada tahun 1998 muncul era baru yang disebut sebagai era reformasi. Banyak orang berharap dalam era reformasi ini, demokrasasi di-Indonesia dapat tumbuh dan berkembang lebih massif untuk dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Sejarah mencatat bahwa reformasi pada tahun 1998 telah menyisakan berbagai sejarah hitam politik, ekonomi bangsa yang belum selesai menentukan arahnya. Pondasi yang dibangun oleh Orde baru selama 32 tahun akhirnya hancur dengan begitu cepatnya akibat dari pengaruh kebijakannya yang dianggap sebagian orang penuh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Buah dari gerakan 1998 adalah semakin terbukanya ruang-ruang demokrasi yang selama ini tertutup, artinya saluran demokrasi dibuka secara luas. Akan tetapi terbukanya ruang demokrasi tersebut, justru membuat arah perubahan menjadi tidak terkontrol. Konflik rasialis begitu kuatnya pasca 98- konflik Sampit, Poso, Papua, sampai pada Aceh dan lain-lain yang dikarenakan sekat-sekat politik buntu sebagai akibat dari politik kekerasan Orde Baru. Akibatnya adalah munculnya gerakan pembebasan sebuah bangsa- negara bangsa. Indonesia yang dikontruksikan oleh borjuasi nasional secara terpaksa, justru berdampak pada apa yang terjadi saat menjadi fakta empirik yaitu munculnya gerakan pembebasan.

Menguatnya pembebasan Aceh dan Papua dalam paruh tahun 2002 merupakan contoh dari kebijakan politik Orde Baru yang terus mengekspotasi wilayah tersebut tanpa memberikan kompensasi yang seimbang. Gerakan ini kemudian menyulut daerah lain untuk melakukan pembebasan walaupun dalam konteks historis sangat berbeda seperti Riau, dan lain sebagainya.

Ditengah-tengah maraknya gerakan tersebut, pemerintahan ini justru sedang menata/transisi menuju konsepsi ke-indonesia-an ala demokrasi liberal. Yah, konsepsi Otonomi daerah menjadi satu bagian untuk mengatasi berbagai ketimpangan yang selama ini menjadi batu sandungan pembangunan. Proses negosiasi dan dialog atas ketegangan-ketegangan yang dimunculkan sebagai akibat dari politik Orde Baru justru dapat di selesaikan dengan jalan mengedepankan dialog perdamaian atas konflik rakyat Aceh dan Papua, dengan memberikan otonomi secara khusus.

Awal era reformasi berjalan, dibawah kepemimpinan Presiden BJ. Habibie, konsep Otonomi Daerah ditancapkan melalui Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 1999, yang kemudian disempurnakan lagi melalui UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU itu lazim disebut dengan UU Otonomi Daerah. UU tersebut merupakan formulasi kebijakan strategis dibidang politik. Hal itu merupakan terobosan politik yang sangat strategis dan radikal yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan secara merata disemua daerah di Indonesia. Kebijakan Otonomi Daerah dalam hal ini diterapkan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat yang lebih luas.

Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.

Dalam pelaksanaan UU Otonomi Daerah tersebut, desentralisasi pemerintahan diterapkan. Bentuk dari pelaksanaan UU ini berupa pemilihan wakil rakyat dari tingkat kabupaten kota, propinsi dan pusat secara langsung. Tidak hanya itu, Presiden juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Setelah pemilihan langsung, kebijakan pemekaran sejumlah propinsi, kabupaten dan kota juga terlihat banyak dilakukan.

Semangat demokratisasi untuk kesejahteraan yang merata seluruh daerah, dalam pelaksanaan UU Otonomi Daerah, sayangnya seringkali diwarnai hal-hal yang tidak semestinya terjadi. Dalam pemilihan kepala daerah secara langsung misalnya sangat kuat diwarnai oleh money politic.

Pembangunan di era reformasi ternyata malah memunculkan masalah-masalah baru. Kasus kelaparan, gizi buruk, busung lapar, polio, flu burung, antraks, siswa sekolah bunuh diri karena tidak mampu membayar SPP, orang tua bunuh diri karena tidak mampu membiayai keluarga, meningkatnya angka kemiskinan, jumlah pengangguran terus meningkat, WTS, TKW/TKI, penjualan anak, banyak terjadi.

Bukan hanya itu, masalah-masalah yang lebih serius seiring dengan diterapkannya Otonomi daerah juga meningkat seperti gerakan separatisme, etnosentrisme, de-Pancasilaisasi, konflik elit politik local, korupsi lokal dsb.

Sebagai anak bangsa Indonesia yang peduli pada keadaan negeri yang lebih baik, marilah kita selalu berikhtiar mencari jalan keluar untuk tercapainya kemaslahatan bangsa dengan posisi kita masing-masing. Bagi saudara-saudaraku yang lebih berkecenderungan banyak melakukan kerja-kerja kognitif, maka marilah kita terus ber-ijtihad untuk menemukan pendekatan yang bisa menjadi solusi, mungkin, diskursus wacana nasionalisme dan kajian ketatanegaraan perlu kita konstruksi kembali. Demikian pula bagi saudara-saudaraku yang berkencedurangan kerja-kerja afektif dan psikomotorik, mari kita bangun Indonesia melalui keahliannya masing masing. Bangkitlah Bangsaku, Jayalah Negeriku! Yakin Usaha Sampai....Syalom!