04 October 2009

Kalla, Merubah Peta Koalisi Kebangsaan


Dipulau Dewata, Munas Golkar telah usai, kemenangan diraih Jusuf Kalla yang menjadikannya Ketua Umum. Serangan oleh para pengamat politik pun dilancarkan kepada JK tentang kekhawatiran terbukanya peluang kembali kepada model pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto yang jelas-jelas memakai Golkar dan militer sebagai tulang punggungnya.

Hampir 32 tahun Soeharto berhasil mengisolasi kekuatan politik lainnya, hingga dia mampu duduk dikursi Presiden RI dan menjalankan sistem ekonomi yang diputuskannya dengan mudah. Tetapi, era konsentrasi kekuatan politik di bawah kendali satu orang tampaknya sudah selesai, setidaknya saat Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Militer dan Partai Beringin ini sudah tidak dikendalikan oleh pribadi yang sama, dan kepentingannya tidak bisa dikatakan mirip. Era reformasi 1998 benar-benar telah merubah peta perpolitikan kita.
Selain itu, Golkar tidak sendirian lagi di dalam kancah perpolitikan. Setidaknya ada dua partai besar yang akan terus memainkan peranan penting, Golkar dan PDI-P.
Hanya saja, dengan kemenangan Jusuf Kalla (JK), bisa dibaca bahwa Golkar sudah 'separuh' berkuasa di pemerintahan. Dalam posisi yang sudah diduduki sebelumnya sebagai wakil presiden, JK memiliki kesempatan untuk menarik Golkar ke dalam orbit pemerintahan.
Tak hanya itu, kemenangan JK juga telah secara drastis mengubah konstelasi pengambilan keputusan di bidang politik dimana sebelumnya, di bawah Akbar Tanjung, Golkar adalah penyangga Koalisi Kebangsaan-koalisi yang dibentuk Golkar, PDI-Perjuangan dan sejumlah partai kecil pendukungnya yang posisinya sangat berseberangan dengan pemerintah Presiden.
Di bawah JK, Golkar diduga menjadi pengawal keputusan ekonomi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang paling depan. Ada dua alasan untuk ini. Pertama, pada tingkat perdebatan di parlemen, pemerintah tidak akan lagi menghadapi hambatan yang berarti untuk meloloskan kebijakannya. Golkar hampir dipastikan akan menjadi pendukung pemerintah dan posisinya di legislatif cukup menentukan.
Jika partai-partai menengah lainnya yang selama ini mendukung pemerintahan Yudhoyono meneruskan dukungannya, maka dukungan terhadap pemerintah akan semakin membesar.
Di sini, pemerintah Yudhoyono tidak perlu lagi membuang energi untuk bertarung pada tingkat kebijakan dengan lawan-lawan politik pemerintah. Kedua, dengan kemenangan JK jalur pengambilan keputusan di dalam bidang ekonomi sepenuhnya 'dikuasai' oleh Golkar. Indikasi ini terlihat setidaknya dari adanya dua petinggi Golkar di sini, JK dan Aburizal Bakrie. Kombinasi ini menguntungkan pemerintah Yudhoyono karena jalur pengambilan keputusannya pendek dan tampaknya tidak diperlukan 'pertarungan' sengit di sini.
Dilihat dari pendeknya jalur pengambilan keputusan, sebetulnya hal positif, apalagi jika dibandingkan dengan situasi pengambilan keputusan yang panjang, rumit, dan melelahkan karena terjadinya 'pertarungan' politik.
Dengan duduknya JK sebagai ketua umum Golkar, 'pertarungan' politik untuk suatu kebijakan ekonomi tetap terjadi, tetapi tidak akan bertele-tele. Dengan dukungan Golkar, praktis pemerintahan Yudhoyono hanya menghadapi PDI-P dan beberapa partai lainnya yang masih setia dengan Koalisi Kebangsaan, inipun jika koalisi ini masih bertahan.
Semula diduga jika Akbar Tanjung tetap memimpin Golkar, dan banyak keputusan yang harus dikonsultasikan melalui DPR, maka akan mengalami kemacetan.
Satu-satunya pilihan yang akan ditempuh oleh Presiden Yudhoyono adalah mengeluarkan terus menerus perpu atau dekrit. Hal ini sangat dimungkinkan, karena Presiden Yudhoyono akan berhadapan dengan dua partai politik besar, Golkar dan PDI-P, dan kemungkinannya untuk bisa memenangkan pertarungan politik amat kecil. Maka satu-satunya jalan yang tersedia adalah mengeluarkan perpu atau kewenangan lainnya yang diberikan oleh hukum kepada presiden.
Dengan 'berpalingnya' Golkar dari oposisi menjadi pendukung pemerintah, keseimbangan baru jelas lebih terasa. Presiden Yudhoyono dan Golkar, karena adanya JK bersama-sama berkuasa. Setidaknya, Golkar telah lebih banyak memberikan dukungan kepada pemerintah, walaupun tidak sepenuhnya berkuasa, dan tampaknya sulit untuk mengambil peranan sebagai oposisi. Kesulitan ini disebabkan adanya faktor JK yang tak akan mungkin menentang kebijakan yang dikeluarkannya sendiri.
Dengan berpindahnya Golkar kepada pemerintah, dan peluangnya untuk memainkan peranan sebagai pendukung pemerintah amat besar, maka Presiden Yudhoyono berhadap dengan partai besar lainnya, PDI-P. Situasi ini jauh lebih sehat jika dibandingkan dengan kuatnya Koalisi Kebangsaan yang digagas Akbar. Presiden Yudhoyono bisa memainkan dua kartu, yakni Golkar dan popularitas pribadinya sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.
Sinergi keduanya akan saling melengkapi, Golkar memang tidak memiliki presiden, tetapi Presiden Yudhoyono yang saat itu tidak memiliki mesin politik handal tidak mampu mendukung kebijakannya. Melalui pemilu 2004, partai Demokrat yang mendukung kebijakan SBY tidak sebesar hasil pemilu 2009. AD

No comments: