24 January 2009

ADU TANGKAS KEJAKSAAN VS KPK

Adhi Darmawan

Tahun 2008 penanganan perkara korupsi mengalami peningkatan, baik yang dilakukan oleh KPK maupun Kejaksaan. Hingga sekarang, headline media masih diwarnai dengan berita pemanggilan sejumlah saksi yang kerap statusnya meningkat menjadi tersangka dan penahanan sejumlah pejabat negara baik pusat maupun daerah.
Dari 12 negara di Asia, PERC (Political Economic and Risk Consultancy) menilai dalam tahun 2008, peradilan Indonesia berada dalam posisi terkorup. Riset PERC sepertinya mempertegas tesis tentang banyaknya Mafia Peradilan yang merusak tatanan hukum Indonesia. Institusi penegak hukum dinyatakan terkorup, padahal Indonesia memerlukan Institusi penegakan hukum ini, untuk melakukan langkah-langkah pemberantasan korupsi, sudah bisa ditebak bahwa pemberantasan korupsi pun melemah. Ironi memang jika penegak hukum justru menjadi institusi yang dinilai koruptif. Temuan PERC hampir senada dengan temuan Global Corruption Barometer (GCB) dari tahun 2004-2008.
Ditengah kekeringan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul sebagai sosok yang terlihat sangat serius memberantas praktek korupsi. Pada tahun 2004 silam, Gubernur Aceh yang bahkan tak mampu disentuh Kejaksaan, ditangkap untuk pertama kali. Pada tahun 2008, pasca komisioner KPK dikomandoi Antasari Azhar, KPK lebih mamantapkan akslerasi. Dalam satu tahun, KPK mampu menjerat tujuh anggota DPR-RI.
Dalam pengamatan Indonesian Corruption Watch (ICW), pada kurun waktu 2008 saja, KPK telah tercatat total menangani 80 kasus. Diantaranya 47 kasus dalam tahap penyidikan dan pelimpahan ke Pengadilan, serta 33 kasus telah divonis di tahun tersebut. Dari 80 kasus tersebut, motif korupsi yang menjadi modus utama masih seputer Pengadaan barang dan jasa, yakni 34 kasus (42,50%); Penyalahgunaan Anggaran 17 kasus; Penyuapan 15 kasus; dan Pungutan Liar 14 kasus. Kasus dominan terkait suap pada pejabat negara dengan kerugian negara diatas 80 miliar (11,25%).
Dalam hal memilih kasus-kasus strategis, dibandingkan dengan Kejaksaan, KPK terlihat lebih rapih, posisi sebagai institusi yang mempunyai kewenangan besar, KPK sepertinya menempatkan perkara besar yang secara langsung membahayakan publik atau perekonomian negara sebagai indikator. Ada sejumlah kasus utama yang telah ditangani KPK seperti Skandal Aliran dana YPPI, Suap Ketua Tim BLBI Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI Sjamsul Nursalim, suap yang melibatkan pimpinan Komisi Yudisial dan Komisioner KPPU, gratifikasi dalam Alih Fungsi Hutan, dan kasus yang melibatkan sejumlah anggota DPR aktif menjadi catatan gemilang KPK di tahun 2008.

Putusan 33 kasus di tahun 2008 yang diproses di Pengadilan Tipikor pun, tidak satupun divonis bebas. Rata-rata vonis dijatuhkan dengan 4,5 tahun, ada juga 15 tahun untuk Urip Tri Gunawan. Kondisi ini berbeda dengan Peradilan Umum yang tercatat sangat tinggi membebaskan terdakwa kasus korupsi. Dari tahun 2005 hingga Juni 2008 silam, setidaknya 482 terdakwa kasus korupsi divonis bebas. Rata-rata vonis di peradilan umum pun hanya 20 bulan, dan sekitar 6,4 bulan di tingkat Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan komitmen KPK dan Pengadilan Tipikor tidak selaras dengan Kepolisian-Kejaksaan dan Peradilan Umum.
Akan tetapi, KPK bukan tanpa catatan. Sekalipun KPK sudah masuk pada sector legislatif yang dianggap kuat hukum di tahun-tahun sebelumnya, enggannya KPK menjerat anggota DPR dari fraksi PDIP menjadi pertanyaan besar terkait dugaan politisasi penanganan kasus korupsi. Pengakuan dan Laporan Agus Chondro, misalnya.
Kasus yang terang benderang ini, justru ditanggapi Ketua KPK, Antasari Azhar sebagai perkara yang tidak cukup bukti untuk ditingkatkan ke Penyidikan. Padahal, publik menjadi saksi, Agus Chondro sudah mendatangi KPK berkali-kali, memberikan sejumlah bukti dan keterangan terkait dugaan gratifikasi dalam pemilihan Deputi Gubernur BI, Miranda Gultom. Beberapa anggota DPR lainnya yang menerima, juga telah mengembalikan uang gratifikasi tersebut pada KPK. Bahkan, lembaga intelijen keuangan yang berkwenangan penuh melihat arus uang dan transaksi perbankan bermasalah seperti PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sudah menyatakan, ada sejumlah temuan aliran uang dari BII pada sejumlah anggota DPR saat itu.
Berpacu dengan KPK
Lebih banyak dari apa yang dilakukan KPK, pada tahun 2007 Kejaksaan mengklaim telah menangani 636 kasus. Pada tahun 2008 meningkat menjadi lebih dari 850 kasus. Berbeda dengan KPK, tidak pernah dijelaskan, apakah kasus yang ditangani Kejaksaan merupakan kasus strategis, dan sebenarnya berapa rata-rata kerugian negara dari semua kasus tersebut.
Disamping beberapa hal diragukan, langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan kejaksaan sepertinya juga patut dipertanyakan. Sejumlah perkara strategis seperti BLBI, BPPC Tomy Soeharto, VLCC Pertamina, PLTU Borang, justru di SP3 atau dihentikan.
Dari aspek pengembalian Uang Negara, di klaim setidaknya Rp. 8 triliun dan USD 18 juta telah diselamatkan oleh Kejaksaan. Klaim tersebut sempat memunculkan pertanyaan ketika dalam Audit BPK Semester 1 tahun 2008, dilaporkan Kejaksaan belum menyetorkan Rp. 7,72 triliun pengembalian kerugian negara pada Kas Negara. Padahal, menurut Pasal 16 UU 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara semua penerimaan institusi atau departemen harus disetor ke Kas Negara. Lebih dari itu, Departemen Keuangan menyatakan tidak mengetahui adanya 14 rekening titipan di Kejaksaan Agung, dan 38 rekening diduga tidak didukung administrasi lengkap. Fenomena rekening "tak bertuan" atau sering disebut "rekening liar" tersebut sangat disayangkan masih terjadi di Institusi penegak hukum seperti Kejaksaan.
Sebetulnya, dengan perangkat yang ada, KPK dan Kejaksaan masih bisa maksimal lagi. Tidak maksimalnya kinerja penegakan hukum, diperparah dengan sikap resistensi sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Menurut Fadullah, pengamat hukum CIDES, dalam beberapa, para wakil rakyat ini justru berdiri pada posisi yang mengancam dan menghambat laju pemberantasan korupsi.
Kejagung Terlihat Sensasi, Tembak 8 Terpidana Mati
Meskipun mendapatkan protes dari kalangan lembaga swadaya masyarakat, Kejaksaan Agung tetap melaksanakan eksekusi tembak terhadap terpidana mati. Sejauh pengamatan saya, Kejagung sedikitnya telah memerintahkan eksekusi tembak terhadap 8 orang terpidana mati. Mereka itu adalah dua warga negara Nigeria yang terjerat kasus narkoba, pelaku pembunuhan berencana terhadap keluarga Letkol (Mar) Purwanto, yaitu Sumiarsih dan Sugeng.

Berikutnya, pembunuh berantai dalam rentang waktu 1997-2001 yaitu Alex Bullo atau yang biasa disapa Rio Martil. Kemudian yang terakhir adalah tiga pelaku bom Bali, yaitu Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra.

Selain kedelapan orang tersebut, Kejaksaan Agung menyebutkan masih ada 92 narapidana yang telah divonis mati. Dari jumlah ini 14 napi sudah mengajukan grasi, 38 napi sedang menempuh upaya hukum berupa peninjauan kembali (PK), dan 33 napi belum menentukan upaya hukum atas vonisnya. Sayangnya, sampai sekarang ini belum ada para terdakwa korupsi yang terkena tuntutan hukuman mati.

Saya melihat masih terdapat 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

1 comment:

ervyn said...

Menurut pengamatan pribadi saya yang namanya korupsi itu sampai kapanpun tidak akan selesai di seluruh penjuru tanah air, seperti pesan bang Napi "bahwa kejahatan tidak hanya karna ada niat dari pelakunya tapi juga karna ada kesempatan" dari segi niat udah jelas, orang yang mau mencalonkan pada posisi tertentu rata2 banyak mengeluarkan materi yang tidak sedikit disinilah timbul niat 'bagaimana caranya bisa kembali modal??'. sedang dari segi kesempatan, disinilah mungkin negara kita ini lemah akan sistem baik itu politik, hukum dan peradilan banyak celah atau lubang yang gambang diterobos oleh orang orang busuk, mungkin disinilah sangat perlu memperbaiki aplikasi sistem yang rusak itu dengan perbaikan aplikasi sistem yang sangat kokoh jd tidak bisa ditembus oleh birokrasi apapun, dan buatlah hukuman yang sangat membuat shok therapy bagi koruptor biar ada efek jera. karena bangsa ini sudah sangat sakit akibat ulah segelintir orang yang menamakan dirinya koruptor.
Komentar menurut pandangan pribadi.