08 February 2010

Gus Dur, Demokrasi dan Multikulturalisme

Oleh Adhi Darmawan
Alumnus Ponpes Ciganjur

Siapa yang tidak kenal dengan nama KH. Abdurahman Wahid atau yang akrab dipanggil dengan sebutan Gus Dur? Sebagai mantan Presiden Republik Indonesia, tentu semua masyarakat kita mengenalnya dengan baik. Sebagai seorang negarawan dari kalangan ulama, Gus Dur memang layak mendapatkan nama besar, pasalnya, disamping dirinya memiliki otoritas kharismatis, dalam ruang Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur juga memiliki otoritas tradisional yang merupakan garis dari keturunan kakeknya, KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri NU. Gus Dur adalah seorang cucu dari dua serangkai pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisyri Sansuri, dan ibunya Solikhah, adalah putri dari Kiai Bisyri Sansuri. Tak hanya itu, sosok seorang Gus Dur yang konsisten membela demokrasi, pluralisme, kaum minoritas, dan orang yang tertindas, menjadikannya memang benar-benar layak menyandang nama Abdurahman Wahid.
Dalam 40 (empat puluh hari) kepergian Gus Dur ini, sebagai salah satu santri dari pondok pesantren Ciganjur, tentunya saya memiliki banyak sekali kenangan terhadapnya. Luasnya cakrawala berfikir Gus Dur menjadikannya lengkap sudah gelar yang dilekatkan kepadanya dari mulai Kyai, budayawan, pendekar demokrasi, hingga bapak multikulturalisme Indonesia.

Ketika berdiskusi dengan Gus Dur, sepertinya ilmu yang saya miliki selalu kurang. Dengan nada yang datar, mengalir berpuluh-puluh kata yang diungkapkan Gus Dur dengan pilihan kata sederhana, tapi kaya akan makna. Sepertinya Gus Dur sangat mengetahui pilihan kata yang serasi dengan kondisi umum sosiologis masyarakat Indonesia yang sederhana, tapi kompleks persoalan yang harus dijawab. Gus Dur terlihat sangat menguasai sekali apa saja persoalan bangsa, bagaimana cara memecahkannya baik dari sisi pendekatan akademis dengan menggunakan teori maupun langsung implementasinya. Dari situlah, pemikiran Gus Dur menunjukkan akurasi tertentu sesudah melewati fase-fase diskursus serta silang opini publik yang ramai di seberang ide maupun gagasannya hingga kerap kali tanpa disadari memunculkan kontroversi di ranah ruang publik.

Bagi Gus Dur sendiri, tampaknya setiap gagasan dan pemikiran akan lebih memotivasi adanya gagasan atau pemikiran lain yang diposisikan secara berhadap-hadapan. Oleh karena itu, Gus Dur kerapkali meletakkan gagasan dan pemikirannya ditawarkan dalam format yang terkesan kontroversial dan bersifat oposisi dari arus utama rasionalitas publik. Dalam banyak perspektif, ide-ide dan pemikirannya hendak menciptakan paradigma baru yang menerobos batas-batas konvensi lama yang telah tersusun sebelumnya. Dengan tampak sebagai seorang aliran kritis aktif, Gus Dur membangun ruang pemikiran intelektualnya dalam basis keilmuan untuk mempertanyakan ulang, mempersoalkan sekaligus memberikan alternatif sebagai jawaban.

Hal ini dapat dirasakan dari paradigma Gus Dur yang melihat obyektivitas pemikiran bukan sekadar motif dan tendensi politik, melainkan konsensus ilmu pengetahuan terhadap kemungkinan yang lebih mendekati kebenaran dan cocok dengan hati nurani. Landasan berpikir seperti ini mengukuhkan persepsinya menolak formalisme penafsiran yang merujuk pada teks-teks ajaran Islam sekaligus mempersoalkan pandangan yang bertumpu pada dalil-dalil semata, tanpa merepresentasikan unsur rasionalitas. Persepsi seperti ini juga, menyebabkan keyakinan Gus Dur memberi penghomatan penuh terhadap keyakinan dan ajaran agama-agama lain.

Dalam benak para santrinya di Pondok Pesantren Ciganjur, pengalamannya bersama Gus Dur tentu sangat berkesan. Gus Dur dikenal para santrinya sebagai seorang ulama kharismatik, guru bangsa, seorang begawan dan seorang semar dalam dunia pewayangan. Saya secara pribadi, jika ingat akan Gus Dur, maka yang diingat detik itu juga adalah buku. Mungkin ini pengaruh dari kayanya ilmu yang dimiliki Gus Dur hingga yang terbesit dalam benak kami melihat Gus Dur adalah perpustakaan berjalan, Gus Dur selalu menjadikan kami selalu haus akan ilmu pengetahuan.

Sosok seorang Gus Dur yang muncul dalam benak para santrinya di Pesantren Ciganjur juga merupakan sosok yang mereka idealkan sebagai sosok yang istiqomah adalam mengaji dan sangat menghormati prinsip-prinsip keberagaman, keadilan, serta kemanusiaan. Pada beberapa sisi, Gus Dur juga adalah sosok yang konsisten dan tegas dalam menentukan titik sudat pandang, serta cerdik dalam menyikapi situasi dan kondisi umat. Konsistensi Gus Dur terhadap semua hal bisa terlihat dari hal-hal yang terkecil seperti kebiasaan mengkaji kitab atau bedah buku setiap hari Sabtu pagi. Sekalipun waktunya sangat sempit karena kesibukannya, Gus Dur senantiasa meluangkan waktunya ketika telah menjadwalkan pengajian. Hampir-hampir tidak pernah meninggalkan pengajian walaupun jadwal di tempat lain sangat padat. Bahkan dalam keadaan tidak sehat, kerapkali Gus Dur meluangkan waktunya untuk memberi ilmu sebelum berangkat ke rumah sakit untuk berobat.
Bingkai Demokrasi dan Multikulturalisme

Terkait dengan konsep demokrasi, saya ingat ketika Gus Dur mengomentari buku Samuel P.Huntington dan Joan Nelson (1990) yang saya paparkan dalam bedah buku. Senada dengan Huntington, Gus Dur sepakat bahwa keberadaan kontes dan partisipasi merupakan syarat minimal mutlak yang harus ada dalam sebuah pemerintahan jika ingin disebut sebagai pemerintahan yang demokratis. Sekalipun pemilihan umum tidak dapat menghasilkan idealitas menurut sebagian besar orang itu, akan tetapi dalam demokrasi, pemilihan umum yang terbuka, bebas, dan adil adalah esensi demokrasi.

Oleh karena itu, pemilihan umum yang terbuka, bebas dan adil inilah yang menjadi makna minimalis bagi suatu negara atau system politik disebut demokratis atau tidak, disamping ada dua syarat demokrasi minimalis lainnya, yaitu adanya pembatasan kekuasaan dan stabilitas atau institusionalisasi yang mengacu pada derajad manakah system politik demokrasi itu diharapkan dapat tetap hidup.

Dalam hal partisipasi politik sebagai ciri demokrasi, Gus Dur agak kurang sepaham dengan Huntington yang menuliskan pada banyak negara, orang yang berpendidikan tinggi telah diakui sangat mempengaruhi partisipasi politik, hal ini bisa jadi karena pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa, dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik. Bagi Huntington, pola partisipasi politik yang dilakukan oleh kaum miskin atau kelas bawah tetap akan dimotori atau dipimpin oleh politisi kaum elit atau kelas menengah, dimana tujuan dari para kelas menengah itu terkait dengan adanya komitmen ideologis dan atau jawaban terhadap persaingan politik yang ada. Dari sisi partisipannya, tujuan yang dikedepankan adalah untuk memperbaiki keadaan materi- materi diri sendiri dan sesamanya, dengan bentuk-bentuk tindakan kolektif, seperti dengan memberikan suara, berkampanye, dan berdemonstrasi.
dalam pandangan Gus Dur, partisipasi politik antara warga Negara di Negara maju dengan Negara berkembang seperti Indonesia tentulah berbeda bentuknya. Hal ini terkait dengan tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dan sebagainya dinegara berkembang berbeda dengan Negara maju. Dalam Negara berkembang, justru kaum yang berpendidikan tinggi biasanya cenderung partisipasi politik dalam hal pemberian suara pada pemilunya rendah, sebagai contoh hampir kebanyakan yang mengambil sikap golongan putih (golput) adalah kaum terdidik. Tentang hal ini sepertinya Gus Dur telah memahami betul kondisi sosial masyarakat Indonesia. Bagi Gus Dur, bagaimanapun tidak semua buku hasil penelitian di negara maju sama dengan di negara berkembang seperti Indonesia.

Lebih dari itu, Gus Dur menjelaskan bahwa keberadaan demokrasi dapat terwujud jika masing-masing individu harus menghormati hak orang lain yang berbeda pendapat, berbeda aliran, keyakinan, dan sebagainya terutama pada kaum minoritas. Tanpa menghargai keberadaan keberagaman bangsa yang plural, multi etnis, multi kultur, dan sebagainya susah demokrasi dapat diwujudkan. Inilah yang menjadi titik pijak Gus Dur melihat demokrasi.

Tentang pluralism dan multikulturalisme, banyak yang telah diperlihatkan Gus Dur dalam keberpihakannya terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Bagi Gus Dur pluralisme bukanlah sebuah wacana dan bukan pula sekedar perjuangan untuk menjadi realitas kehidupan bersama, akan tetapi, pluralisme adalah eksistensi kehidupan dan menjadi sebuah penghayatan eksistensial bagi dirinya. Karena itu, konsekuensi logisnya, ia menerima adanya tafsir beragam-ragam atas sikap eksistensi hidupnya. Hidupnya adalah sebuah teks multitafsir yang beragam. Yang berarti kontroversi, perbedaan, dan keragaman tafsir atas sikap dan penghayatan hidup Gus Dur sudah menjadi konsekuensi logis dari eksistensi Gus Dur.

Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengakuan akan adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara budaya, agama, politik, ataupun jenis kelamin. Menerima dan menghayati multikulturalisme berarti mengakuai keberadaan orang lain dalam perbedaan dan keberlainannya. Implikasi dari pengakuan ini, semua orang dan kelompok masyarakat yang beragam itu harus dijamin dan dilindungi haknya untuk hidup sesuai dengan keunikan dan identitasnya. Dasar dari pengakuan, jaminan, dan perlindungan ini adalah kemanusiaan. Setiap orang memungkinkan bisa berkembang menjadi dirinya sendiri dalam keunikannya, baik menyangkut masalah agama, jenis kelamin, suku, budaya, aliran politik, dan lain-lain.

Bagi Gus Dur, adanya sikap pemaksaan terhadap keberagaman bangsa merupakan pelanggaran atas harkat dan martabat manusia, dan sekaligus juga mengingkari akan adanya identitas dan jati diri setiap orang sebagai pribadi yang unik. Sangat disesalkan sekali jika hal ini dilakukan oleh pihak otoritas Negara, atau pemerintah yang seharusnya menjaga “Bhineka Tunggal Ika”, keberagaman terhdap bangsanya. Semua ini diresapi benar oleh Gus Dur secara konsisten, sekalipun kadang dianggap orang lain dianggap nyeleneh dan kontroversial. Hal ini merupakan risiko dari pilihan politik atas multikulturalisme.

Kita tentu mengingat bagaimana Gus Dur bersikap membela Inul Daratista ketika dirinya di hujat ampilan goyang ngebornya yang dianggap seronok, atau bisa kita lihat bagaimana Gus Dur membela kaum Ahmadiyah ketika keberadaannya dianggap telah melecehkan Islam, karena seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal bahkan seorang Ustadz Abu Bakar Baasyir pun yang secara garis pemikiran berseberangan sempat Gus Dur bela saat dirinya dipojokkan pemerintah. Bagi orang lain mungkin langkah Gus Dur aneh, tpi bagi Gus Dur, memaksa orang lain menjadi sesuai idealitas kita, atau menghambat orang lain menjadi dirinya sendiri, sama artinya dengan membangun monokulturalisme. Yang berarti antimultikulturalisme.

Yang menarik dalam diri Gus Dur, toleransi pertama-tama dihayatinya bukanlah sekadar membiarkan orang lain menjalankan identitas kulturalnya, dalam pengertian yang luas seperti mencakup budaya, suku, agama, adat istiadat, jenis kelamin, dan aliran politik. Bukan pula hanya sekadar tidak ntervensi, tidak melarang, tidak mengganggu, tidak menghambat, serta tidak merecoki orang lain dalam penghayatan identitas budayanya. Toleransi negatif-minimalis inilah yang masih menjadi perjuangan berat bagi kita semua.

Tentang toleransi sebagai salah satu dasar dari multikulturalisme, Gus Dur justru menghayati dan mempraktikkannya langsung dengan membela kelompok mana saja, termasuk khususnya minoritas yang dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih dari itu, Gus Dur mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas budayanya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain, tidak melakukan intervensi, apalagi melakukan hegemoni. Dengan pemikirannya yang demikian, maka tidaklah heran jika kemudian Gus Dur memiliki hubungan yang baik dengan semua kelompok. Gus Dur justru mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik, Gus Dur juga mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik. Dan seterusnya. Toleransi ini benar-benar dihayati Gus Dur secara konsekuen, bahkan talah melekat dalam kepribadiannya, tanpa kalkulasi politik dan tanpa dipolitisasi untuk kepentingan politik apa pun selain demi menjaga keberagaman dan rasa kemanusiaan, mendorong semua manusia menjadi dirinya sendiri yang unik tanpa merugikan pihak lain.

Kata demokrasi, toleransi, egaliter, advokasi, solidaritas, inklusif, populis, pluralisme, di antara beberapa password dari mata rantai dan bunga rampai deskripsi pemikiran-pemikirannya kemudian dipertautkan dengan ide-ide kebangsaan yang bersentuhan dalam konteks luas hak-hak asasi manusia, penolakan anarkisme, penerimaan multikulturalisme, perbedaan cara beragama, marginalisasi kaum minoritas, kebebasan berekspresi, desakralisasi kekuasaan, dominasi kebijakan negara yang sentralistik dan depolitisasi militer. Pada konteks ini, Gus Dur menampik keras pembacaan dan penafsiran teks-teks agama-politik-sosial dan budaya pihak manapun yang didesakkan dengan semangat hegemonik serta dikotomik.

Pluralisme menurut Gus Dur, menjadi niscaya dalam kehidupan sosial serta diskursus keberagamaan di negeri ini. Sehingga akan membuka lebar pintu-pintu persaudaraan kemanusiaan dan persaudaraan kebangsaan untuk siapa pun. Begitu juga persaudaraan sesama umat Islam. Oleh karena itu, masalah agama, toleransi beragama dan solidaritas keberagamaan di republik dengan latar multikulturalisme yang kompleks, tanpa dibarengi sikap kosmopolit dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama yang universal yang bertumpu pada kesalihan individual, akan mudah tersulut konflik.

Beragama dengan menekankan sisi perbedaan menjadi sentral, yang menafikan faktor-faktor internal primordialitas perlahan terhunus menjadi sebentuk totaliterianisme serta pemujaan setiap kelompok etnis masyarakat secara ekstrem dan radikal.
Langkah Gus Dur yang demikian memperlihatkan sikap tulusnya dalam mendukung demokratisasi dan dalam karakternya masing-masing dan mendorong segenap elemen bangsa menjadi dirinya sendiri. Secara pribadi, Gus Dur pun demikian, dengan Gus Dur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen agar menjadi orang yang baik sesuai dengan ajaran agamanya, Gus Dur justru semakin menjadi seorang Muslim yang baik dan tulen pula.

Gus Dur tokoh Islam yang terbuka, seorang intelektual yang berwawasan luas. Latar belakang pendidikannya yang ala pesantren tradisional, kemudian di Cairo dan Baghdad antara lain yang telah membentuk karakter pemikirannya yang khas. Gus yang kemudian menjadi sangat pluralis, tentu tak lepas dari interaksi keilmuannya dengan pemikiran-pemikiran Barat. Gus Dur melampaui cara pikir kebanyakan ulama NU lainnya.
Sekalipun sebagai seorang yang terjun dalam dunia politik tidak menutup kemungkinan menjadikan adanya orang yang tidak suka kepadanya, akan tetapi secara luas pemikiran Gus Dur dapat diterima oleh publik dengan baik, terutama dalam pemaknaannya akan arti sebuah keberagaman. Hal ini dapat terbukti ketika jenazah Gus Dur akan disemayamkan di Jombang, semua orang berdiri sepanjang jalan memberi penghormatan terakhir kepadanya.

Gus Dur adalah tokoh bangsa yang memahami Islam sebagai agama yang dinamis dan transformatif. Pemikiran Gus Dur yang melampaui zamannya itu sangat relevan dalam konteks Indonesia kontemporer yang multikultur. Bagi banyak orang, ruang Gus Dur di NU, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Indonesia terlalu sempit. Sudah selayaknya Gus Dur menjadi tokoh internasional dengan mengantongi penghargaan Nobel Perdamaian. Menisbatkan Gus Dur sebagai lokomotif demokrasi dan bapak multikulturalisme Indonesia kiranya tidak berlebihan, hal ini mengingat konsistensi Gus Dur dalam hal pembangunan demokrasi dan multikulturalisme yang sangat luar biasa besarnya.

REVITALITASASI AKHLAK MULIA DALAM PENDIDIKAN BANGSA

Oleh Adhi Darmawan
Dewan Ketua Lembaga Sosial Ekonomi Amanah Ummat(LeSMA)

Permasalahan moral bangsa akhir-akhir ini ditengarai telah mengindikasikan terciptanya krisis bangsa. Banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat dari semua lapisan sosial memperlihatkan bahwa bangsa ini tengah dihinggapi dekadensi moral yang sangat serius. Beberapa fenomena seperti kasus korupsi yang sering dilakukan para pejabat atau oknum-oknum pemerintah serta tindakan kekerasan yang kerap kali terjadi di berbagai tempat, mulai dari pencurian, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan dan masih banyak lagi bentuk tindak kekerasan lainnya, dimana perilaku itu tidak lagi mempedulikan ruang dan waktu, telah menguatkan bahwa dekandensi moral telah benar-benar menjangkit bangsa kita.

Dari perspektif sosiologis, dalam institusi pendidikan yang merupakan perangkat vital pada pembinaan moral bangsa, ternyata juga tidak bersih dari praktik perilaku menyimpang tersebut. Dalam internal institusi pendidikan, praktik kekerasan yang membudaya dalam setiap penerimaan murid baru pada sebagian institusi pendidikan yang terbingkai dalam OSPEK, Masa Taaruf, dsb, dimana kekerasan yang dilakukan oleh siswa senior pada yuniornya sepertinya berkembang begitu saja dari tahun ketahun. Selain itu, keberadaan perilaku menyimpang terdapat pula pada kelompok-kelompok bermain siswa seperti ‘genk motor’, ‘genk basket’, ‘genk musik’, dsb.

Perilaku menyimpang yang terjadi dalam institusi pendidikan ini turut mempertegas keberadaan degradasi moral yang terus bergulir. Keberadaan institusi agama yang ada-pun seolah dibuat tidak berdaya untuk membendung berputarnya laju roda degradasi moral tersebut. Nilai-nilai moral Pancasila yang menjadi dasar dari ideologi Indonesia sebagai sebuah bangsa, tidak lagi diindahkan. Tidak hanya itu, dalam perkembangan budaya bangsa yang kian pesat, Pancasila seringkali dipertentangan dengan paham ideologi dan agama tertentu, seolah-olah Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam agama tertentu. Al hasil, tidak sedikit muncul gerakan “silent” dan terbuka anti Pancasila. Konflik antar umat beragama, intra umat beragama dan diantara kelompok agama dan kelompok sekuler mulai berkembang ke arah pada tingkat yang mengkhawatirkan dan mengancam kesatuan dan persatuan bangsa serta NKRI. Kalimatin sawa telah terlupakan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah dimanakah letak strategis Pancasila dalam mendukung out come pendidikan nasional yang berbasis akhlak mulia, sehingga masalah-masalah laju penyimpangan sosial bisa diatasi?


Pancasila dan Pendidikan Nasional
Jika kita melihat Pancasila dari sisi historisitas dan nilai-nilai filosofinya yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri republik ini, sejatinya Pancasila tidak perlu dipertentantangkan dengan agama manapun, sebab Pancasila dapat dipakai sebagai modus vivendi (pedoman hidup) bagi bangsa Indonesia yang pluralistik. Sebagai pedoman hidup, sejatinya dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur yang kaya akan tuntunan akhlak mulia.

Setiap nilai-nilai sila dalam Pancasila merupakan objektifikasi nilai-nilai universal dalam setiap agama dan kepercayaan. Walaupun berbeda-beda dari segi syariat dan aqidah ada nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai nilai-nilai luhur. Nilai-nilai bersama ini dalam Al-Qur'an disebut dengan kalimatin sawa. Pancasila adalah kalimatin sawa, common ground. Dalam perjalanan sejarah, Pancasila telah menjadi pemersatu bangsa dalam perjuangannya untuk menentang penjajahan dan memakmurkan rakyat.

Dari UUD 1945 dan Pancasila, disimpulkan bahwa akhlak mulia adalah nilai kehidupan bangsa yang diamanahkan untuk diwujudkan sebagai bagian integral dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, akhlak mulia ditegaskan sebagai sebuah nilai utama bangsa. Karena itu, pendidikan akhlak mulia harus menjadi bagian yang sentral, dari usaha pendidikan bangsa.

Implikasinya ialah bahwa pendidikan akhlak mulia patut menjadi program prioritas dan bukan alternatif, serta menjadi program inti dan bukan suplemen pendidikan lainnya, dan menjadi program menyeluruh, bukan program parsial dan terisolasi. Karena itu, tidak sepatutnya kita sekadar mencari “peluang” ruang pendidikan yang masih tersisa, mencari celah apakah sistem pendidikan nasional sebagai yang dikembangkan sekarang ini masih memungkinkan adanya format alternatif untuk mengadakan pendidikan yang berbasis akhlak mulia.

Esensi pendidikan nasional, sesuai perintah konstitusi, antara lain adalah memuliakan akhlak bangsa; ini meletakkan pendidikan berbasis akhlak mulia sebagai sesuatu yang fundamental dan menyeluruh, bukan sekadar sebagai mata pelajaran pelengkap dan elektif! Persoalannya bukan sekadar membedakan antara pendidikan yang berbasis akhlak mulia dengan yang tidak. Memisahkannya menjadi pendidikan di satu pihak dan akhlak mulia di lain pihak bukan hanya menghasilkan sebuah tautologi; tetapi sebuah kesalahan fundamental karena tidak ada pendidikan tanpa akhlak mulia. Jadi yang benar ialah bahwa esensi pendidikan adalah esensi akhlak mulia, dan isu pendidikan adalah isu akhlak mulia, kapanpun. Pengejawantahan nilai yang berakhlak mulia, -seiring dengan nilai beriman, bertakwa, dan berbudaya -, adalah ukuran utama keberhasilan bangsa yang terdidik dengan benar, bukan dengan ukuran lain yang manapun.

Secara kodrati dan alamiah, lingkungan pendidikan adalah lingkungan seluas kehidupan itu sendiri. Ia bermula dan berpangkal dari kehidupan keluarga dan berkembang ke luar sesuai dinamika dan kebutuhan masyarakat. Sekolah adalah lembaga yang datang baru kemudian sebagai pelengkap dan berperan sebagai perpanjangan peran keluarga, bukan pengganti atau bukan alternatif terhadap peran keluarga. Secara sporadis, ketika berbagai “kasus” bermunculan di dalam kehidupan, orang kembali mempertanyakan di manakah sekarang “pendidikan budi pekerti” yang “dulu, di masa lalu” diajarkan (= diutamakan) di sekolah.

Sekarang, dengan kehidupan nilai moral bangsa yang semakin mencemaskan, sebagian orang lalu mencari jawaban di mana letak awal kesalahan. Sebagian mengatakan karena keluarga sudah semakin tidak mampu menghadapi tugas yang musykil itu; sebagian mempersalahkan sekolah yang sudah lama menganak-tirikan keberadaan akhlak mulia. Apalagi ketika standar kehidupan masyarakat awam yang justru telah turut menghancurleburkan citra bangsa berbudaya, bermoral, dan beragama.

Demoralisasi dan sejumlah besar -di luar imaginasi akal sehat - penjungkirbalikan nilai akhlak mulia memang bukan fenomen yang terjadi secara tanpa disengaja, dan tidak sesederhana yang diperkirakan. Akarnya jauh lebih dalam, dan dampaknya jauh lebih luas dari yang dapat ditelusuri. Karena itu, masalahnya bukan hanya masalah mencari peluang dan format yang layak untuk dapat mengajarkan akhlak mulia; masalahnya adalah merekonstruksi, merevitalisasi, dan menyehatkan kembali seluruh aspek kehidupan bangsa yang sudah mulai berpenyakit kronis.

Secara kultural, lingkungan pendidikan baru kemudian lebih mengerucut sebagai tripusat yang konsentris: keluarga sebagai pusat pertama (dan utama), disusul dan dilengkapi oleh sekolah dan masyarakat luas di luarnya. Namun, di dalam pengelolaannya secara birokratis, peran keluarga sebagai pusat pendidikan nilai menjadi semakin kerdil, tetapi sekolahpun yang tampil sebagai pusat pendidikan skolastik tidak pernah seberapa mengutamakan pendidikan akhlak mulia.

Dalam sejarah, tripusat tidak selalu berkembang secara harmonis sebagai sebuah kesatuan yang saling melengkapi. Sekolah cenderung “mengambil alih”, kalau tidak merampas atau mematikan kedaulatan keluarga. Bagaimanapun, sekolah tidak pernah dapat diharapkan menangani akhlak mulia khususnya, amanah konstitusi umumnya. Sungguhpun pada aras filosofis keutamaan akhlak mulia tidak pernah dinafikan, pada aras praksis, seperti tercermin dari kebijakan pemerintah, desain kurikulum, dan program pencerdasan kehidupan bangsa, isu akhlak mulia senantiasa menjadi pilihan terakhir.

Karena bias yang terlalu tinggi pada sejumlah kemampuan kognitif tertentu, dan terlalu rendah pada nilai-nilai kehidupan yang diamanahkan, sekolah sebenarnya telah menjadi usang (outmoded) dan salah fungsi (dysfunctional). Peran sekolah direduksi menjadi lembaga pelatihan otak dan persiapan memperoleh nilai tertinggi, bukan pengembangan watak. Sekolah menjadi taruhan kemampuan kognitif yang diujikan, tidak sebagai lembaga pembudayaan, lembaga pengindonesiaan, apalagi sebagai lembaga pemanusiawian sebagai yang terkandung dalam konsep akhlak mulia. Kurikulum yang seharusnya berbasis pada kehidupan akhlak mulia dalam arti yang luas, dipersempit menjadi program arbitrer yang akhirnya berbasis apa saja (yang jelas bukan akhlak mulia), yang berakibat bahwa kurikulum kehilangan makna yang mulia.

Hampir sejak dari awal kemerdekaan, para pengelola negara, pemimpin bangsa, dan terutama para birokrat pendidikan, pada umumnya terjebak di dalam pola pandang yang menghambat, kalau tidak dapat disebut merugikan atau bahkan merusak, perkembangan pendidikan nasional ditinjau dari amanah konstitusi.

Keterjebakan itu terletak dalam kenyataan bahwa filosofi pencerdasan kehidupan bangsa, tidak dipahami secara tuntas tetapi segera saja ditafsirkan secara sangat praktis sebagai menyekolahkan anak bangsa. Sekolah menjadi jawaban terhadap tuntutan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan lebih dari itu, sekolah menjadi taruhan. Sekolah, dan hanya sekolah yang menentukan.

Tidak ada yang secara fundamental salah di dalam menyekolahkan anak bangsa sebagai sebuah realisasi amanah konstitusi. Tetapi yang jelas salah ialah apabila sekolah ternyata mengutamakan mengajarkan penguasaan bahasa Ingeris, misalnya, yang tidak esensiil dan tidak eksplisit diamanahkan, tapi pada saat yang sama, tidak sedikitpun menyinggung pendidikan berbasis akhlak mulia, yang justru secara eksplisit ditegaskan dalam konstitusi. Dalam waktu yang relatif singkat, pendidikan telah ditafsirkan sebagai apa yang dapat disaksikan di sekolah, dan apa yang berdampak di masyarakat luas, pendangkalan. Tafsir tersebut pada hakekatnya bermula tidak lain dari kecencerungan penyederhanaan konsep asal menjadi konsep pragmatis yang jauh lebih mudah dipahami, diatur, dan diformalkan. Apakah ini inti pendidikan berbangsa? Jelas bukan, Jauh dari itu.

Di sekolah, mengatasi buta aksara menjadi lebih penting dari mengatasi buta kehidupan. Di sekolah, kemampuan mengingat menjadi lebih utama dari kemampuan memahami. Murid dilatih untuk mengenali masalah (agar mudah menjawabnya), bukan mencari, menemukan, dan memahaminya. Otak hanya diisi, tidak dikembangkan. Yang menjadi indikator utama adalah sebuah angka, dan bukan sebuah daya. Di sekolah, memang banyak hal yang diajarkan, kecuali akhlak mulia.

Pemikiran untuk merintis pendidikan berbasis akhlak mulia adalah sesuatu yang patut di dukung secepatnya, secara nasional. Bukan saja oleh karena kita telah terlambat usai bertahun-tahun memasuki masa kemerdekaan, tetapi juga karena dampak negatif dari tiadanya pendidikan yang demikian telah membuahkan masyarakat yang bermasalah, bahkan yang patologis, di dalam aspek etika dan estetika kehidupan. Gambaran kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia tidak pernah sesuram dan setidak-cerdas seperti sekarang.

Kini, tidak mungkin menemukan dalil dan data yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa masyarakat kita sekarang, dari sudut pandang akhlak mulia, sudah jauh lebih baik dari situasi ketika kita baru mulai merdeka. Juga tidak ada argumen yang dapat membenarkan bahwa praksis pendidikan hari ini adalah tafsir yang paling benar sesuai dengan amanah konstitusi dan filosofi pendidikan nasional. Dari sudut pandang akhlak mulia, kita tidak beranjak maju; juga tidak berjalan di tempat; kita bergerak mundur! Sebagian kecil dari kita memang sempat bergelimang di dalam lautan kemewahan material, tetapi sebagai bangsa secara keseluruhan, kita menjadi bangsa yang semakin miskin di dalam akhlak dan perilaku: semakin nekat, semakin kasar, semakin beringas, semakin mengerikan.

Ambillah kepatuhan masyarakat terhadap berbagai peratuan dan ketentuan hukum yang didesain untuk kemaslahatan bersama. Di depan mata dunia sehari-hari, terutama di mata para perintis dan pejuang kemerdekaan yang masih hidup dan oleh anak-anak bangsa yang mempersiapkan diri belajar hidup, dengan jelas nampak setiap saat, di mana-mana, semakin hilangnya kepedulian akhlak mulia. Masyarakat makin menjadi apatis. Lalu apa respons kebijakan pendidikan? Lihat kebohongan publik, pemalsuan berskala superlatif, dan berbagai kejahatan tingkat tinggi yang mencengangkan dunia dan senantiasa dipertontonkan oleh mereka yang mengaku memimpin dan mewakili rakyat. Lihat pejabat yang melakukan korupsi, lihat para politisi muda yang menggadaikan idealismenya untuk kedudukan, lihat guru yang tidak beretika tapi membenarkan perilaku mereka sebagai pendidik, lihat para mustadafin yang bunuh diri karena perutnya lapar. Lihat, lihat.. lihat apa saja, di lapisan masyarakat mana saja.
Dari sudut manapun kita melihat masyarakat dewasa ini, bentuk, jenis, dan intensitas demoralisasi dan dekadensi yang mencuat di dalam kehidupan sehari-hari semakin beragam dan bahkan seringkali muncul di luar imaginasi masyarakat yang waras. Lalu apakah sikap kita yang masih peduli akan masyarakat yang waras, dan yang masih tetap setia di dalam mempertahankan amanah konstitusi? Apakah ini semua bukan masalah yang sepatutnya mendapat perhatian utama bidang pendidikan?

Namun, kalau kebijakan pendidikan lebih tertarik pada persoalan-persoalan lain yang mendukung kepentingan politik praktis, siapa lagi yang diharapkan menanganinya? Tentu tidak ada orang yang rela membiarkan gejala keruntuhan adab dan budaya bangsa berlangsung tanpa henti, dan tanpa titik nadir. Tentu tidak ada seorangpun yang membenarkannya. Tetapi mengapa apatisme, demoralisasi dan dekadensi ini berjalan semakin dahsyat? Ketidakmampuan bangsa ini berbahasa inggris tidak bersangkut-paut dengan rendahnya akhlak mulia bangsa, ini tidak akan meruntuhkan moralitas bangsa. Tetapi tanpa akhlak mulia, bangsa ini berada di ambang keruntuhan.Implikasi semua ini sudah seharusnya jelas, harus ada perombakan yang menyeluruh mengenai kebijakan dan pengelolaan pendidikan nasional.