16 December 2008

Energi Untuk Kesejahteraan Bangsa


Oleh Adhi Darmawan
Jika kita mencermati energi pada sudut pandang yang lebih luas—tidak sekedar pada tataran teoritis atau perhitungan di atas kertas— energi telah menjadi isu krusial dan vital pada aspek real di kehidupan. Misalkan saja, di bidang industri, dimana energi menjadi salah satu input yang wajib ada.
Wajar adanya, sebab perancangan mesin dan alat-alat produksi saat ini masih melibatkan energi sebagai prasyarat utama bagi keberjalanan suatu sistem produksi. Karena memegang peran yang sangat penting ini, sedikit permasalahan di bidang energi ini akan berpengaruh banyak pada industri. Sebagai pertimbangan, kita pun tahu bahwa industri merupakan akselerator pertumbuhan bangsa, penyerap tenaga kerja dan salah satu parameter produktivitas nasional.
Pada faktanya, sekalipun Indonesia merupakan negara yang dari sisi sumber daya alam kaya raya, kita selalu dicengkeram berbagai persoalan energi yang tak kunjung terselesaikan. Berbagai kebijakan yang ada seringkali dipertanyakan rakyat apa benar ini akan menyelesaikan segenap permasalahan energi secara fundamental.
Kebijakan untuk memecahkan berbagai persoalan energi seperti pembatasan premium, pengurangan subsidi BBM, masalah distribusi, gencarnya intervensi asing atas pengelolaan energi dalam negeri dalam berbagai bentuk, ketidakefisienan dan ketidakefektifan sistem (mulai hulu hingga hilir), rencana unbundling PLN, dan lain-lain seringkali menjadi kebijakan yang terasa tidak tepat dan banyak menuai kontra rakyat sebagai pemilik sah negeri ini.
Seperti misalnya rencana unbundling (pemecahan) PLN, kebijakan ini dianggap sebagian masyarakat justru menjadi ancaman dan bukan langkah solusi untuk mengatasi krisis energi. PLN yang dahulunya sebuah perusahaan tunggal akan dipecah-pecah menjadi beberapa anak perusahaan. Untuk Jawa-Bali, akan dilakukan unbundling vertical (pemecahan berdasarkan fungsi) sedangkan untuk luar Jawa-Bali akan dilakukan unbundling horizontal (pemecahan secara wilayah). Hasilnya, dengan sistem pengelolaan energi seperti ini, energi listrik akan semakin sulit diperoleh dengan harga yang terjangkau dan sistem pengelolaan energi nasional akan semakin lemah dan rentan masalah.
Carut marutnya pengelolaan energi tersebut tentunya sangat berpengaruh bagi masyarakat, terutama di sektor industri. Dengan menaiknya harga listrik, maka biaya produksi dan harga barang meningkat. Akibatnya, kenaikan inflasi terjadi di masyarakat.
Tak hanya itu, perindustrian nasional pun di tengah ancaman stagnansi dan deindustrialisasi. Menteri Perindustrian Fahmi Idris, mengatakan bahwa problem infrastruktur dan krisis energi ibarat dua mata uang yang saling terkait dan layaknya bom waktu yang siap meledakkan kontribusi manufaktur dan perekonomian nasional
Hal senada juga dapat dilihat dari data lesunya perindustrian nasional yaitu data pertumbuhan industri tahun 2007 yang terus merosot seiring melonjaknya harga BBM dan listrik dan bahkan mencapai angka terendah dalam tiga tahun terakhir (5,15%) dibandingkan tahun 2004 (7,5%) dan tahun 2005 (5,9%) .(Badan Pusat Statistik (BPS) ).
Amerika Serikat sangat menyadari arti penting energi ini sehingga membuatnya merumuskan suatu kebijakan politik luar negeri yang berusaha menguasai negeri-negeri penghasil energi demi mendukung ketahanan bangsanya. Demikian pula Hugo Chaves yang menasionalisasi energi di negerinya dan segera meluncurkan 12 perusahaan baru milik negara guna menekan angka 70% ketergantungan terhadap produk luar dan menciptakan Venezuela yang baru dengan ketahanan bangsa yang luar biasa (S. Nurani, 2007. Hugo Chavez, Revolusi Bolivarian, dan Politik Radikal. Yogyakarta: Resist Book).
Kebijakan AS dan Venezuela tentu perlu menjadi objek analisis kita. Yang perlu diperhatikan adalah mengapa mereka bisa ‘berani’ menformulakan arah gerak bangsa yang fundamental tersebut sedangkan kita tidak bisa atau belum bisa?

Pada tanggal 18 Juli 2008 Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, melantik Novian M. Thaib sebagai Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN). Delapan orang yang menjadi anggota DEN dipilih kemudian oleh anggota Komisi VII DPR RI. Tugas utama DEN ialah merumuskan kebijakan energi nasional sekaligus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan energi nasional.

Atas didirikannya DEN, sebagian pengamat melihat ide pendirian DEN tergolong bagus, sebab lembaga ini akan mengintegrasikan kebijakan energi nasional. Melalui DEN, maka berbagai kebijakan di bidang energi dirancang secara matang dan terencana, sehingga bisa terlaksana dengan baik. Lembaga tersebut, idealnya bertugas mementingkan kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara, di atas segelintir orang atau saudagar.

Jika berjalan dengan semestinya, patutlah segenap masyarakat mendukung keberadaan DEN, tapi jika berjalan tidak semestinya, maka segenap rakyat wajib hukumnya untuk beramai-ramai menolak keberadaannya sebab terkait dengan efisiensi anggaran negara. Persoalan yang muncul kemudian adalah dasar hukum kebijakan energi nasional memiliki Undang-Undang yang berbeda-beda, menjadi pertanyaan kemudian dapatkah DEN nanti dapat bekerja secara efektif? Kita lihat perkembangannya bersama-sama.

No comments: