08 February 2010

Gus Dur, Demokrasi dan Multikulturalisme

Oleh Adhi Darmawan
Alumnus Ponpes Ciganjur

Siapa yang tidak kenal dengan nama KH. Abdurahman Wahid atau yang akrab dipanggil dengan sebutan Gus Dur? Sebagai mantan Presiden Republik Indonesia, tentu semua masyarakat kita mengenalnya dengan baik. Sebagai seorang negarawan dari kalangan ulama, Gus Dur memang layak mendapatkan nama besar, pasalnya, disamping dirinya memiliki otoritas kharismatis, dalam ruang Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur juga memiliki otoritas tradisional yang merupakan garis dari keturunan kakeknya, KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri NU. Gus Dur adalah seorang cucu dari dua serangkai pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisyri Sansuri, dan ibunya Solikhah, adalah putri dari Kiai Bisyri Sansuri. Tak hanya itu, sosok seorang Gus Dur yang konsisten membela demokrasi, pluralisme, kaum minoritas, dan orang yang tertindas, menjadikannya memang benar-benar layak menyandang nama Abdurahman Wahid.
Dalam 40 (empat puluh hari) kepergian Gus Dur ini, sebagai salah satu santri dari pondok pesantren Ciganjur, tentunya saya memiliki banyak sekali kenangan terhadapnya. Luasnya cakrawala berfikir Gus Dur menjadikannya lengkap sudah gelar yang dilekatkan kepadanya dari mulai Kyai, budayawan, pendekar demokrasi, hingga bapak multikulturalisme Indonesia.

Ketika berdiskusi dengan Gus Dur, sepertinya ilmu yang saya miliki selalu kurang. Dengan nada yang datar, mengalir berpuluh-puluh kata yang diungkapkan Gus Dur dengan pilihan kata sederhana, tapi kaya akan makna. Sepertinya Gus Dur sangat mengetahui pilihan kata yang serasi dengan kondisi umum sosiologis masyarakat Indonesia yang sederhana, tapi kompleks persoalan yang harus dijawab. Gus Dur terlihat sangat menguasai sekali apa saja persoalan bangsa, bagaimana cara memecahkannya baik dari sisi pendekatan akademis dengan menggunakan teori maupun langsung implementasinya. Dari situlah, pemikiran Gus Dur menunjukkan akurasi tertentu sesudah melewati fase-fase diskursus serta silang opini publik yang ramai di seberang ide maupun gagasannya hingga kerap kali tanpa disadari memunculkan kontroversi di ranah ruang publik.

Bagi Gus Dur sendiri, tampaknya setiap gagasan dan pemikiran akan lebih memotivasi adanya gagasan atau pemikiran lain yang diposisikan secara berhadap-hadapan. Oleh karena itu, Gus Dur kerapkali meletakkan gagasan dan pemikirannya ditawarkan dalam format yang terkesan kontroversial dan bersifat oposisi dari arus utama rasionalitas publik. Dalam banyak perspektif, ide-ide dan pemikirannya hendak menciptakan paradigma baru yang menerobos batas-batas konvensi lama yang telah tersusun sebelumnya. Dengan tampak sebagai seorang aliran kritis aktif, Gus Dur membangun ruang pemikiran intelektualnya dalam basis keilmuan untuk mempertanyakan ulang, mempersoalkan sekaligus memberikan alternatif sebagai jawaban.

Hal ini dapat dirasakan dari paradigma Gus Dur yang melihat obyektivitas pemikiran bukan sekadar motif dan tendensi politik, melainkan konsensus ilmu pengetahuan terhadap kemungkinan yang lebih mendekati kebenaran dan cocok dengan hati nurani. Landasan berpikir seperti ini mengukuhkan persepsinya menolak formalisme penafsiran yang merujuk pada teks-teks ajaran Islam sekaligus mempersoalkan pandangan yang bertumpu pada dalil-dalil semata, tanpa merepresentasikan unsur rasionalitas. Persepsi seperti ini juga, menyebabkan keyakinan Gus Dur memberi penghomatan penuh terhadap keyakinan dan ajaran agama-agama lain.

Dalam benak para santrinya di Pondok Pesantren Ciganjur, pengalamannya bersama Gus Dur tentu sangat berkesan. Gus Dur dikenal para santrinya sebagai seorang ulama kharismatik, guru bangsa, seorang begawan dan seorang semar dalam dunia pewayangan. Saya secara pribadi, jika ingat akan Gus Dur, maka yang diingat detik itu juga adalah buku. Mungkin ini pengaruh dari kayanya ilmu yang dimiliki Gus Dur hingga yang terbesit dalam benak kami melihat Gus Dur adalah perpustakaan berjalan, Gus Dur selalu menjadikan kami selalu haus akan ilmu pengetahuan.

Sosok seorang Gus Dur yang muncul dalam benak para santrinya di Pesantren Ciganjur juga merupakan sosok yang mereka idealkan sebagai sosok yang istiqomah adalam mengaji dan sangat menghormati prinsip-prinsip keberagaman, keadilan, serta kemanusiaan. Pada beberapa sisi, Gus Dur juga adalah sosok yang konsisten dan tegas dalam menentukan titik sudat pandang, serta cerdik dalam menyikapi situasi dan kondisi umat. Konsistensi Gus Dur terhadap semua hal bisa terlihat dari hal-hal yang terkecil seperti kebiasaan mengkaji kitab atau bedah buku setiap hari Sabtu pagi. Sekalipun waktunya sangat sempit karena kesibukannya, Gus Dur senantiasa meluangkan waktunya ketika telah menjadwalkan pengajian. Hampir-hampir tidak pernah meninggalkan pengajian walaupun jadwal di tempat lain sangat padat. Bahkan dalam keadaan tidak sehat, kerapkali Gus Dur meluangkan waktunya untuk memberi ilmu sebelum berangkat ke rumah sakit untuk berobat.
Bingkai Demokrasi dan Multikulturalisme

Terkait dengan konsep demokrasi, saya ingat ketika Gus Dur mengomentari buku Samuel P.Huntington dan Joan Nelson (1990) yang saya paparkan dalam bedah buku. Senada dengan Huntington, Gus Dur sepakat bahwa keberadaan kontes dan partisipasi merupakan syarat minimal mutlak yang harus ada dalam sebuah pemerintahan jika ingin disebut sebagai pemerintahan yang demokratis. Sekalipun pemilihan umum tidak dapat menghasilkan idealitas menurut sebagian besar orang itu, akan tetapi dalam demokrasi, pemilihan umum yang terbuka, bebas, dan adil adalah esensi demokrasi.

Oleh karena itu, pemilihan umum yang terbuka, bebas dan adil inilah yang menjadi makna minimalis bagi suatu negara atau system politik disebut demokratis atau tidak, disamping ada dua syarat demokrasi minimalis lainnya, yaitu adanya pembatasan kekuasaan dan stabilitas atau institusionalisasi yang mengacu pada derajad manakah system politik demokrasi itu diharapkan dapat tetap hidup.

Dalam hal partisipasi politik sebagai ciri demokrasi, Gus Dur agak kurang sepaham dengan Huntington yang menuliskan pada banyak negara, orang yang berpendidikan tinggi telah diakui sangat mempengaruhi partisipasi politik, hal ini bisa jadi karena pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa, dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik. Bagi Huntington, pola partisipasi politik yang dilakukan oleh kaum miskin atau kelas bawah tetap akan dimotori atau dipimpin oleh politisi kaum elit atau kelas menengah, dimana tujuan dari para kelas menengah itu terkait dengan adanya komitmen ideologis dan atau jawaban terhadap persaingan politik yang ada. Dari sisi partisipannya, tujuan yang dikedepankan adalah untuk memperbaiki keadaan materi- materi diri sendiri dan sesamanya, dengan bentuk-bentuk tindakan kolektif, seperti dengan memberikan suara, berkampanye, dan berdemonstrasi.
dalam pandangan Gus Dur, partisipasi politik antara warga Negara di Negara maju dengan Negara berkembang seperti Indonesia tentulah berbeda bentuknya. Hal ini terkait dengan tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, dan sebagainya dinegara berkembang berbeda dengan Negara maju. Dalam Negara berkembang, justru kaum yang berpendidikan tinggi biasanya cenderung partisipasi politik dalam hal pemberian suara pada pemilunya rendah, sebagai contoh hampir kebanyakan yang mengambil sikap golongan putih (golput) adalah kaum terdidik. Tentang hal ini sepertinya Gus Dur telah memahami betul kondisi sosial masyarakat Indonesia. Bagi Gus Dur, bagaimanapun tidak semua buku hasil penelitian di negara maju sama dengan di negara berkembang seperti Indonesia.

Lebih dari itu, Gus Dur menjelaskan bahwa keberadaan demokrasi dapat terwujud jika masing-masing individu harus menghormati hak orang lain yang berbeda pendapat, berbeda aliran, keyakinan, dan sebagainya terutama pada kaum minoritas. Tanpa menghargai keberadaan keberagaman bangsa yang plural, multi etnis, multi kultur, dan sebagainya susah demokrasi dapat diwujudkan. Inilah yang menjadi titik pijak Gus Dur melihat demokrasi.

Tentang pluralism dan multikulturalisme, banyak yang telah diperlihatkan Gus Dur dalam keberpihakannya terhadap pluralisme dan multikulturalisme. Bagi Gus Dur pluralisme bukanlah sebuah wacana dan bukan pula sekedar perjuangan untuk menjadi realitas kehidupan bersama, akan tetapi, pluralisme adalah eksistensi kehidupan dan menjadi sebuah penghayatan eksistensial bagi dirinya. Karena itu, konsekuensi logisnya, ia menerima adanya tafsir beragam-ragam atas sikap eksistensi hidupnya. Hidupnya adalah sebuah teks multitafsir yang beragam. Yang berarti kontroversi, perbedaan, dan keragaman tafsir atas sikap dan penghayatan hidup Gus Dur sudah menjadi konsekuensi logis dari eksistensi Gus Dur.

Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengakuan akan adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara budaya, agama, politik, ataupun jenis kelamin. Menerima dan menghayati multikulturalisme berarti mengakuai keberadaan orang lain dalam perbedaan dan keberlainannya. Implikasi dari pengakuan ini, semua orang dan kelompok masyarakat yang beragam itu harus dijamin dan dilindungi haknya untuk hidup sesuai dengan keunikan dan identitasnya. Dasar dari pengakuan, jaminan, dan perlindungan ini adalah kemanusiaan. Setiap orang memungkinkan bisa berkembang menjadi dirinya sendiri dalam keunikannya, baik menyangkut masalah agama, jenis kelamin, suku, budaya, aliran politik, dan lain-lain.

Bagi Gus Dur, adanya sikap pemaksaan terhadap keberagaman bangsa merupakan pelanggaran atas harkat dan martabat manusia, dan sekaligus juga mengingkari akan adanya identitas dan jati diri setiap orang sebagai pribadi yang unik. Sangat disesalkan sekali jika hal ini dilakukan oleh pihak otoritas Negara, atau pemerintah yang seharusnya menjaga “Bhineka Tunggal Ika”, keberagaman terhdap bangsanya. Semua ini diresapi benar oleh Gus Dur secara konsisten, sekalipun kadang dianggap orang lain dianggap nyeleneh dan kontroversial. Hal ini merupakan risiko dari pilihan politik atas multikulturalisme.

Kita tentu mengingat bagaimana Gus Dur bersikap membela Inul Daratista ketika dirinya di hujat ampilan goyang ngebornya yang dianggap seronok, atau bisa kita lihat bagaimana Gus Dur membela kaum Ahmadiyah ketika keberadaannya dianggap telah melecehkan Islam, karena seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal bahkan seorang Ustadz Abu Bakar Baasyir pun yang secara garis pemikiran berseberangan sempat Gus Dur bela saat dirinya dipojokkan pemerintah. Bagi orang lain mungkin langkah Gus Dur aneh, tpi bagi Gus Dur, memaksa orang lain menjadi sesuai idealitas kita, atau menghambat orang lain menjadi dirinya sendiri, sama artinya dengan membangun monokulturalisme. Yang berarti antimultikulturalisme.

Yang menarik dalam diri Gus Dur, toleransi pertama-tama dihayatinya bukanlah sekadar membiarkan orang lain menjalankan identitas kulturalnya, dalam pengertian yang luas seperti mencakup budaya, suku, agama, adat istiadat, jenis kelamin, dan aliran politik. Bukan pula hanya sekadar tidak ntervensi, tidak melarang, tidak mengganggu, tidak menghambat, serta tidak merecoki orang lain dalam penghayatan identitas budayanya. Toleransi negatif-minimalis inilah yang masih menjadi perjuangan berat bagi kita semua.

Tentang toleransi sebagai salah satu dasar dari multikulturalisme, Gus Dur justru menghayati dan mempraktikkannya langsung dengan membela kelompok mana saja, termasuk khususnya minoritas yang dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih dari itu, Gus Dur mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas budayanya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain, tidak melakukan intervensi, apalagi melakukan hegemoni. Dengan pemikirannya yang demikian, maka tidaklah heran jika kemudian Gus Dur memiliki hubungan yang baik dengan semua kelompok. Gus Dur justru mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik, Gus Dur juga mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik. Dan seterusnya. Toleransi ini benar-benar dihayati Gus Dur secara konsekuen, bahkan talah melekat dalam kepribadiannya, tanpa kalkulasi politik dan tanpa dipolitisasi untuk kepentingan politik apa pun selain demi menjaga keberagaman dan rasa kemanusiaan, mendorong semua manusia menjadi dirinya sendiri yang unik tanpa merugikan pihak lain.

Kata demokrasi, toleransi, egaliter, advokasi, solidaritas, inklusif, populis, pluralisme, di antara beberapa password dari mata rantai dan bunga rampai deskripsi pemikiran-pemikirannya kemudian dipertautkan dengan ide-ide kebangsaan yang bersentuhan dalam konteks luas hak-hak asasi manusia, penolakan anarkisme, penerimaan multikulturalisme, perbedaan cara beragama, marginalisasi kaum minoritas, kebebasan berekspresi, desakralisasi kekuasaan, dominasi kebijakan negara yang sentralistik dan depolitisasi militer. Pada konteks ini, Gus Dur menampik keras pembacaan dan penafsiran teks-teks agama-politik-sosial dan budaya pihak manapun yang didesakkan dengan semangat hegemonik serta dikotomik.

Pluralisme menurut Gus Dur, menjadi niscaya dalam kehidupan sosial serta diskursus keberagamaan di negeri ini. Sehingga akan membuka lebar pintu-pintu persaudaraan kemanusiaan dan persaudaraan kebangsaan untuk siapa pun. Begitu juga persaudaraan sesama umat Islam. Oleh karena itu, masalah agama, toleransi beragama dan solidaritas keberagamaan di republik dengan latar multikulturalisme yang kompleks, tanpa dibarengi sikap kosmopolit dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama yang universal yang bertumpu pada kesalihan individual, akan mudah tersulut konflik.

Beragama dengan menekankan sisi perbedaan menjadi sentral, yang menafikan faktor-faktor internal primordialitas perlahan terhunus menjadi sebentuk totaliterianisme serta pemujaan setiap kelompok etnis masyarakat secara ekstrem dan radikal.
Langkah Gus Dur yang demikian memperlihatkan sikap tulusnya dalam mendukung demokratisasi dan dalam karakternya masing-masing dan mendorong segenap elemen bangsa menjadi dirinya sendiri. Secara pribadi, Gus Dur pun demikian, dengan Gus Dur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen agar menjadi orang yang baik sesuai dengan ajaran agamanya, Gus Dur justru semakin menjadi seorang Muslim yang baik dan tulen pula.

Gus Dur tokoh Islam yang terbuka, seorang intelektual yang berwawasan luas. Latar belakang pendidikannya yang ala pesantren tradisional, kemudian di Cairo dan Baghdad antara lain yang telah membentuk karakter pemikirannya yang khas. Gus yang kemudian menjadi sangat pluralis, tentu tak lepas dari interaksi keilmuannya dengan pemikiran-pemikiran Barat. Gus Dur melampaui cara pikir kebanyakan ulama NU lainnya.
Sekalipun sebagai seorang yang terjun dalam dunia politik tidak menutup kemungkinan menjadikan adanya orang yang tidak suka kepadanya, akan tetapi secara luas pemikiran Gus Dur dapat diterima oleh publik dengan baik, terutama dalam pemaknaannya akan arti sebuah keberagaman. Hal ini dapat terbukti ketika jenazah Gus Dur akan disemayamkan di Jombang, semua orang berdiri sepanjang jalan memberi penghormatan terakhir kepadanya.

Gus Dur adalah tokoh bangsa yang memahami Islam sebagai agama yang dinamis dan transformatif. Pemikiran Gus Dur yang melampaui zamannya itu sangat relevan dalam konteks Indonesia kontemporer yang multikultur. Bagi banyak orang, ruang Gus Dur di NU, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Indonesia terlalu sempit. Sudah selayaknya Gus Dur menjadi tokoh internasional dengan mengantongi penghargaan Nobel Perdamaian. Menisbatkan Gus Dur sebagai lokomotif demokrasi dan bapak multikulturalisme Indonesia kiranya tidak berlebihan, hal ini mengingat konsistensi Gus Dur dalam hal pembangunan demokrasi dan multikulturalisme yang sangat luar biasa besarnya.

No comments: