16 December 2008

Memaknai Bentuk Partisipasi Politik



Oleh Adhi Darmawan

Diantara kita mungkin masih teringat setahun yang lalu, ada sebuah peristiwa gugatan hukum yang dilakukan oleh warga kolong tol Tanjung Priok, Jakarta Pusat. Dalam gugatan tersebut, tiga warga yang mengklaim sebagai wakil dari 24.000 warga atau 5.151 keluarga bekas penghuni kolong tol antara Tanjung Priok dan Penjaringan mengajukan gugatan bersama ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Masing-masing tergugat adalah Wali Kota Jakarta Utara, Wali Kota Jakarta Barat, Gubernur DKI Jakarta, dan Menteri Pekerjaan Umum.
Bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 2008, peristiwa tersebut sudah setahun terjadi. Tiga warga yang mengklaim sebagai wakil dari 24 warga tersebut yaitu Titin Suprihatin dan Andi Kristilo selaku penggugat pertama, yang mewakili kelompok warga yang kehilangan tempat tinggal, tempat tinggalnya rusak, serta harta bendanya dirampas akibat penggusuran. Honium Hamid alias Neon adalah penggugat kedua yang mewakili kelompok yang kehilangan peralatan usaha dan pekerjaan.
Dalam mengajukan gugatannya, tiga orang tersebut didampingi oleh para aktivis dari dua lembaga swadaya masyarakat, yakni Konsorsium Kemiskinan Kota (Urban Poor Consortium/UPC) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Kegiatan pendampingan dua LSM tersebut merupakan bentuk partisipasi politik dengan cara advokasi kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat, tetapi dinilai telah mengabaikan hak-hak warga bekas penghuni kolong tol Tanjung Priok, sehingga memberikan kerugian yang besar bagi warga.
Ada beberapa hal menarik yang dapat kita ambil dari adanya peristiwa gugatan tersebut. Fenomena tersebut merupakan bentuk partisipasi politik kaum miskin kota yang diwakili tiga orang yang mengklaim sebagai wakilnya.
Partisipasi politik merupakan bentuk tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Oleh karena itu, kegiatan itu harus ditujukan, dan mempunyai dampak terhadap pusat-pusat dimana keputusan diambil.
Menurut Gabriel A. Almond, dalam tatanan dunia modern partisipasi politik dapat berbentuk konvensional seperti voting, diskusi politik, dsb. serta dapat juga berbentuk non konvensional seperti demonstrasi, kekerasan, dsb.
Dalam bentuknya yang lebih luas partisipasi politik tidak hanya terbatas pada pemberian suara dalam pemilihan umum, aksi demonstrasi, dan aktif menjadi pegiat partai politik. Keseluruhan dari proses atau tindakan dalam usaha mempengaruhi berjalannya pemerintahan merupakan bentuk dari partisipasi politik, seperti tindakan gugatan untuk menentang sebuah produk dari kebijakan publik yang dilakukan warga bekas penghuni kolong jembatan tol Tanjung Priok tersebut.
Bentuk partisipasi politik yang konvensional seperti pemberian suara dalam pemilu, diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif merupakan bentuk partisipasi politik yang normal.dalam demokrasi modern.
Selain ada bentuk yang non-konvensional legal seperti petisi, demonstrasi dsb, adapula bentuk partisipasi politik non konvensional ilegal seperti tindakan penuh kekerasan dan revolusioner. Kasus gugatan yang ditunjukan oleh warga bekas penghuni kolong jembatan tol Tanjung Priok tersebut merupakan bentuk partisipasi politik yang non konvensional legal.
Almond juga menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan seseorang dalam berpartisipasi politik, antara lain pendidikan tinggi, status sosial ekonomi, keanggotaan dalam partai politik.
Senada dengan Almond, Samuel P. Huntington dan Joan Nelson mengatakan bahwa di banyak negara, orang yang berpendidikan tinggi telah diakui sangat mempengaruhi partisipasi politik, hal ini bisa jadi karena pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa, dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik.
Dalam konteks ini, jelas kenapa dalam kasus gugatan tersebut hanya ada tiga orang yang mengatasnamakan warga, serta di dukung oleh dua LSM yang notabene para aktivisnya merupakan orang-orang yang berasal dari kaum kelas menangah atau berpendidikan tinggi.
Menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, selain pendidikan, perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi tingkat keaktifan seseorang dalam berpartisipasi politik. Dimana orang yang berjenis kelamin laki-laki, biasanya lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya, ketimbang perempuan.
Pemetaan yang coba dilakukan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam bukunya yang berjudul Partisipasi Politik di Negara Berkembang, menyebutkan bahwa pola partisipasi politik yang dilakukan oleh kaum miskin atau kelas bawah tetap akan dimotori atau dipimpin oleh politisi kaum elit atau kelas menengah, dimana tujuan dari para kelas menengah itu terkait dengan adanya komitmen ideologis dan atau jawaban terhadap persaingan politik yang ada. Dari sisi partisipannya, tujuan yang dikedepankan adalah untuk memperbaiki keadaan materi- materi diri sendiri dan sesamanya, dengan bentuk-bentuk tindakan kolektif, seperti dengan memberikan suara, berkampanye, dan berdemonstrasi.
Dalam kasus gugatan yang dilakukan oleh warga bekas penghuni kolong tol Tanjung Priok, keberadaan tiga orang penggugat yang mewakili warga dan beberapa aktivis dari dua LSM, termasuk dalam kategori kaum elit atau kelas menengah yang berpendidikan tinggi yang menjadi motor aktif penggerak penuntutan hak. Tindakan advokasi kebijakan publik yang dilakukan oleh para aktivis LSM tersebut juga seiring dengan peran dan fungsi yang memang telah ditetapkan dalam kelembagaannya. Karakter yang khas dari partisipasi politik kaum miskin adalah untuk melindungi atau memperbaiki kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi sendiri. Hal ini berbeda dengan partisipasi politik yang biasanya dilakukan oleh kaum kelas mengah ke atas.
Dalam proses pengajuan gugatan warga bekas penghuni kolong tol tersebut,, partisipasi silang-kelas juga tampak terjadi seiring dengan membaurnya seluruh warga bekas penghuni tersebut, untuk kemudian satu aspirasi dengan diwakili tiga orang. Masih menurut Huntington dan Nelson, untuk menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap sistem politik, diperlukan partisipasi yang berukuran besar dan berlangsung lebih lama daripada partisipasi melalui kontak atau kelompok-kelompok kepentingan khusus di kalangan kaum miskin,
Oleh Huntington dan Nelson, partisipasi berukuran besar di bagi menjadi dua kategori besar, yaitu partisipasi silang kelas dan partisipasi yang berorientasi kepada kaum miskin, dimana dari kedua kategori besar tersebut biasanya melibatkan pimpinan dari kelas menengah atau kelas elit, serta partisipasi orang-orang tidak miskin dalam kerjasama denganb golongan-golongan miskin.
Bentuk partisipasi silang kelas yang ada dari kasus gugatan warga bekas penghuni kolong tol Tanjung Priok ditandai dengan banyaknya etik yang tergabung. Dalam proses pengajuan gugatan tersebut, warga tidak mempedulikan antar individu diantara mereka berasal etnik mana, berbahasa apa, dan sebagainya, tetapi yang dikedepankan adalah kepentingan bersama.
Bentuk partisipasi ini sangat diperlukan selain dengan dilakukannya gugatan pada pihak pemerintah melalui jalur resmi Pengadilan Negeri, yaitu juga untuk menambah “bobot” pengaruh yang ditimbulkan.
Myron Weiner mengemukakan paling tidak ada lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi dapat lebih luas dalam proses politik ini. Yang pertama adalah modernisasi, seperti komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi, yang meningkat, penyebaran kepandaian baca-tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media komunikasi massa. Pada kasus gugatan ini, keberadaaan media komunikasi yang menjangkau warga sangat berpengaruh sekali, ditambah lagi adanya persentuhan warga dengan sejumlah aktivis LSM yang tingkat partisipasi politiknya lebih tinggi.
Kedua, perubahan-perubahan struktur kelas sosial, dalam hal ini, begitu terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrualisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik. Pemilihan pola partisipasi warga bekas penghuni kolong jembatan tol Tanjung Priok dengan cara mendaftarkan gugatan mereka di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara adalah pilihan sadar yang tidak mungkin begitu saja muncul dari inisiatif warga kelas bawah tak berpendidikan, tetapi merupakan hasil sebuah proses panjang, dimana dalam penentuan proses pola partisipasi politik bersentuhan dengan sejumlah aktivis LSM, warga berpendidikan tinggi lain, warga yang tingkat partisipasi politiknya lebih tinggi lainnya, dsb.
Yang ketiga, adanya pengaruh intelektual dan komunikasi massa modern. Dalam kasus gugatan kepada sejumlah pihak pemerintah terkait, keberadaan peran para kaum intelektual tidak bisa dipisahkan, karena telah sejak lama menjadi pembuat dan penyebar idea-idea yang mampu merubah sikap-sikap dan tingkah laku warga lain yang tinmgkat partisipasi politiknya sangat rendah.
Berikutnya, konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik yang merupakan konsekuensi dari adanya kompetisi dalam perebutan kekuasaan. Strategi yang digunakan oleh pihak penggugat dan pihak tergugat, adalah dengan mencari dukungan rakyat. Penggugat mengatasnamakan rakyat, dan tergugat juga akan berusaha melakukan dukungan pembenaran atas kebijakan yang telah dikeluarkannya. Dalam hal ini, mereka tentu menganggap sah dan memperjuangkan idea-idea partisipasi massa dan akibatnya menimbulkan gerakan-gerakan yang menuntut agar hak-hak warga penggugat tersebut dipenuhi.
Terakhir, adanya keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan, konsekuensinya, tanpa hak-hak sah atas partisipasi politik, individu-individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan dengan mudah dapat dipengaruhi tindakan-tindakan pemerintah yang mungkin dapat merugikan kepentingannya. Tanpa adanya dukungan dua LSM dan sejumlah warga yang kelas menengah atas, kaum miskin kota / warga penggugat tidak mungkin gerak secara tersistematis dengan melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri (PN).

No comments: