09 January 2009

Kiprah TNI Dalam Reformasi


Oleh Adhi Darmawan
Saat era Orde Baru, penerapan Dwifungsi ABRI diartikan bahwa ABRI mengemban dua fungsi, yaitu sebagai kekuatan hankam yang tentunya harus setia kepada pemerintah, dan sebagai kekuatan sosial politik yang tentunya harus setia kepada negara. Kondisi tersebut berbeda dengan diera reformasi sekarang ini.
Suara dari kalangan yang apatis terhadap posisi TNI, mendadak mendapat peluang untuk menyuarakan kembali isu sentralnya. Ada dua perkembangan yang membuat kalangan yang kontra terhadap TNI tersebut agak lesu.
Pertama kalangan yang kontra terhadap TNI memakai reformasi untuk menghapus peran politik TNI, baik peran politik praktis maupun dalam peran politik negara. Kalangan reformis menghendaki bahwa TNI hanyalah sebagai pelaksana keputusan politik yang merupakan wilayah sipil dan harus berada di bawah Departemen Pertahanan, dan tunduk kepada Menteri Pertahanan, kepada keputusan sipil. Kedua, kemenangan SBY atas Megawati pada pemilu 2004 memperlihatkan kenyataan bahwa capres dari sipil kalah suara dibanding capres dari pensiunan TNI. Menurut pihak ini, bahwa politikus sipil belum siap memimpin negeri ini. Dalam periode mendatang, Indonesia masih memerlukan kepemimpinan dari TNI.
Dalam pemilu 2009 ini, genderang kampanye belum ditabuh, hanya saja nuansa persaingan menuju Presiden RI telah kencang. Beberapa tokoh yang menyatakan dirinya akan menjadi calon Presiden berasal dari latar belakang pensiunan militer.
Secara rasional, memang sangat masuk akal ketika berduyun-duyun para pensiunan militer masuk kedalam ruang politik praktis disegala sector pemerintahan. Para prajurit TNI, dari prajurit hingga jenderal yang telah pensiun dari tugas tempur, hanya menerima satu macam uang pensiun dan tidak bisa naik pangkat lagi. Bagi yang mendapat tugas di luar profesi militer, di luar fungsi hankam, dan dikaryakan, disamping berniat mengabdikan dirinya untuk bangsa, maka niscaya mendapat kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang bertugas tempur, profesi militer yang sesungguhnya.
Kalau melihat dengan jeli maka di lembaga-lembaga pendidikan TNI sudah jarang bisa ditemui instruktur yang benar-benar profesional. Jabatan Gubernur, Bupati, DPR, dan BUMN lebih menjanjikan masa depan yang lebih baik. Bahkan, tidak hanya menjanjikan kekayaan material, tetapi juga lebih menjanjikan kepangkatan.
Menurut Dr Salim Said, untuk menghapus peran politik TNI, maka TNI harus kembali ke barak dan tidak boleh bersentuhan dengan rakyat. Di lain pihak, kalangan yang pro TNI berpendapat bangsa dan negara ini tetap saja memerlukan TNI sebagai pilar yang mutlak diperlukan keberadaannya demi eksistensi bangsa dan negara. Dalam UU tentang TNI juga dikatakan bahwa tentara yang profesional, adalah tentara yang tidak berpolitik praktis, terdidik dan terlatih secara baik, diperlengkapi secara baik dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara. Profesionalisme prajurit mencakup yang terlihat (tangible) dan yang tidak terlihat (intangible) yang tumbuh berkembang sepanjang karier prajurit dan dari generasi ke generasi melahirkan tradisi-tradisi kemiliteran.
Dengan mengakomodir pendapat yang pro TNI tersebut, maka hingga kini kiprah institusi maupun tokoh TNI masih sangat melekat dihati rakyat. Sesama anak bangsa, mungkin tidak ada masalah bagi para perwira yang telah pensiun untuk berkiprah dalam wilayah politik sebagai kelanjutan pengabdian pada bangsanya, sekaligus untuk mengisi masa pensiunnya. Pertanyaannya kemudian, apakah sikap dan karekter para politisi yang berlatar belakang militer telah berubah menjadi karakter sipil ataukah tidak? Hal ini penting mengingat kultur militerisme berbanding terbalik dengan kultur demokrasi sipil. Yakni sebuah demokrasi yang menjamin dinamika kehidupan masyarakat sipil yang terbebas dari distorsi negara dan kapitalisme pasar, dimana dalam posisi ini posisi militer berada dalam ruang negara, tapi penyelenggara negara dipilih dari kontestasi dalam ruang sipil. ( )

No comments: