28 April 2010

MENATA ULANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG

Adhi Darmawan
Peneliti The Habibie Center

Memasuki 21 Mei 2010, telah genap 12 (dua belas) tahun sudah, Indonesia berada dalam era reformasi, sebuah era yang ditandai dengan truhtuhnya rezim orde baru, sebuah era dimana demokrasi menjadi “Major Issue” yang mewarnai sistem pemerintahan negara. Semangat demokratisasi dalam era reformasi berhasil melahirkan sejumlah Undang-Undang, diantaranya yaitu Undang-Undang tentang sistem pemerintahan daerah Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ditentukan bahwa letak otonomi daerah ditekankan pada daerah kabupaten, dan untuk pemilihan kepala daerahnya, baik kabupaten maupun provinsi ditentukan dengan cara pemilihan langsung (Pilkadasung). Hingga tahun 2010 ini, sudah banyak sekali daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerahnya secara langsung oleh masyarakat, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2010 ini saja, setidaknya ada 224 daerah baik provinsi, kabupaten, serta kota yang akan melaksanakan pilkadasung.

Layaknya sebuah sistem yang memiliki kelebihan dan kekurangan, pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai perwujudan dari sistem demokrasi proseduralpun memiliki kelebihan dan celah. Pada Pilkadasung, partisipasi politik dalam wujud pemberian suara oleh rakyat secara langsung mungkin menjadi kelebihan, hanya saja perlu diingat bahwa dalam proses ini, anggaran yang dibutuhkan sangatlah besar, sementara tujuan dari demokrasi untuk kesejahteraan rakyat belum pasti tercapai.

Pada ruang deliberative, sebuah ruang dimana masyarakat bisa menyampaikan pendapatnya seluas-luasnya dengan mengacu prinsip-prinsip diskursus seperti, kritis, rasional, terbuka dan equel (setara), Pilkadasung tampaknya memang menguntungkan. Sebab, prinsip-prinsip diskursus sebagai hal yang disayaratkan dalam deliberative demokrasi dapat terpenuhi disitu. Salah satu prinsip diskursus seperti harus berbicara pada posisi yang equel misalnya, dapat diwujudkan dalam bentuk rakyat memiliki kesempatan yang sama dalam memberikan suaranya di tempat pemungutan suara (TPS).

Sisi keuntungan lainnya dari Pilkadasung dapat terlihat dari adanya kesempatan yang luas untuk segenap elemen masyarakat dalam proses partisipasi politik. Segenap masyarakat yang memenuhi kriteria tertentu seperti sudah berusia tujuh belas tahun atau sudah menikah, tidak pernah melakukan tindakan kriminal, dan sebagainya memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih. Bagi sebagian besar masyarakat, pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat juga mungkin dianggap lebih layak dibandingkan dengan dipilih oleh DPRD.

JIka kita melihat fenoma Pilkadasung dari sudut pandang Huntington,seorang guru besar ilmu politik Amerika Serikat, maka Pilkadasung adalah bentuk demokrasi prosedural yang menjadi prasarat dari demokrasi minimalis, sebuah konsep demokrasi yang mengatakan sistem pemerintahan negara dikatakan demokratis jika minimal terdapat kontes dan partisipasi seperti adanya pemilihan umum. Sistem demokrasi minimalis ini dianggap demokrasi yang belum sempurna, sebab demokrasi sebagai sistem politik yang dipakai untuk menggapai kesejahteraan sejatinya tidak hanya dapat selesai sampai hanya pada batas minimalis ini, tapi harus keranah yang lebih substansial, yakni kesejahteraan itu sendiri.

Dari sisi substansi demokrasi, maka Pilkadasung sudah selayaknya ditinjau ulang. Jika dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan Pilkadasung dalam satu daerah saja 10 Milyard, maka dalam 100 daerah yang melaksanakannya akan terbuang dana 1 Trilyun. Sebuah angka yang sangat berarti dalam pembangunan baik fisik maupun non fisik untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Permasalahan yang muncul, besarnya anggaran yang dikeluarkan dalam Pilkadasung belum berbanding lurus dengan kualitas pemerintah yang terbentuk dari hasil pilkadasung itu.

Sekalipun anggaran pilkadasung sangat besar, tapi tidak berpengaruh pada kualitas kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih. Bahkan sebaliknya, alih-alih berusaha menjalankan demokrasi minimalis, malah justru berpotensi memunculkan aktor politik yang tidak berkualitas dan terwujud perilaku politik yang tidak sehat. Mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan dan mengikuti pilkadasung justru berbanding lurus dengan meningkatnya angka kepala daerah dan wakil kepala daerah yang menjadi tahanan kasus korupsi, dan kasus penyalahgunaan wewenang lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa Pilkadasung tidak menjadi sebuah garansi bahwa pemerintahan yang terpilih dalam Pilkadasung pasti lebih berkualitas dari pada yang terpilih dari bukan Pilkadasung. Dari fakta ini, sudah selayaknya kita harus berani menata ulang secepatnya proses pelaksanaan pilkadasung. Demokrasi minimalis boleh saja menjadi pijakan awal terlaksananya kehidupan masyarakat yang demokratis, hanya saja, demokrasi minimalis bukanlah tujuan, tapi merupakan sebuah fase awal untuk bergerak dalam pencapaian kehidupan masyarakat yang sejahtera, yang merupakan tujuan utama dari substansi demokrasi dan hakekat utama dari konsep politik.

Ide yang mangatakan bahwa pemilihan kepala dan wakil kepala daerah provinsi cukup dilakukan oleh pemerintah pusat, sebagaimana pemerintahan provinsi merupakan penjelmaan pemerintah pusat yang ada didaerah. Sementara itu, ide yang mengatakan bahwa pemilihan kepala dan wakil kepala daerah kabupaten cukup dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat saja, perlu juga diperhatikan sekalipun konsekuensinya harus merevisi Undang-Undang.

Antara mekanisme pilkadasung dengan pilkada oleh DPRD, memang tetap tidak menjamin kualitas kepemimpinan kandidat yang terpilih. Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Pilkadasung ditiadakan selain besarnya anggaran yang harus dikeluarkan. Pertama, sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, telah disebutkan bahwa Desa adalah pemerintahan terendah Negara yang memiliki status otonomi dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sejak republik Indonesia belum lahir –bentuk pemerintahan yang dipakai adalah monarkhi- sistem pemerintahan Desa juga sudah otonom dari kerajaan pusatnya. Tiap kepala desa sudah dipilih langsung oleh warga masyarakatnya sekalipun Rajanya dipilih secara turun-temurun. Atas dasar ini, maka letak otonomi daerah yang diterapkan di tingkat kabupaten kurang tepat. Akibat yang terjadi dari otonomi ditingkat kabupaten yaitu, banyak pembangunan yang ditentukan oleh pemerintah kabupaten tidak tepat guna sesuai kebutuhan masyarakat desa. Banyak pula peraturan daerah kabupaten tidak menjawab kebutuhan masyarakat Desa, sebab antar Desa tentu beda kebutuhan., peraturan desa (Perdes) yang telah dibuat pemerintah Desa pun seringkali tidak dapat dijalankan oleh karena adanya Perda.

Kedua, dari sisi psikologis, seorang kepala daerah provinsi, kepala daerah kabupaten dan walikota merasa sama kedudukannya dengan seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, ini yang menimbulkan adanya istilah raja-raja kecil. Al hasil, tidak sedikit kepala daerah atau walikota yang merasa perlu merumuskan kebijakan sendiri tanpa mengindahkan kebijakan pemerintah pusat. Perda syariat adalah salah satu contoh, pemerintah daerah banyak memfikirkan akhlak, pemerintan pusat menjadi semakin galau atas kemunculannya, sementara masyarakat didaerahnya semakin tidak tahu harus berbuat apa, sebab bagi yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, yang ada dalam benak mereka yaitu bagaimana supaya bisa bercocok tanam tanpa kekurangan air misalnya.

No comments: