22 June 2011

“Revitalisasi Transmigrasi : Format Masa Depan Pembangunan Bangsa”

Oleh Adhi Darmawan

Luas wilayah Indonesia terbentang 3.977 mil diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik yang terdiri dari 17.508 pulau. Jika angka ini dijumlahkan semuanya, maka luas Indonesia sebagai Negara kepulauan bisa mencapai 1.9 juta mil persegi. Ditambah dengan jumlah penduduk yang sangat padat, menjadikan Indonesia merupakan negara besar dengan penduduk terbanyak didunia setelah China dan India.

Dalam kurun 1990-2010, grafik pertumbuhan penduduk Indonesia menanjak cukup signifikan mencapai rata-rata 1.49 % pertahun dengan persebaran jumlah penduduk tiap propinsi tidak merata. Hingga tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 237,64 juta jiwa (BPS,2010). Hampir semua sebaran penduduk terkonsentrasi di pulau Jawa.

Dengan terkonsentrasinya penduduk di pulau jawa ini, berakibat pada kelestarian sumber daya alam dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang turut terancam. Berbagai gempuran industrialisasi menjadikan luas lahan pertanian menipis, banyak penduduk yang beralih memasuki industrialisasi. Banyaknya kerusakan di biota laut juga menyebabkan kesejahteraan masyarakat nelayan turun hingga tidak sedikit kemudian yang berpindah profesi.

Bagi masyarakat petani / nelayan yang tidak memiliki keahlian untuk beralih profesi, maka mereka berpotensi besar untuk menjadi pengangguran. Mereka akan terjerambab dalam pengangguran struktural ataupun pengangguran musiman. Titik inilah yang banyak menjadi pemicu meledaknya angka pengangguran. Implikasi yang muncul berbentuk urbanisasi dan migrasi. Kota-kota besar dipulau jawa menjadi sasaran empuk para pencari kerja dalam ber-urbanisasi, disamping sebagian besar lagi mencari pekerjaan di negeri orang dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Untuk mencegah kian memburuknya pemusatan penduduk di pulau jawa, pada era orde baru, ada kebijakan yang dikeluarkan terkait hal ini, yakni dengan digalakkannya program transmigrasi dan gerakan kembali ke Desa. Konsepnya, kebijakan transmigrasi ini bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa dengan memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengelola sumber daya di pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan sebagainya.

Pemenuhan kebutuhan lapangan pekerjaan oleh Negara lewat transmigrasi ini juga mengingat masih rendahnya kualitas pendidikan dari angkatan kerja yang ada di Indonesia. Daya saing sumber daya manusia yang semakin kompetitif dalam pergulatan perekonomian dunia, menjadikan rendahnya kualitas pendidikan tenaga kerja Indonesia kalah bersaing dengan tenaga kerja dari bangsa asing.

Berbagai kasus kekerasan yang terjadi terhadap para TKI diluar negeri yang mayoritas menjadi tenaga kerja tidak terdidik (buruh rendahan) menjadi bukti dalam hal ini. Martabat bangsa Indonesia dipertaruhkan dimata bangsa asing karena pemerintah sendiri tidak mampu lagi menyediakan lapangan kerja di dalam negeri. Rendahnya martabat bangsa Indonesia di mata asing menjadikan tidak sedikit para TKI yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi, bahkan pembunuhan.

Seharusnya, bagaimanapun rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki tenaga kerja kita, pemerintah tetap berkewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih manusiawi. Sebab, kebutuhan akan ketenaga kerjaan ini akan terkait dengan pendapatan perkapita, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kelangsungan kualitas hidup seorang warga negara. Secara tidak langsung, hal ini akan berpengaruh juga terhadap keharmonisan kehidupan rumah tangga yang berkorelasi pada mengecilnya angka perceraian yang dalam beberapa hal dijadikan indikator bagi kesejahteraan suatu negara.

Terlepas dari kelemahannya. atas dasar inilah kiranya transmigrasi sebenarnya bisa menjadi alternative untuk pemerintah dalam memberikan lapangan pekerjaan. Tentu hal ini terlepas dari beberapa kelemahan. Sebab jika akan dipertimbangkan, lebih rendah resiko masyarakat bekerja dalam program transmigrasi dari pada menjadi TKI ke negara asing.

Selain dapat menyumbang bagi bertambahnya lapangan pekerjaan, transmigrasi juga dilaksanakan dengan tujuan untuk mendukung ketahanan pangan dan penyediaan pangan, mendukung kebijakan energi alternatif (bio-fuel), mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia, serta mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan.

Tak hanya itu, transmigrasi juga bukan lagi hanya merupakan program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi bersifat sentralistik dan top down dari Ibu kota Indonesia, Jakarta, akan tetapi didasarkan pada Kerjasama Antar Daerah pengirim transmigran dengan daerah tujuan transmigrasi. Penduduk setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi transmigran penduduk setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50:50 dengan transmigran Penduduk Asal (TPA).

Begitu bermanfaatnya kebijakan pelaksanaan program transmigrasi, sayangnya, pada saat bangsa Indonesia baru saja berhasil memasuki era reformasi tahun 1998, kebijakan transmigrasi ini menuai sejumlah kritik oleh beberapa kalangan. Hingga ada beberapa pihak yang menilai bahwa transmigrasi ini tidak perlu diteruskan. Alasannya, transmigrasi dianggap sebagai kebijakan tendensius pemerintah Indonesia dalam berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi penduduk lokal, sehingga populasi baru tersebut dapat berfungsi untuk melemahkan gerakan separatis lokal. Transmigrasi beberapa kali dituduh menjadi biang penyebab terjadinya persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara masyarakat pendatang dengan penduduk asli setempat.

Hingga sekarang ini, pandangan kritis program transmigrasi tetap saja bergulir. Jika tidak segera diselesaikan, hal ini akan berpengaruh terhadap maksimalnya hasil yang akan diperoleh dari pelaksanaan program ini. Jika adanya silang pendapat ini tidak sesegera mungkin disikapi dengan seksama, maka maraknya pandangan negative terhadap transmigrasi ini akan berakibat pada tidak sedikitnya masyarakat yang menjadi ragu untuk mensukseskan berjalannya program transmigrasi. Masyarakat di pulau jawa yang akan menjadi subjek / pelaku transmigrasi pun akan kian enggan jika diri atau keluarganya berstatus menjadi transmigran.

No comments: