18 August 2011

Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Kita

Oleh Adhi Darmawan
Alumnus N2K Lemhannas RI 2010

Benar adanya jika nenek moyang kita seorang pelaut. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, bangsa kita sudah terbiasa berlayar menaklukan ombak lautan bersaing dengan kapal-kapal besar bangsa asing. Bangsa kita bahkan sempat berhasil menaklukan militer bangsa asing dengan armada laut sederhana yang dimilikinya.
Secara geografis, kini Indonesia memiliki 17.480 pulau. Dari sebanyak itu, hanya beberapa puluh pulau saja diantaranya yang sudah berpenghuni. Bahkan tercatat masih sekitar 13.000 pulau diantaranya belum memiliki nama. Sementara itu, 92 pulau diantaranya terletak di wilayah terluar Indonesia yang tersebar di 19 provinsi. Sebanyak 67 pulau di antaranya berbatasan langsung dengan negara lain dan 12 pulau di dalamnya rawan di klaim negara lain.
Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki garis pantai 95.181 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Beraneka ragam sumber daya alam terkandung didalamnya, sehingga berbagai jenis potensi ekonomi bisa tergali dari sektor sumber daya bahari ini. Selain sektor perikanan, sektor lain seperti perkebunan, pariwisata, kerajinan, dan sebagainya bisa menjadi potensi ekonomi yang besar untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama yang berada di wilayah pesisir.
Sayangnya, hingga kini sumber daya kelautan kita belum bisa termanfaatkan dengan baik. Luas wilayah dan besarnya sumber daya kelautan kita masih belum seimbang dengan langkah pengelolaan sehingga kekayaan sumber daya yang ada belum dapat terolah dengan optimal. Upaya pengamanan yang dilakukan pemerintah terhadap wilayah territorial juga belum maksimal, sehingga berbagai kasus pelanggaran kedulatan dan perusakan biota laut banyak terjadi.

Ancaman
Hampir setiap saat, tidak kering kita mendengar berita adanya berbagai bentuk pelanggaran kedulatan dan perusakan biota laut. Dari berbagai kasus yang ada, kita bisa mengklasifikasikannya kedalam beberapa bentuk. Pertama, piracy (perompakan). Kejahatan dalam bentuk piracy ini terjadi karena lengahnya penjagaan wilayah laut. Motif ekonomi dan terrorisme kerap menjadi dasar para perompak dalam beraksi. Kedua, Smugling (penyelundupan), yang meliputi berbagai barang konsumsi, barang produk industry, hingga penyeludupan manusia (human trafficking) yang terkategori kejahatan antar bangsa (transnational crime).
Berikutnya yang ketiga, kejahatan dalam bentuk illegal fishing and logging. Maraknya kejahatan ini disebabkan karena kurang kuatnya sistem pengamanan yang dilakukan baik karena sumber daya aparat atau kurang canggihnya alutsista yang dipakai. Keempat, Illegal crossing (pelanggaran perbatasan). Kejahatan ini sangat menyinggung kedulatan Indonesia, mengancam keberadaan pulau-pulau terluar, terutama pulau yang belum berpenghuni. Illegal crossing bisa terjadi dengan motif illegal fishing, tapi bisa pula bermotif merebut wilayah tertentu.

Perhatian Serius
Pada dasarnya, semua bentuk kejahatan tersebut terjadi karena kekuatan TNI kita tidak sebanding dengan kondisi wilayah laut yang harus diamankan. Selain luas wilayah laut yang harus diamankan lebih luas, tantangan alutsista militer asing yang harus dihadapi TNI juga lebih canggih. Sebagian besar peralatan / alutsista TNI kita tidak layak tempur, selain sudah gaek, alutsista yang kita miliki juga jumlahnya masih jauh dari cukup untuk mengamankan territorial. Hampir setiap tahun, ribuan kapal asing terlibat IUU (Illegal, Unregulated and Unreported) Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Tindakan kapal asing ini merupakan pelanggaran kriminal lintas negara yang terorganisir.
Secara sosiologis, kurangnya perhatian dan pemberdayaan masyarakat pesisir juga menjadi faktor kenapa bentuk-bentuk kejahatan seperti itu bisa terjadi. Banyaknya pulau yang belum terurus, terutama di wilayah perbatasan merupakan celah bagi bangsa asing untuk dapat masuk dan melakukan penggerogotan.
Demikian juga dengan nelayan kita yang mayoritas masih beroperasi secara tradisional. Peralatan sederhana yang mereka miliki menjadikan mereka hanya mampu berlayar jarak dekat dengan radius belasan mil laut. Kalah jauh dibanding nelayan asing yang mampu beroperasi hingga ke laut lepas, bahkan memasuki territorial negara lain.
Munculnya salah satu bentuk kejahatan tersebut juga terbuka kemungkinan menimbulkan efek domino. Dalam illegal fishing misalnya, adanya kapal asing atau lokal yang melakukan penangkapan ikan dengan memakai pukat harimau atau bom, menjadikan nelayan tradisional mudah sekali tertarik untuk memakai cara yang sama agar tangkapan mereka tidak jauh berkurang.
Untuk dapat mengakhiri semua ini sehingga dapat terwujud pengelolaan sumber daya kelautan dengan baik, maka diperlukan perhatian serius segenap unsur pemerintahan baik oleh unsur Eksekutif, Legislative, Yudikatif, maupun unsure masyarakat. Intensifikasi pembangunan perlu dilakukan baik dalam ruang sistem, maupun labenswelt. Sistem disini mencakup birokrasi yang sehat, bebas korupsi, visioner dan sebagainya, pula mencakup “pasar” yang mendukung terciptanya suasana pengelolaan kelautan kita yang kondusif. Sementara itu, labenswelt disini mencakup dinamika masyarakat sipil, nilai, budaya, tradisi, dan sebagainya. Proses pembangunan pengelolaan kelautan kita mustahil dilakukan oleh sistem tanpa mengindahkan labenswelt.

No comments: