04 October 2009

GOLKAR AKBAR TETAP BERKIBAR


Golkar dalam era Orde Baru telah berhasil membangun kelembagaan politik yang kuat, tercermin dalam jaringan kesisteman dan organisasi yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Golkar yang berdiri 20 Oktober 1964, kemudian memposisikan sebagai kekuatan politik alternatif dari sistem kepartaian yang bersifat sektarian pada awal-awal Orde Baru.

Dalam perkembangannya selama era Orde Baru, Golkar sering menjadi kepanjangan tangan rezim yang berkuasa, sehingga selalu mendapatkan kemenangan pada setiap pemilu. Sekalipun demikian, Golkar bukan merupakan partai yang memerintah, tetapi partainya orang-orang yang berkuasa.
Menurut salah satu pentolan Golkar Ir Akbar Tanjung, ketika terjadi reformasi dan perubahan politik, Golkar dianggap paling bertanggungjawab atas berbagai keterpurukan yang dihadapi bangsa Indonesia. Golkar dihadapkan pada berbagai tekanan politik yang sangat keras dari berbagai kelompok masyarakat dan kekuatan politik, yang bermuara pada tuntutan pembubaran Golkar.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi, berbagai hak istimewa yang dimiliki Golkar selama Orde Baru juga akhirnya ditanggalkan sejalan diterapkannya sistim politik yang demokratis. Golkar tidak lagi mendapat dukungan militer dan birokrasi, yang di masa lalu menjadi jalur-jalur pendukung.
Disebutkan bahwa ibarat kapal besar yang akan tenggelam. Golkar dihadapkan pada masalah hidup dan mati yang harus diperjuangkannya. Perubahan politik yang bersifat gradual, sangat menguntungkan Golkar dalam mempertahankan hidupnya. Naiknya BJ Habibie yang berasal dari Golkar, memberi kesempatan untuk melakukan konsolidasi, guna mengantisipasi kemungkinan terburuk yang dapat menghancurkan partai ini.
Relatif masih kuatnya pengaruh dan jaringan Golkar baik di pemerintahan, DPR dan MPR, maupun dalam masyarakat, menjadi modal politik penting, yang menjadi jaring pengaman bagi Golkar untuk tidak ikut jatuh bersama rezim Orde Baru yang didukungnya. Untuk dapat berperan dalam kepolitikan baru, Golkar melakukan adaptasi nilai-nilai dan restrukturisasi organisasi serta jaringan.
Nilai-nilai dan kultur menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup Partai Golkar, terutama dalam kaitannya dengan identitas dan kohesivitas partai ini. Oleh karenanya, Partai Golkar tetap mempertahankan nilai-nilai dasar yang menjadi jatidiri Golkar selama Orde Baru.
Memasuki era reformasi, Partai Golkar menyadari adanya kelemahan-kelemahan selama Orde Baru, yaitu tidak mandiri, non-demokratis dan patron-client. Untuk itu, Partai Golkar melakukan berbagai perubahan dengan menerapkan nilai-nilai baru yang demokratis, mandiri, berakar dan responsive terhadap aspirasi rakyat, langkah inilah yang kemudian disebut dengan Paradigma Baru Partai Golkar.
Dengan demikian, meskipun ada perubahan namun jatidiri partai ini tetap dipertahankan sehingga Partai Golkar tetap mendapat dukungan dari masyarakat dalam pemilu.
Dalam pergolakan politik era reformasi, kasus Partai Golkar menunjukkan partai ini mampu beradaptasi dengan lingkungan politik yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi, sebab sejak awal Golkar memposisikan diri sebagai kekuatan politik yang terbuka dan tidak menganut ideologi politik ekstrim baik kiri atau kanan, atau dapat juga disebut sebagai Partai Tengah.
Sikap politik yang moderat dan terbuka tersebut membuat Partai Golkar dapat fleksibel menyesuaikan diri terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Implikasinya adalah bahwa bilamana situasi politik tersebut dialami partai-partai politik yang menganut paham sektarian serta tertutup, maka akan sulit bagi partai tersebut untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan politik baru yang terbuka dan plural, karena mengharuskan partai-partai tersebut untuk merubah pahamnya secara drastis. AD















Akbar, Jadikan Golkar Lebih Berkibar
Jika kita bicara keberhasilan Golkar pada pemilu 1999, sebuah pemilu awal dalam era reformasi, maka kita tidak bisa lepas dari peran Ketua Umumnya saat itu, Akbar Tandjung.
Tak hanya berhasil menyelamatkan Golkar dari kehancuran, saking cintanya pada Golkar, dalam pendidikan doktoralnya, Akbar telah selesai menyusun disertasi berjudul ''Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era Reformasi Tantangan dan Respons''.
Disertasi tersebut pada hari Sabtu (1/9) telah dipertahankan di hadapan tim penguji di Sekolah Pascasarjana UGM, sebagai syarat meraih predikat doktor dalam ilmu politik. Saat itu, menurut Ketua Tim Promotornya, Prof Dr Ichlasul Amal, Akbar Tandjung menggarap disertasinya setebal 364 halaman yang terbagi dalam 7 bab. Selain Prof Ihclasul Amal, dosen penguji lainnya adalah Prof Dr Mohammad Mochtar Mas'oed MA (Dekan Fisipol UGM) dan Prof Dr Burhan Magenda. Akbar tercatat sebagai mahasiswa tingkat doktoral UGM sejak tahun 2005, dengan nomor induk mahasiswa 05/1616/PS.
Dikatakan oleh Prof Ichlasul Amal, disertasi Akbar yang meneliti soal Partai Golkar, cukup menarik. Karena selama ini penelitian tentang Golkar hanya dilakukan orang dari luar Partai Golkar, namun kali ini dilakukan sosok yang pernah menjadi pucuk pimpinan Golkar itu sendiri.
Disertasi Akbar merupakan hal baru, karena penelitian tentang Golkar dilakukan oleh orang dalam sendiri. Apalagi dalam disertasi tersebut, banyak hal yang selama ini tidak terungkap, menjadi lebih jelas terungkap.
Disebutkan bahwa dalam penyusunan disertasi itu ada sesuatu yang unik, karena Akbar terkadang menulis tentang dirinya sendiri, terutama saat yang bersangkutan masih aktif di Partai Golkar. Selain itu, Akbar juga harus mengadakan wawancara dengan para tokoh Golkar yang dahulu menjadi anak buahnya. Poin menarik lainnya yang terungkap dalam disertasi itu antara lain tetap eksisnya Partai Golkar, bahkan berkembang, meski dikecam banyak pihak saat awal era reformasi. Hal itu disebabkan karena Partai Golkar tidak punya afiliasi dengan kelompok primordial, seperti partai politik lain.
Dalam disertasi Akbar ini, juga diungkapkan bahwa Golkar adalah Parpol yang tidak terikat pada figur tertentu, tetapi lebih menekankan pada institusi building. Sekalipun awalnya Golkar sangat dipengaruhi sosok Soeharto, namun figur Soeharto ternyata tidak signifikan, terlebih setelah era reformasi.

No comments: