29 April 2010

Perlu Ruang Publik Baru Dalam Hari Buruh

Oleh Adhi Darmawan
(Peneliti The Habibie Center)

Memperingati Hari Buruh 1 Mei 2010, sekitar 30 organisasi buruh yang bergabung dalam Gerakan Satu Mei (GSM) 2010 akan menggelar aksi unjuk rasa besar baik di Jakarta maupun kota-kota lainnya. Khusus di wilayah Jakarta, GSM 2010 akan dipusatkan di Istana Negara, Jakarta, yang diperkirakan akan diikuti oleh sekitar 10 ribu orang. Beberapa organisasi seperti Konfederasi KASBI, Aliansi Jurnalis Independen, LBH Jakarta, Serikat Pekerja Angkasa Pura dan Serikat Pegawai Bank Mandiri sudah menyatakan dirinya akan mengikuti aksi GSM 2010 ini.
Sekalipun sebagian besar serikat buruh yang akan berunjuk rasa sepakat tidak akan melakukan tindakan anarkis, bahkan ada yang memilih aksi renungan daripada turun ke jalan, akan tetapi tidak ada yang menjamin bahwa unjuk rasa dengan menerjunkan massa yang sangat besar tidak akan berbuntut kerusuhan. Hari sepertinya telah menjadi momentum untuk melakukan aksi demonstrasi yang dilakukan para buruh atau pekerja guna menuntut segala sesuatu yang dirasa menjadi haknya sebagai warga negara. Sejak beberapa tahun lalu, beberapa tuntutan yang diusung dalam demo buruh yang paling keras disuarakan yaitu dihapuskannya sistem kerja kontrak atau outsourching. Untuk tahun ini, GSM 2010 menilai bahwa kebijakan pemerintahan SBY-Boediono selama ini telah memihak pada kepentingan pemilik modal. Indikator keberpihakan pemerintah kepada pemilik modal ditandai oleh rancangan revisi Undang-undang Ketenagakerjaan yang berupaya menghapus kewajiban para pengusaha memberikan pesangon.
Tuntutan utama yang dilakukan oleh para buruh ini, dari tahun ketahun -terutama setiap menjelang tanggal 1 Mei- seperti isu yang tidak ada usangnya, sebuah masalah yang seolah tidak pernah ada jalan keluarnya, sebuah diskursus yang tidak pernah mencapai konsensus antara buruh, pemerintah dan pengusaha. Tanggal 1 Mei yang ditetapkan sebagai Hari Buruh seolah menjadi budaya bahwa saat-saat ini adalah kesempatan sangat penting untuk melakukan diskursus kesejahteraan buruh. Beribu-ribu buruh menyampaikan pendapatnya, pengusaha bersiap-siap mengamankan asset perusahannya, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan sibuk bersiap diri untuk melakukan pengamanan. Jalanan dan ruang publik lainnya seperti arena para buruh untuk dapat memperbaiki nasibnya.
Dalam ruang publik tempat dimana demonstrasi buruh berlangsung, dapat terpetakan ada tiga kategori kepentingan. Pertama, kepentingan dari para buruh agar kesejahteraan yang menjadi bagian dari kepastian hidupnya dapat terpenuhi. Sebab, melalui penerapan sistem kontrak yang selama ini berjalan, selain dirasakan adanya keberadaan intimidasi yang terjadi pada kelompok para buruh hingga serikatnya diberangus dengan alasan untuk menstabilitaskan perusahaan, dirasakan telah terbukti menempatkan buruh pada jurang kemiskinan. Pasca UU No. 13 tahun 2003 disahkan, praktek sistem kerja kontrak merajarela bak jamur di kala hujan, hampir semua perusahaan memberlakukan sistem kerja kontrak dalam bentuk kontrak kerja yang pendek dan atau outsourcing.
Kedua, kepentingan para pengusaha agar perusahaannya tetap dapat berjalan dan tidak merugi. Dalam prakteknya, banyak perusahaan yang menerapkan sistem kerja kontrak atau bahkan outsourcing yang dinilai perusahaan dapat lebih menguntungkan terkait dengan efisiensi dan efektifitas kerja para karyawannya. Dengan sistem kerja kontrak, para buruh dituntut untuk dapat bekerja maksimal, sementara itu perusahaan bisa meminimalisir tuntutan tanggung jawabnya terhadap para buruh yang telah bekerja kepadanya, termasuk tidak memberikan pesangon.
Selain buruh dan pengusaha, yang memiliki kepentingan ketiga dalam ruang publik ini yaitu pemerintah. Kepentingan pemerintah yaitu bagaimana agar dapat terwujud kepastian investasi yang akan berpengaruh terhadap pendapatan negara, sehingga dapat tetap dipertahankan untuk membiayai berjalannya roda pemerintahan. Sekalipun pemerintah memiliki kewajiban memberikan lapangan pekerjaan dan jaminan kehidupan yang layak kepada warganya, akan tetapi pemerintah dalam hal ini tidak mudah begitu saja menghilangkan sistem kerja kontrak. Pasalnya, kelompok pengusaha tentu keberatan jika peraturan kerja kontrak. Bagi para pengusaha, kerja kontrak tetap dibutuhkan untuk menilai profesionalitas dan kredibilitas pekerja.
Dalam terjadinya perbedaan kepentingan antara para buruh, pengusaha dan pemerintah ini, sangat rawan terjadi pembangkangan sipil hingga benturan fisik dalam ruang publik dimana para buruh menyampaikan aspirasinya. Apa lagi kelompok buruh, sebagai salah satu pihak yang berkepentingan setiap tahun sepertinya akan membisakan dirinya turun kejalan dengan jumlah massa yang sangat besar hingga apa yang menjadi tuntutaannya dapat terpenuhi. Para kelompok buruh terlihat telah merasa bahwa saluran-saluran aspirasi yang ada dalam negara sekarang ini telah tersumbat sehingga tidak ada cara lain yang harus dilakukan untuk menuntut pemerintah agar lebih memperhatikan haknya selain dengan demonstrasi.
Dari sisi pemerintah, tampaknya juga tidak akan dengan begitu mudahnya menyerap setiap keinginan para buruh terkait dengan keberadaan para pengusaha yang merasa dirugikan, atau bahkan bisa gulung tikar jika pemerintah salah mengeluarkan kebijakan. Oleh karena itu, peringatan Hari Buruh yang seolah menjadi budaya dengan melakukan aksi demonstrasi yang melibatkan aksi massa besar sebaiknya dihentikan, cukuplah kekerasan yang merenggut korban jiwa dalam kaitannya dengan tuntutan para buruh dihentikan. Keberadaan ruang publik yang berada dijalan raya sebaiknya dipindah dalam meja perundingan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Ciptakan ruang publik yang memiliki bersifat kritis, bebas tekanan, dan equel tidak harus di jalan raya, tapi bisa ditempat yang lebih aman dan cara yang lebih efektif untuk mewujudkan konsensus bersama

No comments: