02 November 2008

Bangkitlah Bangsaku, Jayalah Negeriku

Oleh Adhi Darmawan

Indonesia sebagai bangsa yang besar, akan terus utuh dan berkembang jika ditopang oleh kualitas sumber daya manusianya yang baik. Adalah Ir. Soekarno, Drs Moh. Hatta dan teman-teman seperjuangannya, yang merupakan para pemimpin besar, yang telah berhasil meletakkan nilai-nilai persatuan, sebagai pondasi dalam bangunan rumah sederhana yang disebut Indonesia. Rumah yang pluralistis dan egalitarian. Berbagai macam suku, bahasa, agama, ras, adat-istiadat, dsb ada di dalamnya.

Secara geneologis, proses terbentuknya Indonesia sebagai sebuah bangsa telah berlangsung lama. Dimulai dari keberadaan kerajaan-kerajaan kecil, yang bermetamorfosa menjadi kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Sriwijaya, Mataram Hindu, Mataram Islam, Siliwangi, dan lain-lainnya. Proses metomorfosa tersebut pada puncaknya memunculkan identitas nasionalisme ekonomi, politik serta budaya yang dideklarasikan HOS Cokro Aminoto dkk melalui institusi Serikat Islam (SI) 1905. Proses identifikasi identitas nasionalisme ekonomi, merupakan suatu gerakan perlawanan ekonomi, yang dilakukan oleh para pengusaha muslim, terhadap dominasi dan hegemoni ekspansi kapitalisme kolonial Belanda. Para pengusaha muslim nasional, membangun supremasi ekonomi berbasis kerakyatan dan memiliki komitmen ideologis muslim nasionalis. Beberapa tahun berikutnya, pada tahun 1908 muncul kelompok Budi Utomo, yang membangun identitas nasionalisme, sebagai sebuah kekuatan politik lokal yang membasis di Pulau Jawa.

Semangat nasionalisme, berikutnya dikukuhkan dan diproklamirkan secara politik pada tahun 1928 melalui deklarasi sumpah pemuda. Deklarasi inilah yang menjadi sumber filosofi dan dasar konstitusional melahirkan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kedaulatan politik, hukum, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan, diperoleh Indonesia pada tahun 1945, setelah dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta

Setiap manusia hidup mempunyai tiga hak yang prinsipil, yaitu hak akan kemerdekaan, hak akan keadilan, serta hak akan kesejahteraan. Jika salah satu dari ketiga hak yang prinsipil itu terabaikan, maka akan berpeluang menimbulkan keresahan yang dapat memicu timbulnya gejolak. Sebagai bangsa besar yang terdiri dari beribu-ribu pulau, bermacam-macam suku, adat-istiadat, bahasa, budaya, agama, dsb. Indonesia jelas sangat rawan sekali akan dis-integrasi bangsa. Jika tidak terkelola dengan baik, maka jelas, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan Negara akan tercerai berai.

Setelah Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tidak lagi berkuasa, pada tahun 1998 muncul era baru yang disebut sebagai era reformasi. Banyak orang berharap dalam era reformasi ini, demokrasasi di-Indonesia dapat tumbuh dan berkembang lebih massif untuk dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Sejarah mencatat bahwa reformasi pada tahun 1998 telah menyisakan berbagai sejarah hitam politik, ekonomi bangsa yang belum selesai menentukan arahnya. Pondasi yang dibangun oleh Orde baru selama 32 tahun akhirnya hancur dengan begitu cepatnya akibat dari pengaruh kebijakannya yang dianggap sebagian orang penuh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Buah dari gerakan 1998 adalah semakin terbukanya ruang-ruang demokrasi yang selama ini tertutup, artinya saluran demokrasi dibuka secara luas. Akan tetapi terbukanya ruang demokrasi tersebut, justru membuat arah perubahan menjadi tidak terkontrol. Konflik rasialis begitu kuatnya pasca 98- konflik Sampit, Poso, Papua, sampai pada Aceh dan lain-lain yang dikarenakan sekat-sekat politik buntu sebagai akibat dari politik kekerasan Orde Baru. Akibatnya adalah munculnya gerakan pembebasan sebuah bangsa- negara bangsa. Indonesia yang dikontruksikan oleh borjuasi nasional secara terpaksa, justru berdampak pada apa yang terjadi saat menjadi fakta empirik yaitu munculnya gerakan pembebasan.

Menguatnya pembebasan Aceh dan Papua dalam paruh tahun 2002 merupakan contoh dari kebijakan politik Orde Baru yang terus mengekspotasi wilayah tersebut tanpa memberikan kompensasi yang seimbang. Gerakan ini kemudian menyulut daerah lain untuk melakukan pembebasan walaupun dalam konteks historis sangat berbeda seperti Riau, dan lain sebagainya.

Ditengah-tengah maraknya gerakan tersebut, pemerintahan ini justru sedang menata/transisi menuju konsepsi ke-indonesia-an ala demokrasi liberal. Yah, konsepsi Otonomi daerah menjadi satu bagian untuk mengatasi berbagai ketimpangan yang selama ini menjadi batu sandungan pembangunan. Proses negosiasi dan dialog atas ketegangan-ketegangan yang dimunculkan sebagai akibat dari politik Orde Baru justru dapat di selesaikan dengan jalan mengedepankan dialog perdamaian atas konflik rakyat Aceh dan Papua, dengan memberikan otonomi secara khusus.

Awal era reformasi berjalan, dibawah kepemimpinan Presiden BJ. Habibie, konsep Otonomi Daerah ditancapkan melalui Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 1999, yang kemudian disempurnakan lagi melalui UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU itu lazim disebut dengan UU Otonomi Daerah. UU tersebut merupakan formulasi kebijakan strategis dibidang politik. Hal itu merupakan terobosan politik yang sangat strategis dan radikal yang diharapkan dapat mempercepat pembangunan secara merata disemua daerah di Indonesia. Kebijakan Otonomi Daerah dalam hal ini diterapkan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat yang lebih luas.

Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.

Dalam pelaksanaan UU Otonomi Daerah tersebut, desentralisasi pemerintahan diterapkan. Bentuk dari pelaksanaan UU ini berupa pemilihan wakil rakyat dari tingkat kabupaten kota, propinsi dan pusat secara langsung. Tidak hanya itu, Presiden juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Setelah pemilihan langsung, kebijakan pemekaran sejumlah propinsi, kabupaten dan kota juga terlihat banyak dilakukan.

Semangat demokratisasi untuk kesejahteraan yang merata seluruh daerah, dalam pelaksanaan UU Otonomi Daerah, sayangnya seringkali diwarnai hal-hal yang tidak semestinya terjadi. Dalam pemilihan kepala daerah secara langsung misalnya sangat kuat diwarnai oleh money politic.

Pembangunan di era reformasi ternyata malah memunculkan masalah-masalah baru. Kasus kelaparan, gizi buruk, busung lapar, polio, flu burung, antraks, siswa sekolah bunuh diri karena tidak mampu membayar SPP, orang tua bunuh diri karena tidak mampu membiayai keluarga, meningkatnya angka kemiskinan, jumlah pengangguran terus meningkat, WTS, TKW/TKI, penjualan anak, banyak terjadi.

Bukan hanya itu, masalah-masalah yang lebih serius seiring dengan diterapkannya Otonomi daerah juga meningkat seperti gerakan separatisme, etnosentrisme, de-Pancasilaisasi, konflik elit politik local, korupsi lokal dsb.

Sebagai anak bangsa Indonesia yang peduli pada keadaan negeri yang lebih baik, marilah kita selalu berikhtiar mencari jalan keluar untuk tercapainya kemaslahatan bangsa dengan posisi kita masing-masing. Bagi saudara-saudaraku yang lebih berkecenderungan banyak melakukan kerja-kerja kognitif, maka marilah kita terus ber-ijtihad untuk menemukan pendekatan yang bisa menjadi solusi, mungkin, diskursus wacana nasionalisme dan kajian ketatanegaraan perlu kita konstruksi kembali. Demikian pula bagi saudara-saudaraku yang berkencedurangan kerja-kerja afektif dan psikomotorik, mari kita bangun Indonesia melalui keahliannya masing masing. Bangkitlah Bangsaku, Jayalah Negeriku! Yakin Usaha Sampai....Syalom!

No comments: